MK Hapus Kewenangan Sengketa Pemilukada
Utama

MK Hapus Kewenangan Sengketa Pemilukada

Putusan MK mengenai pilkada selama ini dianggap sah. Pemohon menyayangkan sikap MK yang tetap menyelesaikan perselisihan hasil pemilukada sampai adanya UU yang baru.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Dua Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva dan Maria Farida Indrati. Foto: RES
Dua Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva dan Maria Farida Indrati. Foto: RES
Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengabulkan pengujian Pasal 236 C UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terkait kewenangan MK mengadili sengketa Pemilukada. MK menilai kedua pasal itu bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional). Namun, kewenangan sengketa Pemilukada masih menjadi kewenangan MK hingga ada Undang-Undang pengganti.

“Pasal 236 C UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemda dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Ketua Majelis MK Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor 97/PUU-XI/2013 di ruang sidang MK, Senin (19/5).

Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), BEM FH Universitas Esa Unggul, Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta, dan Achmad Saifudin Firdaus ‘menggugat’ wewenang MK menangani sengketa pemilukada. Mereka mempersoalkan Pasal 236 C UU Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU Kekuasaan Kehakiman. Pasal 236C UU Pemda itu menyebut pengalihan sengketa hasil Pemilukada dari Mahkamah Agung (MA) ke MK.

Hakim Konstitusi Patrialis Akbar saat membacakan pertimbangan putusan menyatakan pemilihan kepala daerah sesuai Pasal 18 UUD 1945 yang masuk rezim pemerintahan daerah adalah tepat. Meski tidak tertutup kemungkinan pemilihan kepala daerah diatur dalam UU tersendiri, tetapi tidak masuk rezim pemilu seperti diatur Pasal 22E UUD 1945.

Sebab, pemilu menurut Pasal 22E UUD 1945 harus dimaknai secara limitatif untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, presiden dan wakil presiden yang dilaksanakan lima tahun sekali. Makna ini yang dipegang teguh dalam putusan MK No. 13/PUU/XI/2013. Dengan begitu, jika memasukkan pemilihan kepala daerah menjadi bagian dari pemilu dan menjadi kewenangan MK tidak sesuai dengan makna original intent dari pemilu.

“Telah menjadi pendirian MK dalam putusan No. 1-2/PUU/XII/2014 yang menyebut kewenangan lembaga negara yang secara limitatif ditentukan dalam UUD 1945 tidak dapat ditambah atau dikurangi oleh undang-undang atau putusan MK,” tutur Patrialis.

Menurut Mahkamah penambahan kewenangan MK untuk mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dengan memperluas makna pemilu seperti diatur Pasal 22E UUD 1945 adalah inkonstitusional. Meski MK tidak lagi berwenang mengadili sengketa pemilukada, semua putusan pemilukada tetap dinyatakan sah karena sebelumnya kedua pasal itu produk hukum yang sah dan valid.

“Untuk menghindari keragu-raguan, ketidakpastian hukum, dan kevakuman lembaga (mana) yang berwenang menyelesaikan perselisihan hasil pemilukada karena belum ada undang-undangnya, penyelesaian hasil pemilukada tetap menjadi kewenangan MK”.

Dissenting
Putusan ini diwarnai “hujan” dissenting opinion (pendapat berbeda). Tiga hakim konstitusi yakni Arief Hidayat, Anwar Usman, dan Ahmad Fadlil Sumadi mengajukan dissenting opinion. Ketiganya berpendapat seharusnya permohonan pemohon ditolak, sehingga penyelesaian perselisihan hasil pemilukada tetap menjadi kewenangan MK.

Arief berpendapat tidak wajib berpegang pada original intent Pasal 24C UUD 1945 semata yang tidak memasukkan sengketa pemilukada sebagai kewenangan MK. Sebab, sangat sulit memahami bagaimana original intent yang sebenarnya. Karena itu, kewenangan MK seharusnya bukan berusaha menemukan maksud pembentuk undang-undang, tetapi menemukan makna yang dikehendaki norma konstitusi guna menyelesaikan persoalan hukum yang dihadapi masa kini dan masa depan.

Anwar Usman menilai tuntutan pemohon yang menyatakan sengketa pemilukada bukan kewenangan MK karena tidak diatur Pasal 24C UUD 1945 tidaklah tepat. Sebab, kedua norma itu bukan kewenangan MK yang utama. Pasal 236 C UU Pemda hanyalah memuat norma administratif semata yakni pengalihan sengketa pemilukada dari MA ke MK.

Hal ini sesuai pertimbangan putusan MK No. 25 /PHPU.D-VI/2008 yang menyebut “.....pemilihan kepala daerah termasuk dalam rezim hukum pemilu. Sebagai konsekwensinya, perselisihan hasil pemilukada secara hukum menjadi kewenangan MK....” Anwar menegaskan MK sudah beratus-ratus kali menyatakan dirinya berwenang mengadili perkara sengketa pemilukada.

“Kalaupun Mahkamah menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili sengketa pemilukada dengan alasan tidak diatur dalam Pasal 24C UUD 1945, seharusnya hal tersebut dinyatakan sejak pertama kali menerima permohonan sengketa pemilukada pada tahun 2008. Sebab, ini menyangkut kewenangan mutlak yang membawa akibat hukum tersendiri”.

Ahmad Fadli Sumadi berpendapat perselisihan hasil pemilukada merupakan bagian dari sistem pemilu sesuai Pasal 22E UUD 1945 yang mengharuskan adanya forum yang menyelesaikan yakni MK. Karena itu, berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, MK berwenang mengadili perselisihan hasil pemilukada. “Dengan demikian, permohonan pemohon seharusnya ditolak.”

Ditemui usai persidangan, Ketua Umum FKHK Victor Santoso Tandiasa mengatakan putusan yang diambil MK sudah sejalan dengan kebenaran hakiki secara konstitusional. Hanya saja, dirinya menyayangkan sikap MK yang tetap menyelesaikan perselisihan hasil pemilukada sampai adanya UU yang baru.

Menurutnya, langkah ini justru menimbulkan kekhawatiran ke depan terutama tentang konstitusionalitas putusan. “Seharusnya, bisa ditegaskan kembali ke MA karena menurut Pasal 106 UU Pemda Pasal 106 menyatakan MA masih berwenang menangani sengketa pemilukada,” kata Victor.
Tags: