Potensi Kerugian Negara di Sektor Minerba Sekira Rp54,4 Triliun
Berita

Potensi Kerugian Negara di Sektor Minerba Sekira Rp54,4 Triliun

Masih ada permasalahan lainnya terkait implementasi kebijakan pertambangan.

Oleh:
NOV/ANT
Bacaan 2 Menit
Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas. Foto: SGP.
Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas. Foto: SGP.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas menaksir adanya potensi kerugian negara mencapai Rp35,6 triliun dan AS$1,79 juta. Bila diakumulasikan, mencapai sekira Rp54,4 triliun.

Busyro menyatakan, sesuai ketentuan Pasal 6 huruf e dan Pasal 14 UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK, KPK mempunyai tugas untuk melakukanmonitoring terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

“Dalam pelaksanaan monitoring, KPK melakukan koordinasi dan supervisi atas pengelolaan pertambangan minerba di 12 provinsi. Dari hasil kajian sistem pengelolaan PNBP, KPK menemukan sepuluh permasalahan mendasar pengelolaan minerba,” katanya dalam diskusi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sebagaimana siaran pers yang diterima hukumonline, Jum’at (23/5).

Dalam diskusi ini, Busyro memaparkan permasalahan-permasalahan sistem pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor mineral dan batubara (minerba). Pertama, belum dilaksanakannya 34 Kontrak Karya (KK) dan 78 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) sebagaimana amanat UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba, dimana seharusnya sudah selesai pada 12 Januari 2010. Kedua, belum tertatanya Kuasa Pertambangan/Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Ketiga, belum dilaksanakannya peningkatan nilai tambah dalam bentuk pengolahan dan pemurnian hasil tambang minerba. Keempat, tidak adanya upaya sistematis untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Kelima, belum diterbitkannya aturan pelaksana UU Minerba.

Keenam, belum dilasanakannya kewajiban pelaporan secara regular. Ketujuh, belum dilaksanakannya kewajiban reklamasi dan pascatambang. Kedelapan, belum dikembangkannya sistem data dan informasi Minerba. Kesembilan, belum dilaksanakannya pengawasan secara efektif. Kesepuluh, belum optimalnya penerimaan negara.

Busyro mengungkapkan, dampak dari belum direnegosiasinya 34 KK dan 78 PKP2B itu, pembayaran PNBP tidak berdasarkan aturan terkini. Misalnya dalam pembayaran royalti emas. Sesuai isi kontrak karya antara pemerintah dan suatu perusahaan pertambangan, royalti yang harus dibayar hanya satu persen.

Ia melanjutkan, seharusnya, sesuai PP No.45 Tahun 2003, tarif terbaru royalti emas sebesar 3,755 persen. Per 12 Januari 2012, hasil pertambangan minerba harus diolah dan dimurnikan di dalam negeri sebelum diekspor. Namun, pemerintah justru memberikan relaksasi tiga tahun sampai dengan 12 Januari 2017.

Berdasarkan fakta Kementerian ESDM, dari 10.922 IUP di Indonesia, sebanyak 4.880 berstatus Non-C&C. Kemudian,d ari data Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak, 10.922 IUP tersebut berasal dari 7.754 perusahaan. Sebanyak 3.202 tidak teridentifikasi NPWP-nya. Dan keseluruhan NPWP itu, banyak yang tidak melaporkan SPT-nya.

Dari data Kementerian Kehutanan (Kemenhut), 10.922 IUP plus 111 perusahaan KK dan PKP2B tersebut berada di hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Rata-rata perusahaan kurang bayar PNBP adalah 72,89%. Dari 8 provinsi, jumlah kurang bayar PNBP 2011–2013 sebesar Rp331 miliar dan AS$546 juta.

Akibatnya, kata Busyro, potensi kerugian keuangan negara dari sektor minerba mencapai Rp35,6 triliun dan AS$1,79 juta. Jumlah itu dihitung dari piutang PNBP tahun 2011-2013, potensi penerimaan pajak yang hilang, kerugian negara berdasarkan verifikasi data ekspor mineral, serta potensi royalti yang tidak dibayarkan.

Piutang PNBP tahun 2011-2013 Rp331 miliar dan AS$564 juta
Potensi penerimaan pajak yang hilang akibat perbedaan data produksi Kemen ESDM dan BPS Rp28,5 triliun
Potensi kerugian negara berdasarkan verifikasi data ekspor mineral tahun 2010-2012 dari 198 perusahaan tambang mineral AS$1,2 juta
Potensi kerugian negara berdasarkan verifikasi data ekspor mineral tahun 2011 dari 180 perusahaan tambang mineral AS$246 ribu
Potensi royalti yang tidak dibayarkan perusahaan batubara dan mineral Rp6,7 triliun
Sumber : KPK

Mengenai kegiatan koordinasi dan supervisi (korsup) minerba di 12 provinsi yang diterjemahkan dalam 46 rencana aksi, menurut Busyro, sudah membuahkan hasil. Diantaranya, sejak korsup minerba dilaksanakan pada Februari 2014, PNBP dari sektor minerba meningkat tajan Rp5 triliun, menjadi Rp11,3 triliun.

Selanjutnya, beberapa Kepala Daerah telah mencabut IUP. Sebanyak 35 IUP oleh Bupati Morowali, 4 IUP oleh Bupati Lahat, 10 IUP oleh Bupati Malinau, 20 IUP oleh Bupati Kutai Kertanegara, 2 IUP oleh Bupati Musi Rawas. Pengawasan produksi pertambangan pun sudah berjalan, sehingga tidak ada lagi praktik pertambangan ilegal.

Selain itu, pengawasan pengolahan/pemurnian dilaksanakan dengan baik. Kemudian, pengawasan pengangkutan dan penjualan telah diperketat, sehingga pelaksaan kewajiban pelaporan oleh pelaku usaha maupun pemerintah daerah (Pemda) berdampak positif pada hilangnya praktik penjualan/ekspor secara ilegal.

Namun, Busyro menambahkan, masih ada persoalan lainnya terkait implementasi kebijakan pertambangan. Seperti, lemahnya pengawasan oleh Pemda, resistensi dan pengabaian Pemda terhadap sebagian kebijakan pusat, koordinasi pemerintah pusat dan daerah belum berjalan baik, serta ketiadaan keterlibatan akademisi, CSO, dan masyarakat.
Ungkap Korupsi Migas
Terpisah, Advokat senior Todung Mulya Lubis meminta KPK mengungkap kasus dugaan korupsi pada sektor penjualan minyak dan gas, karena potensi korupsi pada sektor tersebut cukup besar.

"Penjualan minyak dan gas ini dikuasai kartel-kartel yang pasti ada backing-banckingnya. Itu yang perlu dilawan, KPK harus berani menyatakan perang terbuka terhadap mafia minyak," kata Penggiat Anti Korupsi ini di Serang, Jumat (23/5).

Todung mengatakan, potensi korupsi pada sektor migas cukup besar mengingat kemampuan produksi minyak hanya sekitar 830 ribu barel per hari, sedangkan kebutuhan minyak mencapai 1,3 juta barel per hari.

"Selisihnya impor yang dikuasai oleh kartel, mereka memperoleh 'margin' cukup besar. Kartel ini seharusnya bisa diberantas, tapi mendapat proteksi luar biasa dan tidak bisa disentuh akhirnya uang kita habis oleh kartel ini," kata Todung.

Menurut Todung, potensi korupsi pada sektor migas tersebut terjadi pada "oil tradding" atau penjualan, bukan pengurangan minyak. Sebab kebutuhan minyak dan gas besar, sementara kemampuan produksinya sedikit.

"KPK perlu masuk pada sektor 'oil tradding', karena kartel ini perkasa dan punya kekuatan yang besar, punya uang dan punya koneksi," katanya.

Oleh karena itu, KPK harus melawan terhadap kartel-kartel tersebut walaupun nantinya akan terjadi benturan. "Mereka memang berdagang tapi begitu leluasanya mendapatkan margin, pasti ada backing-banckingnya itu," katanya.

Ia mengatakan, korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, korupsi dilakukan segelintir orang. Namun demikian, tidak perlu pesimis dengan pemberantasan korupsi karena masih ada tiga kekuatan untuk memberantas korupsi yakni KPK, media yang bebas dan sipil society.

Menurut dia, dalam pemberantasan korupsi sistemnya harus benar supaya semua pihak akan mendukung terhadap upaya pemberantasan korupsi tersebut. Selain itu Integritas pemberantasan korupsi harus dijaga agar tidak menjadi bias, termasuk penyadapan yang dilakukan KPK harus diatur dengan sistem yang baik supaya bisa diterima semua pihak.

"Aturan penyadapan juga harus jelas supaya tidak melanggar HAM," katanya.
Tags:

Berita Terkait