Kontrak Karya Freeport Dinilai Cacat Hukum
Utama

Kontrak Karya Freeport Dinilai Cacat Hukum

Pemerintah diminta menghentikan sementara proses renegosiasi.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Foto: Foto: PT. Freeportindonesia.go.id
Foto: Foto: PT. Freeportindonesia.go.id
Kuasa Hukum Indonesian Human Right Committe for Social Justice (IHCS), Jensen E. Sihaloho, menilai kontrak karya PT Freeport Indonesia dengan pemerintah cacat hukum. Hal itu dikarenakan kontrak yang dibuat bertentangan dengan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).

"Kontrak karya ini sudah pasti bertentangan dengan hukum nasional sehingga renegosiasi seharusnya diberlakukan sejak tahun 2003. Jadi, secara konten tidak benar," ujar Jensen dalam sebuah diskusi bertajuk Renegoisasi Kontrak Karya PT Freeport Indonesia di Jakarta, Rabu (11/6).

Jensen mengatakan, UU Minerba merupakan koreksi atas UU No.11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Di dalam Pasal 169 UU Minerba memerintahkan,kontrak karya disesuaikan dengan UU Minerba selambat-lambatnya satu tahun sejak UU Minerba diundangkan. Dengan demikian, renegosiasi pertambangan adalah salah satu mandat dari UU Minerba.

“Nyatanya, renegosiasi yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Perekonomian hingga kini masih berlarut-larut,” keluhnya.

Menurut Jensen, semestinya renegosiasi kontrak karya Freeport sudah selesai pada tanggal 12 Januari 2010 lalu. Ia menilai, dengan berlarut-larutnya penyesuaian kontrak oleh Freeport terjadi kerugian keuangan negara.

Jensen mengutip data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa Freeport sejak tahun 1967 sampai dengan sekarang menikmati tarif royalti emas sebesar 1% dari harga jual per kilogram. Padahal, di dalam peraturan pemerintah yang berlaku, tarif royalti emas sudah meningkat menjadi 3,75% dari harga jual emas per kilogram.

Ketua Eksekutif IHCS Gunawan menambahkan, proses renegosiasi yang belum selesai memaksa Indonesia kehilangan pendapatan sebesar AS$169 juta setiap tahun. Gunawan menghitung, semestinya Indonesia bisa menikmati pendapatan sebesar AS$ 330 juta atau Rp 3,4 triliun. Kenyataannya, negara hanya menerima AS$ 161 juta atau Rp1,77 triliun.

"Perhitungan IHCS dari tahun 2003-2010, kerugian negara karena Freeport hanya membayar royalti emas 1 persen adalah sebesar AS$256 juta (Rp2,8 triliun). Karena kontrak karya Freeport yang mengatur royalti emas sebesar 1% bertentangan dengan hukum nasional maka seharusnya kontrak karya sebagai perjanjian batal demi hukum sehingga renegosiasi semestinya sudah diberlakukan sejak tahun 2003," tambah Gunawan.

Menyikapi kondisi demikian, IHCS meminta kepada Pemerintah untuk menghentikan proses renegosiasi sementara. Hal ini dilakukan sambil meminta pertimbangan Mahkamah Konstitusi atas perkara yang sedang dihadapi. Menurut Gunawan, hal ini relevan karena MK telah banyak mengeluarkan putusan-putusan terkait Hak Menguasai Negara beserta penjelasan-penjelasannya secara umum.

Peneliti dari Seknas Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Lukman Hakim, menilai penundaan renegosiasi sangat mempengaruhi jumlah APBN yang diterima. Menurutnya, renegosiasi seharusnya dilakukan sejak lama. Ia menuding pemerintah kurang mengoptimalkan pendapatannya, khususnya dari sektor pertambangan. Sehingga, pemerintah sering mengatakan pendapatan dari sektor tersebut turun, padahal sebenarnya masih dapat dioptimalkan.

"Entah kenapa diundur-undur. Setelah ada Perpres masih lambat juga. Renegosiasi seharusnya bisa menyejahterakan rakyat Papua," ungkap Lukman.

Ia menyatakan, pemerintah seharusnya tidak hanya beralasan defisit neraca perdagangan RI karena subsidi BBM. Pemerintah, kata dia, sebenarnya dapat mengoptimalkan potensi pendapatan dari sektor pertambangan, seperti PT Freeport Indonesia, misalnya.

“Potensi pendapatan negara dari pajak Freeport bisa Rp 40 triliun. Pajak royalti emas dia juga potensinya triliunan,” tambahnya.
Tags:

Berita Terkait