Legislasi Indonesia Masih Pro Penyiksaan
Aktual

Legislasi Indonesia Masih Pro Penyiksaan

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Legislasi Indonesia Masih Pro Penyiksaan
Hukumonline
Hampi 16 Tahun sudah Indonesia meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, namun sampai dengan saat ini  peraturan perundang-undangan di Indonesia masih Pro Penyiksaan. Working Group on the Advocacy Against Torture (WGAT)melihat bahwa  Indonesia sampai saat ini tidak memiliki regulasi yang secara khusus mengatur penegakan dan penghukuman bagi pelaku-pelaku penyiksaan.

Indonesia justru masih memiliki berbagai aturan yang pro penyiksaan, misalnya beberapa qanun di Aceh yang masih memiliki hukuman yang berifat “corporal punishment”, aturan dalam UU terorisme dan UU Narkotika yang masih memungkinkan dilakukan penangkapan/penahanan “in comunicado”, dan di samping itu masih banyak regulasi yang mengijinkan jangka waktu penahanan yang cukup lama.

Berdasarkan pemantauan  WGAT ada beberapa undang-undang prioritas yang seharusnya memasukkan anti penyiksaan dalam rumusannya yaitu, KUHP, KUHAP serta UU perlindungan Saksi dan Korban. Namun, semua undang-undang tersebut belum sampai menjangkau anti penyiksaan. Sebagai contoh inisiatif Pemerintah untuk mengatur secara khusus penyiksaan dalam Rancangan KUHP dan KUHAP belum dapat diimplementasikan sepanjang belum ada persetujuan dan pengesahan DPR mengenai Rancangan KUHP tersebut.  

Supriyadi W. Eddyono, Anggota WGAT dari ICJR, menyebutkan bahwa Karena masih digunakannya KUHP khususnya ketentuan-ketentuan mengenai penganiayaan dalam menjerat pelaku-pelaku penyiksaan menjadikan gradasi tindak pidana penyiksaan menjadi “turun”, dan tidak memberikan efek jera bagi pelaku; akibatnya, hukuman bagi pelaku-pelaku penyiksaan - karena dijerat dengan KUHP – ringan, sehingga mengakibatkan pelaku dapat segera bebas dan berkeliaran, serta berpotensi untuk mengulangi perbuatannya.

“Regulasi KUHP tidak dapat menjadi sarana untuk menghentikan (non recurence)  berulangnya praktik-praktik penyiksaan” tegas Supriyadi.

Disamping itu pula, lanjutnya, aparat penegak hukum, khususnya hakim, jaksa, polisi dan petugas pemasyarakatan belum memiliki pengetahuan yang memadai mengenai penyiksaan.

Selain itu, tidak diratifikasinya Protokol Opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakukan atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (Optional Protocol to the Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment/OPCAT), mengakibatkan Indonesia juga tidak memiliki mekanisme pemantauan tempat-tempat penahanan yang terintegrasi dengan berbagai lembaga pengawasan dan perlindungan hak asasi manusia. Sehingga menjadikan tempat-tempat penahanan sebagai “surga” bagi pelaku-pelaku penyiksaan.

Sejalan dengan pandangan tersebut, Wahyu Wagiman, Anggota WGAT dari ELSAM, memaparkan bahwa masalah lain yang masih perlu diperhatikan adalah keterbatasan regulasi yang mengatur pemulihan hak-hak korban penyiksaan.

Menurutnya, regulasi yang ada masih mengabaikan hak-hak korban penyiksaan dan tindak pidana lainnya yang secara jelas telah diatur dalam berbagai instrumen hak asasi manusia internasional yang sudah diratifikasi oleh Indonesia, seperti Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi Dan Merendahkan Martabat Manusia yang mewajibkan “setiap Negara Pihak harus menjamin agar dalam sistem hukumnya korban dari suatu tindak penyiksaan memperolah ganti rugi dan mempunyai hak untuk mendapatkan konpensasi yang adil dan layak, termasuk sarana untuk rehabilitasi sepenuh mungkin....”. 

Wahyu Wagiman menekankan bahwa terkait hal tersebut Undang-undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban belum mengatur secara komprehensif mengenai hak-hak korban penyiksaan.

“Hak-hak atas pemulihan yang berupa hak atas bantuan medis dan psikososial masih terbatas dan hanya diperuntukkan bagi korban-korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat,” jelas Wahyu.

Sementara korban-korban penyiksaan dan tindak pidana lainnya belum diakomodasi secara lebih konkrit” Wahyu menambahkan. Pengaturan yang terbatas mengenai hak-hak korban penyiksaan untuk mendapatkan bantuan medis dan rehabilitasi psiko-sosial, berakibat pada sulitnya korban-korban penyiksaan untuk mendapatkan bantuan medis dan psikososial.

Oleh karena itu, WGAT mendesak Pemerintah Indonesia sesegera mungkin mendorong secara serius anti penyiksaan dalam regulasi-regulasi tersebut. Khusus untuk Revisi Undang-Udnag perlindungan saksi dan Korban, WGAT mendesak pemerintah dan DPR  memasukkan hak reparasi (kompensasi, restituai dan bantuan) bagi korban-korban penyiksaan. WGAT juga mendorong agar membentuk Undang-Undang Khusus Anti penyiksaan, jika RUU KUHP dan RUU KUHAP gagal merumuskan pasal-pasal anti penyiksaan. Pemerintah juga wajib merevisi seluruh ketentuan peraturan yang berpotensi membuka situasi penyiksaan, khususnya  yang mengatur lamanya masa penahanan.
Tags: