Kisah Pertanyaan tentang ‘Hukum yang Hidup’
RUU KUHP:

Kisah Pertanyaan tentang ‘Hukum yang Hidup’

Ketiadaan konsep hukum pidana DPR justru bisa menghambat proses pembahasan Rancangan KUHP.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Acara seminar nasional tentang RKUHP di Kampus FHUI. Foto: RES
Acara seminar nasional tentang RKUHP di Kampus FHUI. Foto: RES
Di depan ratusan peserta seminar nasional RUU KUHP di kampus Universitas Indonesia Depok, Kamis (12/6), anggota tim penyusun RUU itu, Barda Nawawi Arief, bercerita tentang sebuah kisah pertanyaan anggota DPR. Tanpa menyebut nama, Barda ingat seorang anggota Dewan mengajukan pertanyaan dalam rapat bersama tim penyusun RUU KUHP. Pertanyaannya sederhana: apa yang dimaksudkan dengan ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’.

Pertanyaan itu muncul sehubungan dengan rumusan Pasal 1 ayat (3) dan (4) Rancangan KUHP. Pasal ini prinsipnya mengatur hukum yang hidup dalam masyarakat masih tetap berlaku sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa. Pertanyaan ini berkaitan pula dengan asas legalitas yang dianut KUHP selama ini.

Prof. Barda mengaku sudah menyiapkan  jawaban tetapi DPR keburu reses. Hingga kini, belum ada pembahasan lanjutan antara DPR dan anggota tim penyusun. Pertanyaan itu tak seharusnya muncul dari anggota Dewan karena mereka sudah beberapa kali memuat frasa yang sama dalam Undang-Undang. “Anggota DPR sering membuat rumusan ‘hukum yang hidup’ dalam masyarakat,” kata Prof. Barda.

Contohnya, ada pada Pasal 5 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Di sini disebutkan hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Sayang, anggota DPR sering membuat frasa ‘cukup jelas’ dalam penjelasan suatu pasal-pasal. Kalau anggota DPR sudah membuat frasa ‘cukup jelas’, mengapa anggota Dewan menanyakan ulang maksudnya? “Kalau anggota DPR bilang cukup jelas kok malah ditanyakan lagi?”.

Tetapi dalam Rancangan KUHP versi 2012, Pasal 1 ayat (3) dan ayat (4) punya penjelasan. Disebutkan bahwa beberapa daerah masih memiliki ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat di daerah tersebut. Ayat (4) menjelaskan pedoman atau rambu-rambu dalam menetapkan sumber hukum materiil (hukum yang hidup dalam masyarakat) yang dapat dijadikan sumber hukum. Pedoman pada ayat ini berorientasi pada nilai nasional dan internasional.

Berangkat dari kisah pertanyaan itu, konsepsi intelektual anggota Dewan mengenai sistem hukum pidana yang akan dibangun lewat KUHP nasional mengkhawatirkan. Setidaknya kekhawatiran itu muncul dalam seminar di kampus Fahultas Hukum UI tersebut. Rancangan KUHP yang ada sekarang berasal dari pemerintah, bukan dari DPR. Prof Barda mempertanyakan apakah DPR punya gambaran tentang Sistem Hukum Pidana Nasional yang hendak disusun. “Siskumpidnas ada nggak? Dari DPR nggak ada,” ujarnya di depan peserta seminar.

Staf Ahli Menteri Hukum dan HAM Bidang Perundang-Undangan, Suharyono, mengisyaratkan kekhawatiran senada. Nyaris tidak ada konsep yang kuat datang dari anggota Dewan. “Anggota Dewan lebih banyak bertanya,” ujarnya.

Pertanyaan yang diajukan pun acapkali baru menukik ke persoalan utama setelah ada pertanyaan awal. Jadi, respon terhadap jawaban atas pertanyaan awal. Ironisnya, nasib Rancangan KUHP banyak bergantung kepada anggota Dewan. Naskah sudah disusun pemerintah. Daftar Inventaris Masalah (DIM)-nya pun sudah disusun bersama. Kini pemerintah menunggu intensitas pembahasan dari anggota Dewan. “Pemerintah menunggu undangan dari DPR,” kata mantan Direktur Perancangan Perundang-Undangan itu.
Tags:

Berita Terkait