Yenti Ganarsih:
Pakar Pencucian Uang yang Di-Cum Laude-kan oleh Masyarakat
Srikandi Hukum Part II

Yenti Ganarsih:
Pakar Pencucian Uang yang Di-Cum Laude-kan oleh Masyarakat

Di saat TPPU belum diminati di Indonesia, Yenti sudah terlebih dahulu menekuninya.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Yenti Ganarsih. Foto: RES.
Yenti Ganarsih. Foto: RES.
Dunia hukum yang terkesan keras seolah identik dengan para lelaki. Dahulu, tidak banyak perempuan yang menonjol di bidang hukum. Namun, sosok perempuan bernama Yenti Garnasih membulatkan tekadnya untuk terus menekuni bidang hukum. Yenti bahkan ditasbihkan sebagai Doktor Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pertama di Indonesia.

Nama Yenti mungkin tidak terdengar asing di masyarakat. Apalagi, dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Trisakti ini hilir mudik menghiasi pemberitaan media. Saat TPPU belum begitu populuer di Indonesia, Yenti sudah terlebih dahulu mendalami bidang tersebut. Yenti juga sudah malang melintang menjadi ahli di persidangan.

Sebut saja kasus pembobolan Bank Negara Indonesia (BNI) Adrian Waworuntu, kasus korupsi pegawai pajak Bahasyim Assifie, kasus Labora Sitorus, dan kasus Hercules. Kemampuan akademis Yenti kerap dibutuhkan aparat penegak hukum untuk menjelaskan perkara-perkara yang berkaitan dengan TPPU.

Akan tetapi, bukan berarti pencapaian Yenti seperti sekarang ini didapat dengan cara mudah. Yenti bekerja keras hingga berhasil mempertahankan disertasinya yang bertema TPPU di hadapan sembilan orang penguji. Ketika itu, Yenti merasa tidak puas dengan nilai “sangat memuaskan” yang diberikan para pengujinya.

Yenti sempat berlinang air mata dan mengurung diri, mengingat upaya kerasnya mempelajari TPPU. Yenti menghabiskan tiga tahun untuk mempelajari hampir 600 buku dan 300 putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat. Sebagai orang yang mempelajari TPPU, Yenti merasa lebih mendalami TPPU ketimbang para pengujinya.

Walau tidak mendapat predikat cum laude, Yenti bersyukur di-cum laude-kan masyarakat. “Nah, saya seharusnya berterima kasih atas itu. Saya merasa UI tidak bisa meng-cum laude-kan saya, tapi saya harus di-cum laude-kan oleh masyarakat. Harus ada pengakuan dari masyarakat,” kata Yenti kepada hukumonline.

Yenti menganggap perjalanan akademisnya tidak akan berhenti sampai mencapai gelar Doktor. Yenti mulai bangkit dan menunjukan eksistensinya di masyarakat dengan menulis di berbagai media. Hingga akhirnya, salah satu media terbesar di Indonesia, Kompas memasukan Yenti ke dalam “sosok dan pemikiran”.

Seiring waktu, Yenti mulai sering tampil menjadi narasumber. Yenti juga road show bersama Departemen Hukum dan HAM untuk mensosialisasikan TPPU. Yenti kerap diminta menjadi ahli dalam penanganan perkara-perkara besar di Kejaksaan dan Kepolisian. Di situlah Yenti merasa dirinya di-cum laude-kan oleh masyarakat.

Dengan adanya pengakuan masyarakat, justru Yenti terpacu untuk lebih banyak membaca dan memperdalam keilmuannya. Tidak mudah bagi Yenti untuk memperkenalkan suatu ilmu yang ketika itu terbilang baru di dunia hukum Indonesia. Apalagi, banyak pihak yang belum memahami betapa pentingnya penerapan TPPU.

Padahal, TPPU adalah cara pamungkas untuk membabat habis semua tindak pidana yang berhubungan dengan ekonomi. TPPU tidak hanya menyasar pelaku aktif, tapi juga pelaku pasif. Semua penerima “uang haram” yang mengetahui atau patut menduga uang yang diterimanya berasal dar hasil kejahatan, dapat terkena TPPU.

Pandangan Yenti ini sering mendapat cibiran dari sejumlah kalangan. Pasalnya, ada beberapa pihak yang berpendapat, bisa-bisa semua penerima uang dari pelaku kejahatan terkena TPPU. Namun, Yenti menjelaskan, tidak semua penerima uang dapat dijerat TPPU. Hanya penerima yang mengetahui atau patut menduga.

“Tapi, menjelaskan itu berat sekali. Saya pernah mendapat telepon dari orang kampus, senior, guru besar. Katanya, gara-gara kamu semua orang kena pencucian uang. Saya kaget. Saya bilang, Prof gini ya, pencucian uang itu amanat internasional dalam rangka memberantas semua kejahatan ekonomi, termasuk korupsi,” ujar Yenti.

Kemudian, saat menjadi ahli di persidangan, Yenti sering mendapatkan pertanyaan-pertanyaan sinis dan konyol. Tidak jarang Yenti merasa “dikeroyok” dengan berbagai pertanyaan dari para pengacara, jaksa, dan hakim. Walau begitu, Yenti selalu siap menghadapi dan berpandangan objektif sesuai jalur keilmuannya.

Keterangan Yenti di persidangan menunjukan sejauh mana kredibilitasnya sebagai seorang ahli. Semua pengalaman tersebut, membuat Yenti semakin matang. Bagi seorang akademisi seperti Yenti, integritas dan kualitas merupakan hal utama. Yenti merasa harus berkontribusi mengawal praktik dan pembuatan hukum.  

Cita-Cita Remaja
Perjalanan Yenti sebelum menjadi akademisi di bidang hukum terbilang cukup unik. Siapa sangka, cita-cita remaja ibu dua anak ini adalah menjadi orang panggung. Yenti sempat mengikuti sekolah seni lukis, tari, dan modeling. Kepiawaian Yenti dalam menari tidak lepas dari peran sang ayah, Supanto yang seorang Bupati Purworejo.

Walau tetap mengutamakan prestasi akademik, ayah Yenti mengharuskan putrinya bisa menari dan menyanyi. Selain itu, ayah Yenti menginginkan putrinya menjadi olahragawati. Sambil menunjukan sisa-sisa ototnya, Yenti mengatakan, mungkin dahulu ayahnya ingin mempunyai anak laki-laki, sehingga ia juga diminta piawai berolahraga.

Namun, meski anak seorang Bupati, kehidupan Yenti tergolong biasa-biasa saja. Ayahnya selalu menekankan jangan sekali-sekali korupsi dan jaga nama baik. Sementara, ibunya selalu memberi asupan spiritual. Saat ayahnya meninggal, banyak pejabat setempat yang datang, bahkan meminta izin menggunakan nama ayah Yenti sebagai nama jalan.

Semua hal yang ditanamkan orang tuanya berhasil membentuk kepribadian Yenti sebagai pekerja keras. Setelah lulus dari Sekolah Tinggi Bahasa Asing, Yenti sempat bekerja di suatu yayasan di Bandung. Ketika itu, yayasan tempatnya bekerja sedang dilanda masalah hukum. Yenti lalu disekolahkan di Fakultas Hukum (FH) Universitas Pakuan.

Lama-kelamaan Yenti mulai tertarik menekuni bidang hukum. Nilai-nilai Yenti tergolong bagus, hingga ada seorang guru besar yang menyarankan Yenti menjadi dosen dan melanjutkan program strata dua. Selepas lulus dari FH Universitas Pakuan tahun 1993, Yenti melanjutkan program magister di FH Universitas Indonesia.

Waktu itu, Yenti belum fokus mengajar. Yenti justru fokus menjadi tenaga ahli membantu Menteri Lingkungan Hidup merumuskan UU Lingkungan Hidup. Yenti juga sempat mengikuti kursus, ujian, serta magang selama dua tahun untuk mendapatkan kartu advokat. Seiring waktu, Yenti merasa jiwanya tidak cocok menjadi pengacara.

Yenti merasa lebih cocok menjadi dosen. Dari situ, Yenti mulai intens membantu beberapa delegasi guru besar yang dikirimkan Departemen Luar Negeri dan Departemen Hukum untuk mengikuti seminar di luar negeri. Yenti berpikir jika ia dekat dengan guru-guru besar, setidaknya bisa “mencuri” ilmu-ilmu informal dari para guru besar tersebut.

Namanya juga anak bawang, selama mengikuti delegasi, Yenti sering mendapat tugas sebagai juru ketik dan membawakan buku. Sampai suatu ketika, pada 1995, ada seminar bertema money laundering (TPPU). Lantaran TPPU masih asing dan belum diminati di Indonesia, Yenti yang disuruh mengikuti seminar itu.

“Delegasi itu mikir apa sih money laundering. Kasih Yenti aja, dia kan anak muda. Kebayang kan, saya masih master, yang lain sudah doktor, professor. Saya merasa sedih banget dan ‘terzalimi’. Padahal di situ kan ada tema terorisme, narkotika, human trafficking, dan korupsi, saya dikasih money laundering,” tutur Yenti.

Mau tidak mau Yenti mengikuti seminar itu. Sesampainya di Indonesia, Yenti membuat laporan dan membacakan hasil seminar yang ia ikuti. Seakan sudah bisa ditebak, tidak ada yang berminat saat Yenti membacakan laporan. Kejadian itu berlalu begitu saja. TPPU masih menjadi sesuatu yang belum diminati di Indonesia.

Hingga pada 1999, Yenti mulai menyusun disertasinya di FH Universitas Indonesia. Belum terbersit dalam benak Yenti untuk menjadi Doktor di bidang TPPU. Ia sudah memiliki judul tersendiri untuk disertasinya. Tiba-tiba Yenti dipanggil Ketua Program Pascasarjana FH Universitas Indonesia Prof Dr Erman Rajagukguk.

Erman yang juga menjabat Wakil Sekretaris Kabinet (Wasekab) meminta Yenti menyiapkan proposal disertasi dengan tema TPPU. Merasa sudah memiliki judul, Yenti menolak. Namun, Erman berupaya meyakinkan Yenti bahwa Indonesia harus sudah mulai mendalami TPPU, walau Indonesia sendiri belum memiliki UU TPPU.

Yenti sempat curhat ke teman-temannya. Mengingat ada beberapa mata kuliah Yenti yang dipegang Erman, Yenti terpaksa membuat disertasi dengan tema TPPU. Lalu, Yenti yang juga menjadi dosen tetap di FH Universitas Trisakti mendapatkan beasiswa pertama ke luar negeri dari FH Universitas Trisaksi. Yenti bekerja keras menyelasaikan disertasinya.

Sebenarnya, Yenti bisa menyelesaikan disertasinya pada 2002. Namun, promotor Yenti meminta ditunda sampai terbitnya UU TPPU. Akhirnya, pada 2003, Yenti berhasil mempertahankan disertasinya di hadapan sembilan orang penguji. Yenti menyabet gelar Doktor di bidang TPPU dengan nilai “sangat memuaskan”.

Hakim Agung dan Guru Besar
Dalam perjalanan karirnya, Yenti pernah mencoba mendaftar menjadi hakim agung. Upaya tersebut tidak berlanjut karena usia Yenti belum mencukupi. Setelah itu, sebetulnya, Yenti pernah lima kali diminta mendaftar sebagai hakim agung. Namun, Yenti menolak karena sistem yang ada sekarang ini tidak cocok untuknya.

Profesi hakim agung dirasa Yenti belum tentu cocok dengan jiwanya. Apalagi, jika melihat sistem rekruitmen yang harus melewati fit and proper test di DPR, Yenti merasa cara menguji seperti itu tidak sepadan. Tidak jarang, para calon hakim agung dipermalukan anggota DPR dengan mengorek-ngorek urusan pribadinya.

Yenti berpikir sistem rekrutmen hakim agung harus diubah. Kalau memang negara menganggap seseorang itu pantas menjadi hakim agung, seharusnya negara yang melamar. Bukan malah orang berbondong-bondong melamar sebagai hakim agung. Justru orang yang mendapat kepercayaan dari negara tanggung jawabnya lebih besar.

“Jadi, untuk saat ini, proses pendewasaan diri saya untuk keilmuan memang lebih cocok di dosen. Dengan segala keterbatasan, saya lebih bagus di sini. Saya sudah 23 tahun menjadi dosen. Tapi, sebagai warga negara yang baik, jika negara memang merasa saya layak mendapatkan amanat, tentu agak sulit juga untuk menolak,” katanya.

Oleh karena itu, Yenti masih terus fokus untuk memperdalam keilmuannya. Sebenarnya, Yenti sudah menyiapkan pengumpulan nilai kum untuk menjadi profesor atau guru besar di universitas tempat ia mengajar. Akan tetapi, pengajuan itu tertunda akibat permasalahan yang sedang mendera elit-elit Universitas Trisakti.

Walau belum bisa menggapai cita-citanya menjadi Guru Besar, Yenti tidak berhenti menyumbangkan buah pikiriannya untuk memperbaiki sistem hukum di Indonesia. Yenti bahkan sempat dipanggil untuk memberikan masukan terhadap revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.  

Yenti berharap hukum dan peradilan di Indonesia bisa lebih berwibawa seperti di Amerika. Lihat saja, orang yang berbicara di bidang hukum di Amerika dipandang sangat terhormat. Berbeda dengan di Indonesia. Masih banyak yang perlu diperbaiki, terutama performance penegak hukum, administrasi pengadilan, dan mafia peradilan.

Kekuatan Tangan Tuhan
Perjalanan unik yang dialami Yenti hingga menjadi seperti sekarang ini, membuat Yenti berpikir, apapun yang dulu ia cita-citakan, tetap harus menyisakan ruang untuk kekuatan tangan Tuhan. Yenti merasa keberhasilannya merupakan berkah Tuhan. Yenti tidak berhenti mengembangkan ilmunya sesuai perkembangan zaman.

Namun, di balik perjuangannya, Yenti memiliki keluarga yang sangat mendukung profesinya. Yenti memiliki dua anak dan seorang suami berlatar belakang Tentara Nasional Indonesia (TNI), Brigjen Bambang Prasetyo. Sebagai akademisi yang cukup sibuk, Yenti tidak kesulitan membagi waktu dengan keluarganya.

Keluarga Yenti sangat memahami tugas berat yang diembannya. Anak-anak Yenti juga sudah memahami konsekuensi dari profesi ibunya yang harus berpergian ke luar kota demi menjalankan tugas. Namun, dahulu, Yenti pernah merasa sedikit terusik karena kerap tidak bisa hadir dalam acara darmawanita suaminya.

Dengan segala kesibukannya, Yenti tidak begitu aktif mengikuti acara-acara tersebut. Sekalinya hadir, Yenti harus menghadapi lirikan-lirikan orang di sekitarnya. Lama-kelamaan, Yenti tidak lagi menganggap itu sebagai masalah. Yenti berpikir profesinya sebagai seorang akademisi adalah profesi yang mulia.

Bahkan, meski bersuamikan seorang aparat TNI, Yenti masih tetap kritis menyuarakan pandangannya mengenai korupsi dan TPPU di TNI. Yenti termasuk salah seorang yang tidak setuju dengan KUHP Militer. Ia merasa penerapan aturan khusus terhadap seorang aparat militer yang melakukan kejahatan sipil sangat tidak adil.

“Sangat tidak adil ketika tentara memperkosa kok pakai pengadilan militer. Saya termasuk yang mendorong agar KUHP Militer segera diganti. KUHP Militer seharusnya hanya berisi tindak pidana yang hanya memang bisa dilakukan oleh militer. Berkaitan dengan korupsi dan TPPU memang sedang kita perjuangkan,” ujarnya.

Sejak lama, Yenti sudah menyuarakan mengenai ketidakadilan penerapan KUHP Militer. Malahan, Yenti tidak merasa risih untuk menyuarakan pendapatnya di hadapan para oditur dan penyidik militer. Yenti berpendapat, jangankan militer, Presiden sekalipun jika terbukti melakukan tindak pidana harus diseret ke pengadilan.

Yenti tidak merasa terbebani dengan statusnya sebagai istri dari seorang perwira tinggi militer. Suami Yenti juga tidak pernah mempermasalahkan. Suami Yenti sudah memahami bahwa Yenti akan berbicara sesuai kapasitasnya sebagai akademisi. Apalagi Yenti berbicara untuk kepentingan orang banyak dan bukan kepentingan golongan.

“Saya punya dunianya sendiri. Alhamdulillah tidak terbebani oleh apapun. Saya berusaha bicara konstruktif di jalurnya. Jadi, tidak masalah. Kalau ada yang mau intervensi, saya bukan orang yang frontal. Saya berusaha diplomatis. Tapi, pada akhirnya mereka tahu saya pada jalur saya sendiri. Tidak akan tergoyahkan,” tuturnya.

Perempuan kritis
Keahlian Yenti di bidang TPPU membuat aparat penegak hukum tidak ragu meminta keterangan Yenti untuk perkara-perkara yang tengah mereka tangani. Kepolisian dan Kejaksaan merupakan lembaga penegak hukum yang sering menggunakan Yenti sebagai ahli di dalam proses penyidikan maupun persidangan. Salah satunya adalah jaksa dari Kejaksaan Agung, Narendra Jatna.

Narendra Jatna yang pernah menggunakan Yenti sebagai ahli, memuji perempuan kelahiran Sukabumi, 11 Januari 1959 itu. Dari sisi keilmuan, Narendra menganggap Yenti merupakan sedikit dari akademisi perempuan Indonesia yang fokus menekuni bidang hukum. Yenti juga termasuk orang yang kritis.

Narendra tidak menampik jika ia dan rekan-rekannya di Kejaksaan sering menggunakan Yenti sebagai ahli. Yenti dinilai sebagai akademisi yang awal-awal menekuni bidang TPPU di Indonesia. Ketika TPPU belum begitu diminati di Indonesia, Yenti sudah terlebih dahulu memperdalam dan menekuni ilmu tersebut.

Indonesia baru mulai menerbitkan UU TPPU pada tahun 2002. UU itu direvisi dengan UU No.25 Tahun 2003.  Walau Indonesia sudah memiliki perangkat hukum untuk menjerat pelaku pencucian uang, penerapan UU itu belum begitu gencar. Ketika itupun, ahli yang membidangi TPPU di Indonesia masih sangat minim.

Namun, Yenti muncul sebagai akademisi yang meraih gelar Doktor pertama di bidang TPPU. Sebagai sesama dosen, Narendra melihat Yenti sebagai ahli yang populer. “Di saat orang belum tertarik membahas TPPU, dia sudah dari awal menekuni,” ujar jaksa yang sekarang bertugas menjadi atase Kejaksaan di KBRI Thailand.
Tags:

Berita Terkait