Inflasi Juni 2014 Terendah dalam Lima Tahun Terakhir
Berita

Inflasi Juni 2014 Terendah dalam Lima Tahun Terakhir

Andil terbesar dalam inflasi Juni tersebut berasal dari kelompok bahan makanan.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Arif Budimanta. Foto: SGP
Arif Budimanta. Foto: SGP
Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, inflasi bulan Juni 2014 merupakan inflasi terendah sepanjang lima tahun terakhir pada periode yang sama. Misalnya, pada Juni 2010, inflasi mencapai 0,97 persen (month to month -mtm), pada 2011 sebesar 0,5 persen (mtm), tahun 2012 mencapai 0,62 persen (mtm) dan pada tahun 2013, inflasi Juni mencapai 1,03 persen (mtm).

Kepala BPS Suryamin mengatakan, rendahnya angka inflasi Juni 2014 itu lantaran terkendalinya harga menjelang bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri (Lebaran). “Rendahnya inflasi Juni 2014 ini menunjukkan bahwa pengendalian menjelang Lebaran harga cukup terkendali,” katanya di Jakarta, Selasa (1/7).

Atas dasar itu, kata Suryamin, pada Juni 2014 tercatat, Indeks Harga Konsumen (IHK) atau inflasi mencapai 0,43 persen (mtm). Andil terbesar dalam inflasi Juni tersebut berasal dari kelompok bahan makanan, terutama daging ayam dan telur yang mencapai 0,19 persen.

“Inflasi Juni 2014 adalah sebesar 0,43 persen (mtm). Inflasi tahun kalender sebesar 1,99 persen, sheingga inflasi tahunan menjadi 6,7 persen. Sementara itu inflasi komponen inti secara month-to-month sebesar 0,25 persen, sehingga inflasi inti year-on-year sebesar 4,81 persen,” katanya.

Ia menuturkan, dari 82 kota yang disurvei, sebanyak 76 kota yang tercatat inflasi. Suryamin mengatakan, inflasi tertinggi berada di Kota Ternate yang mencapai angka 1,29 persen. Sedangkan deflasi tertinggi, tercatat di Kota Maumere sebesar 0,72 persen (mtm).

Anggota Komisi XI DPR Arif Budimanta berharap, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) dapat lebih fokus dalam mengendalikan laju inflasi tahun 2014. Hal tersebut diutarakan oleh Arif yang merupakan salah satu tim ekonomi capres dan cawapres Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam sebuah seminar di Jakarta, Senin (30/6).

Menurut Arif, terkendalinya inflasi juga merupakan langkah pemerintah ke depan untuk menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) yang saat ini berada di level 7,50 persen. “Untuk menurunkan suku bunga BI, sekarang ini harus ada fokus pada pengendalian inflasi,” katanya.

Menurutnya, tingginya suku bunga dapat menyulitkan pelaku usaha sektor riil dalam menggerakkan aktivitas bisnisnya. Padahal, pelaku usaha di sektor Usaha Mikro, kecil dan Menengah (UMKM) selama ini paling berkontribusi besar terhadap penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi.

Ia mengatakan, jika pelaku usaha di sektor riil ini kesulitan akibat suku bunga acuan yang tinggi. Maka, ke depannya tingkat pemerataan kesejahteraan di masyarakat akan sulit terwujud. “Meski pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat tinggi di dunia," katanya.

Neraca Perdagangan Surplus

Pada kesempatan yang sama, Suryamin mengumumkan bahwa neraca perdagangan pada bulan Mei 2014 mengalami surplus senilai AS$69,9 juta, setelah pada bulan sebelumnya tercatat defisit sebesar AS$1,96 miliar. “Neraca perdagangan Mei 2014 surplus AS$69,9 juta. Ekspornya AS$14,83 miliar dan impornya AS$14,76 miliar,” katanya.

Salah satu sektor yang menyebabkan surplusnya neraca perdagangan adalah surplusnya sektor nonmigas yakni sebesar AS$1,4 miliar. Sedangkan sektor migas mengalami defisit sebesar AS$1,33 miliar. Selain surplus secara nominal, secara volume, neraca perdagangan pada Mei 2014 juga mencatat surplus sebesar 32,25 juta ton.

Suryamin mengatakan, surplus tersebut didorong oleh surplusnya neraca sektor nonmigas yang sebesar 36,06 juta ton. “Sebaliknya neraca perdagangan sektor migas defisit 0,78 juta ton. Ekspor yang lebih besar dari impor ini berarti permintaan masih cukup tinggi,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait