Najwa Shihab:
Bercita-cita Jadi Hakim, 'Nyemplung' Jadi Jurnalis
Srikandi Hukum Part II

Najwa Shihab:
Bercita-cita Jadi Hakim, 'Nyemplung' Jadi Jurnalis

Menerapkan ilmu hukum di dalam kariernya sebagai jurnalis dan pemandu acara televisi.

Oleh:
HRS
Bacaan 2 Menit
Najwa Shihab. Foto: RES.
Najwa Shihab. Foto: RES.
Siapa yang tak kenal dengan Najwa Shihab? Wajahnya kerap muncul di televisi sebagai pemandu acara di Mata Najwa. Kecerdasan dalam menguasai “panggungnya” patut diacungi jempol. Gayanya pun juga sangat ciamik dalam “menelanjangi” narasumber demi mendapatkan sebuah jawaban.

Ketika menjadi seorang reporter pun, Najwa telah membuktikan ketangguhannya. Salah satu liputannya yang terkenal adalah tsunami yang menyapu bersih Aceh pada 2004. Sebagai tim pertama yang meliput, ia melihat betapa mengerikan nasib Aceh, mayat bergelimpangan di mana-mana dan ia melaporkan pula betapa lambannya pemerintah dalam mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut.

Salah satu orang di pemerintah yang bertanggung jawab terhadap persolan itu adalah pamannya sendiri, Alwi Shihab yang kala itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Indonesia. Liputannya tersebut dikenal dengan Shihab vs Shihab.

Serangkaian liputan telah mengasahnya menjadi wartawan yang tahan banting. Tak heran jika ia telah menggondol pelbagai prestasi, seperti Highly Commended untuk kategori Best Current Affairs Presenter di Asian Television Awards pada 2009. Prestasi ini kembali terulang pada 2011. Namanya pun terus meroket dan kini ia menduduki salah satu posisi prestisius di bidang jurnalistik, yaitu Wakil Pemimpin Redaksi Metro TV.

Jurnalis yang Kecebur
Menjadi seorang jurnalis bukanlah cita-citanya sedari kecil. Bahkan, ia baru bersentuhan dengan bidang jurnalistik pada saat detik-detik ia menamatkan kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI). “Ngga sih, saya terjun ke dunia ini (jurnalistik, red) karena kebetulan,” terang Najwa ketika ditemui di ruangannya, Rabu (4/6).

Justru, ia berkeinginan untuk menjadi seorang pengacara dan hakim. Untuk itulah, anak kedua dari Quraish Shihab ini memilih hukum sebagai ilmu yang ingin ia kuasai. Keinginan menjadi hakim anak semakin menguat ketika ia memilih hukum anak sebagai tema skripsinya. Ia melihat kondisi hukum tentang anak sangat kurang. Seharusnya, pendekatan terhadap anak sebagai pelaku kejahatan mulai dari pemeriksaan hingga diadili di pengadilan haruslah berbeda.

“Saya sempat ingin menjadi hakim anak,” kenang Najwa.

Namun, keinginan menjadi hakim maupun pengacara memudar ketika ia mengikuti program magang reporter di RCTI pada 1999. Selama magang tiga bulan, ia langsung dipercayakan meliput suatu peristiwa sebagaimana layaknya seorang reporter sungguhan. Mulai dari liputan mudik hingga menjadi wartawan pertama yang ditunjuk untuk mewawancarai Koffi Anan, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hal ini terjadi karena kebetulan pula banyak reporter RCTI yang mengambil cuti menjelang lebaran.

Merasa menikmati tantangan sebagai seorang jurnalis, wanita yang akrab disapa Nana ini memutuskan bergabung dengan Metro TV pada 2000. Ia pun menjadi reporter pertama di Metro TV dan saat itu presenter pertamanya adalah Sandrina Malakiano.

Meskipun menjalani karier jauh dari background keilmuannya, Nana merasa ilmu hukumnya sangat terpakai, terlebih lagi saat ia telah memandu talkshow Mata Najwa. Bagaimana melatih logika berargurmen dan mengatur konstruksi cerita hukum adalah salah satu ilmu yang terpakai dalam kariernya. 

Ada satu pelajaran yang tak dapat ia lupakan ketika ia mengikuti peradilan semu dan berperan sebagai pengacara. Pelajaran tersebut terus ia ingat dan ia terapkan saat memandu talkshownya, yaitu jangan pernah mengajukan pertanyaan ke saksi yang kamu tidak tahu jawabannya apa. “Never ask the question you dont know the answer,” tegasnya.

Mengapa? Jika kita menanyakan sesuatu kepada saksi dan jawabannya kita tidak tahu, keterangan saksi tersebut dapat memberatkan terdakwa apabila kita tidak siap dengan jawabannya. Padahal, saksi bisa meringankan terdakwa.

Untuk itu, riset adalah hal terpenting dalam jurnalistik, khususnya talkshow. Melalui riset, Nana lebih mudah untuk mengatur alur pertanyaan dan menguasai topik tersebut. “Karena kalau di talkshow, apabila kamu tidak bisa mengendalikan kamu akan dikendalikan,” sambung Nana.

Lebih lagi dalam program Mata Najwa banyak mengundang tamu dari berbagai latar belakang. Sudah barang tentu mereka memiliki kepentingan masing-masing. Apabila host tidak dapat memprediksi jawaban narasumber, talkshow tersebut bisa menjadi ajang untuk menyuarakan kepentingan-kepentingan para tamu.

“Jangan sampai talkshow kita itu menjadi platformnya dia untuk menyuarakan kepentingannya, sementara itu kepentingan kita jelas yaitu jurnalistik, ada batasan-batasan tertentu. Oleh karenanya, penting agar kita mengendalikan dan caranya adalah riset yang mendalam tentunya,” bebernya.

Selain itu, perlu pula dipahami bahwa talkshow itu adalah talk dan show. Kedua bagian ini penting dan itu dikendalikan oleh host. Jika ada perdebatan dalam talkshow, itu adalah bagian show. Host bisa membiarkan para pihak saling sahut selama 1-2 menit karena disitulah letak keriuhan suatu talkshow dan penonton dapat menikmati show perdebatan itu. Namun, host harus tahu kapan show ini bisa muncul di layar dan kapan harus diambil alih. Hal-hal seperti inilah yang perlu diperhatikan host dan host harus memiliki rasa untuk itu.

“Memang perlu jam terbang tinggi dan alhamdulillah feel itu bisa dirasakan karena berdasarkan pengalaman,” lanjutnya.

Ilmu hukum lain yang terus membantu Nana sebagai jurnalis adalah mengenai akurasi. Menurutnya, banyak wartawan yang masih salah dalam mengabarkan ketika meliput tahapan-tahapan persidangan, baik di pengadilan maupun di MPR. Meskipun terkesan remeh, tetapi hal tersebut penting untuk sebuah keakurasian.

Tahan Banting
Untuk mencapai prestasi yang dimilikinya saat ini tidaklah mudah. Setapak demi setapak Nana lewati hingga akhirnya berada di posisi Wakil Pemimpin Redaksi. Rahasia kesuksesan Nana hanya satu, yaitu persistensi. Ia akan berjuang mendapatkan jawaban dari narasumber. Berbagai cara ia lakukan demi mengejar sebuah jawaban. Ia akan terus “meneror” narasumber itu. Nana berprinsip jika belum dapat, ya jangan pulang. Namun, batasannya pun harus jelas, yaitu pejabat publik.

Sepanjang ia pejabat publik, memiliki urusan dengan uang publik dan disumpah bekerja untuk publik adalah tanggung jawab seorang wartawan untuk memastikan para pejabat publik itu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan. 

“Saya tidak pernah take no for an answer. Nah, tahan bantingnya wartawan ya itu. Kalau belum dapat, ya jangan pulang,” tegasnya ketika diminta tips-tips sukses menjadi wartawan.

Ketika ditanya apakah selama berkecimpung di dunia jurnalistik pernah mendapat ancaman, Nana mengatakan pernah. Hanya saja, jika ia bandingkan dengan ancaman yang diterima teman-teman jurnalis lain di daerah, tingkat ancamannya sangat rendah.

“Saya rasa malu kalau ancaman saya dibandingkan dengan teman yang di daerah. Itu hanya bagian warna-warni hidup saya sebagai jurnalis di Indonesia,” lanjutnya.

Tokoh Idola
Meskipun dapat dikatakan telah sukses kariernya di dunia jurnalistik dan diidolakan banyak orang, Nana juga memiliki idola sendiri di bidang jurnalistik. Tanpa ragu, ia menyebutkan Desi Anwar dan Andy F Noya sebagai tokoh idolanya.

Menurutnya, dua figur tersebut memiliki gaya masing-masing yang khas. Desi, di mata Nana, memiliki kemampuan yang unik dalam mengeskplorasi narasumbernya sedangkan Andy memiliki kemampuan yang hebat dalam memilih tema dan angle.

“Desi itu konsisten di dunia jurnalistik dan kemampuannya untuk mengeksplore narasumber dengan gaya sendiri itu menarik menurut saya. Kalau Bang Andy kemampuan memilih angle,” tutur Najwa.

Jika di dalam negeri Najwa menyukai Desi dan Andy, Najwa menyebutkan serentetan nama broadcaster luar negeri yang ia kagumi. Mereka adalah Rachel Maddow, Katherine Anne Couric, Oprah Winfrey, dan Barbara Walters. “Saya mengambil sedikit-sedikit (style, red) dari mereka. Nggak pernah secara keseluruhan. Kayak Rachel Maddow, dia itu pintar dan lucu, witty dan spesialis politik,” lanjutnya.

Jika istri dari pengacara Ibrahim Assegaf ini sangat lancar dan bersemangat menyebutkan tokoh-tokoh yang dikaguminya di bidang jurnalistik, tidak demikian halnya saat ditanyakan sosok yang diidolakannya di dunia hukum. Meskipun sudah mengenyam empat tahun pendidikan hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mendalami politik dan hukum di Australia, dan selalu meliput orang-orang hukum, Nana tidak memiliki tokoh hukum yang ia kagumi, baik dari segi pemikirannya maupun kiprahnya di dunia hukum.

“Nggak ada. Saya ga pernah berpikir tentang tokoh hukum tertentu gitu. Nggak ada yang spesifik untuk saya sebut,” jawabnya.

Ingin Kuliah Lagi
Lama malang melintang di pertelevisian, tak lantas membuat Nana berpuas diri. Selama 13 tahun menggeluti dunia kewartawanan dan broadcasting ini, Nana masih melihat banyak hal yang masih ingin ia capai dan perbaiki. Contohnya saja program Mata Najwa. Meskipun baru berusia empat tahun dan telah mendapatkan penghargaan seperti Talkshow Terbaik KPI dan Talkshow Paling Berpengaruh oleh Editor Choice, Nana masih terus ingin membesarkan Mata Najwa. Ia pun membandingkannya dengan program Kick Andy. Program asuhan Andy F Noya tersebut telah memasuki tahun kedelapan. Ia harus belajar banyak bagaimana mengelola talkshow dari tokoh idolanya tersebut.

Selain berkeinginan membesarkan mata najwa, hal lain yang dirindukan Nana adalah suasana kampus. Nana merasakan kerinduan untuk melanjutkan studinya lagi ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu S3. Ia sangat menyukai suasana belajar dan sangat menggemari dari proses belajar itu sendiri. Ia merindukan untuk kembali ke kampus, berdiskusi dan membaca buku. Ia juga menginginkan ada waktu luang untuk membaca buku-buku yang ia sukai. Saat ini, ia tidak lagi memiliki waktu untuk membaca buku yang sifatnya refreshing, menarik, dan menginspirasi. “Baca buku, nggak ada waktu. Sekarang aja setiap hari saya harus baca minimal 5 koran, belum majalah,” ujarnya.

Meskipun sangat sibuk, Nana tidak ingin berhenti dari jurnalistik. Ia pun juga tak berkeinginan untuk “kembali ke cita-citanya di masa kuiah”, yaitu jalur hukum sebagai hakim anak ataupun pengacara. Menurutnya, sebagai seorang jurnalis, sedikit banyaknya ia dapat melakukan peran orang-orang hukum. “Sejauh ini belum sih karena saya merasa saya bisa menjalankan peran itu lewat apa yang saya jalankan,” ucapnya.

Contohnya saja adalah kasus Raju. Ketika ia mendapat informasi mengenai kasus itu, ia langsung mengulas isu tersebut dan menaikkan beritanya secara berulang-ulang. Bahkan, ia meminta teman-teman wartawan lain untuk menaikkan berita tersebut. Ia juga merasa idealismenya untuk memperhatikan hukum anak tidaklah berkurang. Sedikit banyaknya ia bisa berkontribusi untuk dunia hukum anak ini di jurnalistik, setidaknya dengan mengangkat persoalan tersebut ke permukaan dan membicarakannya. Terlebih lagi, pers dan dunia pertelevisian semakin digdaya. Sebagian besar penduduk di Indonesia mengetahui informasi melalui televisi.

“Saya merasa sebagai orang yang bekeja di pertelevisian, itu (mengangkat isu-isu penting ke publik, red) adalah kesempatan yang mahal dan tidak semua orang bisa melakukan itu.  Mudah-mudahan bisa menggugah masyarakat,” ujarnya.  

Najwa dan Socrates
Taufik Basari, teman sekaligus senior Nana di FHUI ini menyukai gaya Nana sebagai seorang jurnalis dan broadcaster. Menurutnya, Nana terbilang cukup unik dan memiliki keunggulan lain dibandingkan dengan host-host lain.

Keunggulan itu terletak dari kemampuan Nana dalam menggali berbagai hal yang menarik dari para narasumbernya. Ia bisa melihat kemampuan, hasrat, cita-cita, dan kemampuan terpendam dari para narasumbernya. Tobas menyebut Nana seperti Socrates.

“Ia menjalankan socratic method, yaitu bertindak sebagai bidan yang menempatkan setiap subjeknya itu memiliki kemampuan, hasrat, dan cita-cita yang luar biasa dan unik. Nana berhasil mengeluarkan itu semua. Nana seperti Socrates yang selalu menempatkan dirinya seperti bidan,” tutur Tobas ketika dihubungi hukumonline melalui sambungan telepon, Rabu (2/7).

Kelebihan lainnya di mata Tobas adalah Nana memegang teguh nilai-nilai, baik nilai kemanusiaan, demokrasi, maupun kebenaran itu sendiri. Nilai-nilai ini ia terus pegang ketika menjalankan profesinya. Ketika menggali informasi dari narasumber, Nana tidak hanya sekadar menggali, tetapi juga membangun nilai-nilai itu sendiri seperti nilai kebenaran dan keadilan.

Kecerdasan Nana dalam profesinya juga telah terlihat sedari Nana kuliah. Menurut Tobas, semasa bergaul di fakultas, Nana sudah menunjukkan kemampuan untuk menganalisis dengan cepat. Dalam beberapa hal, kemampuan analisis cepat membutuhkan konsentrasi tinggi. Akan tetapi, Nana memiliki kemampuan analisis ini.

“Kecerdasannya sudah terlihat sejak mahasiswa dan kemampuan untuk menganalisis dengan cepat itu Nana luar biasa,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait