18 Tahun Indonesia Gagal Cegah Kekerasan
Reformasi Hukum

18 Tahun Indonesia Gagal Cegah Kekerasan

Reformasi Hukum dan HAM (Refhuk) adalah program yang mengetengahkan problematika hukum dengan narasumber kompeten. Hadir setiap Senin pukul 09.00-10.00 WIB. Program ini disiarkan oleh 156 radio jaringan KBR di seluruh Indonesia.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Foto: KBR
Foto: KBR
Sejarah mencatat Indonesia sebagai negara pertama di Asia Tenggara yang mengikuti konvensi anti penyiksaan internasional. Sejak tahun 1998, Indonesia menjadi pelopor anti penyiksaan di Asia Tenggara. Namun, itu berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan. Kekerasan dan penyiksaan masih terus ada di negeri ini.

Pengertian penyiksaan yang dimaksud oleh konvensi ini berbeda dengan penganiayaan pada umumnya. Aktivis Institute For Criminal & Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan yang membedakannya adalah pelakunya.

“Yang membedakan penyiksaan dan penganiayaan adalah subjeknya. Penyiksaan dilakukan oleh aparat atau staf official atau pejabat publik yang diberikan otoritas resmi untuk melakukan penyidikan dan penyelidikan tindak pidana,” ujarnya. Kata dia, ada tiga hal yang membuat penyiksaan dipisahkan dengan penganiayaan biasa selain pelakunya, yaitu korban dan tujuannya yang menjadikan ini menjadi delik tindak pidana penyiksaan.

Menurut data yang dihimpun oleh Institute For Criminal & Justice Reform (ICJR), tahun 2011/2012 lalu, sedikitnya ada 83 kasus penyiksaan yang terdata dilakukan aparat penegak hukum kepada masyarakat sipil yang mengatasnamakan penyelidikan. Angka itu menurun di tahun 2013 yang hanya mencapai 34 kasus yang terdata.

“Namun, pada tahun 2014 ini kita mencatat sudah ada sekitar 24 kasus hanya dalam kurun waktu selama 4 bulan pertama dalam tahun ini,” ujarnya.

Kata dia, kepolisian merupakan pejabat publik yang paling banyak melakukan penyiksaan atas nama penyelidikan. Selain itu, lapas dan rutan merupakan tempat yang paling sering digunakan untuk melakukan penyiksaan. “Kondisi, kenyamanan, dan fasilitas lapas atau rutan yang tidak layak dengan tingkat kepadatan merupakan tindakan kejam yang tidak manusiawi dan merendahkan, itu di atur konvensi ini,” ujarnya.

Menanggapi hal tersebut, Juru Bicara Mabes Polri Ronny Franky Sompie membantah kalau instansinya tidak mempertimbangkan hak pelaku kejahatan dalam pendalaman penyelidikan.

“Kami memiliki biro pengawasan penyidikan yang mengawasi langsung soal proses penyidikan,” ujarnya. Kata dia, dengan ini penyidik tidak bisa sewenang-wenang terhadap terduga dan terpidana dalam suatu kasus. “Pengawasan ini bahkan sampai di tingkat Polres. Jadi polisi tidak bisa sewenang-wenang mengintrograsi tersangka,” ujarnya.

Pengawasan yang sangat ketat ini kata dia, berdampak baik dalam penanganan kasus. Hal itu terbukti dengan dengan menurunnya jumlah kasus, mulai di tingkat bawah hingga atas. Meski demikian, dia tidak mengingkari kalau masih ada oknum-oknum petugas yang tidak mematuhi aturan terkait hal tersebut.

Namun kata dia, pihaknya selalu menindak tegas apabila ada anggotanya yang melanggar. “Tahun lalu Mabes Polri memecat dengan tidak hormat 300-an orang personil polisi terkait kasus tersebut. Tahun ini sudah sekitar 100-an personil polisi di Indonesia yang dipecat dengan tidak hormat,” ujarnya.

Dia memastikan, semua proses penyelesaian kasus dilakukan dengan terbuka dan mengutamakan norma. Dia menantang kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk memantau kinerja kepolisian demi perbaikan di internal Polri. “Kami sangat terbuka, ini juga demi kami agar lebih baik lagi melayani dan mengayomi masyarakat,” ujarnya.

Kata Supriyadi, harus ada penangkal agar kasus serupa tidak semakin banyak terjadi kedepannya. “Oleh karenanya, UU Anti Penyiksaan harus disahkan oleh DPR, supaya berdiri sendiri dan tidak menunggu UU lain,” ujarnya.

Dia menambahkan, selama undang-undang ini belum ada, Indonesia selama ini hanya menjadi ‘pemadam kebakaran’ terkait kasus-kasus kekerasan. Padahal kata dia, sudah 18 tahun lamanya Indonesia berkecimpung dalam konvensi ini. “Selama ini Indonesia belum berhasil mencegah kekerasan. Padahal sudah 18 tahun konvensi ini ada,” ujarnya.

Menurut dia, selama kasus kasus penyiksaan masih dikategorikan dalam KUHP, maka tidak ada efek jera bagi para pelakunya mengingat hukumannya yang sangat ringan. “Dalam 3 tahun terakhir, kasus kekerasan aparat selalu meningkat, namum hukumannya sangat ringan, makanya UU itu penting,” ujarnya. Dia menambahkan sekarang baru LPSK yang agak serius menangani kasus kekerasan oleh aparatur hukum. Namun kata Supriyadi, ini masih kurang dan sangat lemah.

Selain kepolisian, Kemenkumham, lembaga yang menaungi Lapas dan Rutan masih belum terlihat keseriusannya dalam mendukung segera disahkannya RUU Anti Penyiksaan tersebut. “Padahal Kemenkumham merupakan bagian dari pemerintah yang berwenang mengeluarkan Draf Rancangan Undang-Undang agar diajukan ke DPR,” ujarnya.

Karena itu, pihaknya terus mendesak pemerintah agar segera menyelesaikan draf RUU tersebut agar segera disahkan sebelum masa kerja DPR sekarang berkahir. “Peraturan yang ada sekarang tidak mengakomodir secara keseluruhan. Oleh karenanya pengesahan UU ini menjadi kahrusan. RUU mau tak mau harus mengakomodir hak korban,” ujar Supriyadi.

Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Reformasi Hukum dan HAM KBR. Simak siarannya setiap Senin, pukul 09.00-10.00 WIB di 89,2 FM Green Radio.

Sumber: www.portalkbr.com
Tags:

Berita Terkait