Yusril Kritik Putusan MK Soal Pilpres 2014 Satu Putaran
Utama

Yusril Kritik Putusan MK Soal Pilpres 2014 Satu Putaran

MK dianggap melampaui kewenangan dengan membuat norma baru.

Oleh:
NOV/ASH
Bacaan 2 Menit
Pakar HTN Yusril Ihza Mahendra. Foto: RES.
Pakar HTN Yusril Ihza Mahendra. Foto: RES.
Yusril Ihza Mahendra mengkritik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) satu putaran. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia ini menganggap tafsiran MK terhadap Pasal 159 ayat (1) UU No.42 Tahun 2008 tentang Pilprs telah membuat norma baru dalam UU Pilpres, bahkan UUD 1945.

Menurut Yusril, putusan MK yang mengabulkan permohonan uji materi Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres dan menyatakan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres inkonstitusional bersyarat sepanjang Pilpres hanya diikuti dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, sebenarnya menunjukan bahwa MK telah merumuskan norma baru.

Pasalnya, Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres yang diuji materi Forum Pengacara Konstitusi sama bunyinya dengan Pasal 6A ayat (3) UUD 1945. “Karena bunyi Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres sama bunyinya dengan Pasal 6A ayat (3) UUD 1945, bagaimana bisa dibilang bertentangan, kecuali diberi makna tertentu seperti dirumuskan MK,” kata Yusril, Jum’at (4/7).

Padahal, lanjut Yusril, kewenangan merumuskan norma UU adalah kewenangan Presiden dan DPR. Sementara, merumuskan norma UUD adalah kewenangan MPR. Oleh karena itu, Yusril menilai MK sering kali bertindak melampaui batas kewenangannya. Yusril menganggap MK membuat kacau sistem ketatanegaraan di Indonesia.

Yusril berpendapat, semestinya kevakuman hukum tentang Pilpres yang hanya diikuti dua pasangan calon ini dibiarkan saja. Apabila KPU menyatakan salah satu pasangan telah memperoleh suara terbanyak, walau dukungan sebaran provinsi belum terpenuhi dan tidak perlu dilakukan putaran kedua, pihak yang kalah tentu akan menggugat KPU ke MK.

Sebaliknya, jika KPU memutuskan bahwa walaupun satu pasangan sudah dapat suara terbanyak, tapi belum memenuhi dukungan sebaran povinsi dinyatakan belum menang dan harus dilakukan putaran kedua, pihak ini pun dapat menggugat putusan KPU ke MK. Di sini lah, MK akan memutuskan mana yang harus dilakukan KPU.

“Disinilah MK melakukan penemuan hukum ketika memutus perkara perhitungan suara Pilpres. Itu yang benar. Bukan membuat tafsir sendiri atau merumuskan norma hukum baru melalui perkara pengujian UU. Saya berpendapat cara MK atasi kevakuman hukum Pilpres dua pasangan ini keliru prosedur,” ujar Yusril.

Di lain pihak, Ketua Forum Pengacara Konstitusi Andi M Asrun menegaskan pihaknya meminta tafsir Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres dihubungkan dengan Pasal 6A UUD 1945 karena Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres belum mengatur dalam hal hanya ada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang bertarung seperti dalam Pilpres 2014.

Asrun mengungkapkan, pasal konstitusi itu tetap berlaku, walau MK menafsirkan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres inkonstitusional bersyarat sepanjang sepanjang pilpres hanya diikuti dua pasangan calon. “Namun, yang terpenting putusan uji materi pasal itu sudah menjawab kekosongan hukum dalam hal hanya ada dua pasangan calon,” tutur Asrun.

Ia mengatakan, jika MK tidak memberi tafsir akan menimbulkan persoalan jika salah satu pasangan memperoleh lebih dari 50 persen suara, tapi tidak tidak memenuhi syarat sebaran 20 persen di lebih dari setengah jumlah provinsi. Kendati demikian, Asrun meyakini dua pasangan calon yang ada berpotensi memenangkan Pilpres dalam satu putaran.

“Itu yang harus dihindari jika syarat sebaran tidak terpenuhi. Kita mengapresiasi putusan MK itu karena sudah menjawab keragu-raguan kita selama ini demi kepentingan bangsa. Kami tegaskan yang pasti tidak ada kepentingan politik dalam permohonan ini, tidak ada afiliasi dengan parpol dan pasangan tertentu,” tandasnya.

Pada Kamis lalu, MK mengabulkan permohonan uji materi Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres terkait syarat sebaran pemenangan pilpres yang diajukan Forum Pengacara Konstitusi. MK menyatakan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku untuk Pilpres yang hanya diikuti dua pasangan calon.

Dengan begitu, pelaksanaan Pilpres 2014 yang hanya diikuti dua pasangan calon dipastikan bakal berlangsung satu putaran dengan mekanisme suara terbanyak. Syarat sebaran 20 persen dinyatakan tidak berlaku. Uji materi ini juga diajukan dua pemohon lain, Perludem dan dan dua orang advokat Sunggul Hamonangan Sirait dan Haposan Situmorang.

Ketiga pemohon meminta tafsir atas syarat sebaran perolehan suara 20 persen dalam Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres dihubungkan dengan Pasal 6A ayat (3) dan (4) UUD 1945 demi kepastian hukum. Namun, putusan permohonan Perludem dan dua advokat itu dinyatakan nebis in idem karena MK sudah mengabulkan permohon Forum Pengacara Konstitusi.
Tags:

Berita Terkait