Sumpah Advokat Dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi
Utama

Sumpah Advokat Dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi

Hakim konstitusi menyarankan pemohon untuk memperbaiki permohonan. Dasarnya masih kasus konkrit.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Ketentuan sumpah advokat harus dilaksanakan dalam sidang terbuka di pengadilan tinggi kembali dipersoalkan. Melalui pengujian Pasal 4 ayat (1) dan ayat  (3) Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), seorang warga negara yang berprofesi sebagai advokat, Ismet menggugat pasal itu ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Ismet - yang tercatat advokat Kongres Advokat Indonesia (KAI) – merasa dirugikan karena pemohon tidak dapat bersumpah di pengadilan tinggi. Pasalnya, hanya advokat dari Perhimpunan Advokat Indonesia yang bisa disumpah oleh pengadilan tinggi. Ketentuan itu secara tidak langsung memaksa pemohon untuk menjadi anggota Peradi agar bisa disumpah di pengadilan tinggi.

“Ketentuan itu mengakibatkan pemohon tidak dapat menjalankan profesi advokat secara mandiri, dihalang-halangi untuk beracara di pengadilan,” kata Ismet dalam sidang pendahuluan yang dipimpin Patrialis Akbar di ruang MK, Selasa (08/7). Berdasarkan catatan hukumonline, sidang atas perkara ini seharusnya sudah dimulai sejak Mei lalu.    

Pasal 4 ayat (1) UU Advokat menyebut sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka pengadilan tinggi di wilayah domisili hukumnya. Pasal 4 ayat (3) menyebut salinan berita acara sumpah seperti dimaksud ayat (2) oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dikirimkan kepada Mahkamah Agung (MA), Menteri Hukum dan HAM, dan organisasi advokat.

Ismet menceritakan telah berusaha menjadi advokat Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dengan mengikuti ujian advokat Peradi sejak tahun 2005. Namun, adanya isu kecurangan mendorong pemohon bersama peserta ujian lain memprotes penyelenggaraan ujian di kantor pusat Peradi. Tak hanya itu, Ismet bersama peserta lain pun masih berupaya untuk mengikuti ujian advokat Peradi, tetapi tetap tidak lulus. “Jadi kita menganggap bukan orang yang disukai Peradi karena pernah mengorganisir ‘perlawanan’ terhadap Peradi,” ungkap warga Surabaya ini.

Dia mengakui meski MA telah mengeluarkan SK KMA No. 052/KMA/HK 01/III/2011 tertanggal 23 Maret 2011 yang membolehkan advokat dari organisasi manapun beracara di persidangan, tetap saja Pengadilan Tinggi tidak bersedia melakukan sidang terbuka untuk menyumpah advokat KAI.

“Umumnya, advokat yang ditolak beracara di sidang pengadilan karena hanya memiliki berita acara sumpah KAI yang tidak diselenggarakan Pengadilan Tinggi. Meskipun ada sebagian pengadilan masih menerima,” katanya.

Atas dasar itu, dia meminta MK menyatakan Pasal 4 ayat (1) UU Advokat sepanjang frasa “pengadilan tinggi” dan Pasal 4 ayat (3) sepanjang frasa “oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Menanggapi permohonan, Patrialis menilai materi permohonan masih menyangkut kasus konkrit yang dialami pemohon. Namun, pemohon sudah menyebut putusan MK No. 101/PUU-VII/2009yang putusan itu sebenarnya telah memberi peluang advokat di luar PERADI untuk disumpah di pengadilan tinggi. Tetapi, setelah ada surat edaran MA, pengadilan tinggi tak berani mengambil sumpah advokat di luar PERADI.

Patrialis mempertanyakan petitum permohonan yang meminta frasa “Pengadilan Tinggi” dihapus karena bertentangan dengan UUD 1945. “Kalau frasa ‘Pengadilan Tinggi’ ditiadakan, dimana advokat mau disumpah, oleh siapa? Apakah tidak menjadi masalah baru? Jadi arah permohonan Saudara belum terlihat,” kritiknya.

Dia menyarankan materi permohonan diurai kembali mengenai uraian posita dan petitumnya terkait penghilangan peran pengadilan tinggi. Hal ini dimaksudkan agar pasal itu tidak kehilangan “rohnya”, sehingga ada kepastian hukum lembaga mana yang berwenang melaksanakan sumpah advokat.

Anggota Panel Ahmad Fadlil Sumadi menilai uraian permohonan masih bersifat kasus konkrit. “Dibacanya seperti ‘curhat’ gitu,” selorohnya. Dia mengingatkan kasus konkrit bisa saja sebagai entry point untuk masuk dalam konstitusionalitas norma yang bertentangan dengan UUD 1945. “Penjelasan (posita) tidak nampak, tetapi maksudnya terlihat dalam petitumnnya,” kata Fadlil.

Karena itu, Fadlil meminta agar uraian permohonan ditata ulang sehingga bisa menggambarkan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3) UU Advokat bertentangan dengan UUD 1945. “Uraianya harus argumentatif kontitusional mengapa pasal itu bertentangan dengan UUD 1945. Jangan kasus konkrit lagi,” pintanya.
Tags:

Berita Terkait