Seperti diketahui, Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) telah menetapkan dua penanggung jawab tabliod Obor Rakyat sebagai tersangka. Namun, langkah tersebut dicederai karena Mabes Polri mengusut para tersangka dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Para tersangka diancam melalui pasal 9 ayat (2) yang mewajibkan setiap perusahaan pers memiliki badan hukum. Sanksi terhadap pelanggaran ini berupa denda sebesar Rp 100 juta, seperti diatur pada pasal 18 UU Pers.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menilai langkah Mabes Polri
tersebut adalah langkah hukum yang keliru. Pengusutan kasus Tabloid Obor Rakyat menggunakan UU pers bertentangan dengan rekomendasi dan pendapat Dewan Pers.
Pada 17 Juni 2014, Dewan Pers mengirim surat kepada Kapolri Jenderal Sutarman. Dalam surat No. 223/DP/K/VI/2014 terebut, Dewan Pers menyampaikan enam poin yang memuat pertimbangan, penilaian dan dan pernyataan menyikapi peredaran Obor Rakyat. Salah satu pertimbangan Dewan Pers menyatakan, masalah Obor Rakyat berada di luar ranah jurnalisme sehingga tidak dapat dijangkau melalui mekanisme UU Pers.
AJI memahami kepolisian juga sulit untuk menjangkau tersangka melalui UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, meskipun terdapat pasal 41 huruf c tentang larangan menghina seorang calon presiden dan atau pasangannya atas dasar agama, suku, ras, golongan; dan pasal 41 huruf d tentang larang menghasut dan mengadu-domba perseorangan atau masyarakat. Pasal ini sulit diterapkan karena larangan ini hanya berlaku bagi pelaksana, peserta, dan petugas kampanye yang telah terdaftar di tim sukses calon presiden/wakil presiden.
Karena itu, AJI Jakarta sependapat dengan beberapa pihak yang menyatakan pengusutan kasus Obor Rakyat dapat dilakukan melalui KUHP yakni pasal 156 dan 157 tentang penebar kebencian di depan umum, serta pasal 310 dan 311 KUHP mengenai fitnah. Dengan pengenaan pasal ini, pelaku dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan hukuman penjara 3-4 tahun.