Jadi Amicus Curiae, Todung Cs: Jangan Kriminalisasikan Kebijakan Bailout Century
Utama

Jadi Amicus Curiae, Todung Cs: Jangan Kriminalisasikan Kebijakan Bailout Century

Kriminalisasi kebijakan Century akan memberikan dampak sangat serius bagi perekonomian negara.

Oleh:
Happy Rayna Stephany
Bacaan 2 Menit
 Todung Mulya Lubis usai mengajukan Amicus Curiae Brief di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kamis, (10/7). Foto: RES
Todung Mulya Lubis usai mengajukan Amicus Curiae Brief di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kamis, (10/7). Foto: RES
Sejumlah tokoh yang menjadi amicus curiae (friends of the court) atau sahabat pengadilan dalam kasus Bailout Bank Century meminta Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) agar tidak mengkriminalisasikan kebijakan bailout Bank Century.

Mereka menyampaikan pandangan atau pendapat mereka ini dalam amicus brief yang disampaikan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (10/7). Kekhawatiran mereka muncul karena dalam perkembangan kasus Bank Century atas terdakwa Budi Mulya tidak lagi sekadar mencari kebenaran terkait tuduhan korupsi oleh terdakwa, tetapi lebih menyoroti pada kebijakan publik mengenai penyelamatan Bank Century.

“Mengkriminalisasi kebijakan itu salah dan punya dampak yang sangat serius,” tutur salah satu Amicus Curiae Tolak Kriminalisasi Kebijakan Century, Todung Mulya Lubis usai menyerahkan pandangan 34 tokoh (termasuk dirinya) ke Ketua PN Jakpus Gusrizal untuk diserahkan ke majelis yang memeriksa perkara itu.

Todung menjelaskan akibat serius dari kriminalisasi kebijakan bailout Century akan berefek pada keputusan untuk menyelamatkan aset-aset negara di negara lain. Pasalnya, apabila pengadilan memutuskan tidak ada krisis ekonomi saat itu sehingga tidak perlu bailout, kebijakan untuk melakukan asset recovery tidak dapat dilakukan karena negara-negara yang bersangkutan dapat menjadikan putusan pengadilan itu sebagai alasan menolak recovery.

Selain itu, para pejabat publik akan ketakutan saat akan mengambil keputusan.  Para pejabat publik yang berwenang tidak akan lagi berani mengambil keputusan demi menyelamatkan negara. Padahal, saat itu, sebuah kebijakan harus diambil demi kepentingan bangsa. Todung juga mengingatkan untuk tidak menilai suatu keputusan saat kebijakan itu telah dibuat. Lebih lagi jika keputusan itu diambil dalam suasana krisis.

“Kalau menilai kebijakan itu post factum, setelah kebijakan itu dibuat, itu gampang ya” lanjutnya.

Kendati demikian, Todung tidak pula mengharamkan untuk memeriksa perkara bailout century ini. Todung dan “sahabat pengadilan” lainnya justru mendukung upaya pemberantasan korupsi. Siapapun pengambil kebijakan yang terbukti benar-benar koruptif, patut dihukum. Hanya saja, Todung dan kawan-kawan berharap pengadilan mampu memilih dengan cermat mana tindakan koruptif dan mana yang tidak.

Todung pun menyebutkan tiga kategori suatu kebijakan tidak dapat dipidana, yaitu tidak ada niat jahat, tidak ada kecerobohan, dan tidak menguntungkan diri sendiri dalam mengambil kebijakan tersebut. Apabila keputusan itu diambil dengan niat jahat dan merugikan keuangan negara, pejabat tersebut patut diproses secara pidana.

“Kalau tidak ada niat jahat tapi merugikan keuangan negara itu juga tidak bisa dipidana,” pungkasnya.

‘Sahabat pengadilan’ lainnya Sarwono Kusumaatmadja mengaku prihatin dengan kasus ini. Mantan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi ini menilai bahwa kasus tersebut adalah contoh dimana sebuah kebijakan diadili. “Saya prihatin aja karena terlalu banyak kasus dimana kebijakan itu diadili. Ini salah satu kasus yang paling menyolok,” tuturnya dalam kesempatan yang sama.

Ia menjelaskan kebijakan bailout itu diambil setelah pejabat memiliki pertimbangan-pertimbangan tertentu dan pejabat yang menangani krisis itu memerlukan keputusan yang cepat yang untuk menyelamatkan aset negara. Ia juga melihat banyak orang yang baru menilai suatu kebijakan setelah kebijakan itu dibuat dan dilaksanakan. Apa yang terjadi di 2008 baru dipikirkan dengan situasi saat ini. Menurutnya, itu merupakan pemikiran yang salah.

“Jadi, kami ingin hal semacam ini diakhiri agar para pejabat itu memiliki keteguhan hati untuk melakukan hal-hal yang dianggap benar,” tandasnya.

Beberapa tokoh yang bergabung dalam Amicus Curiae Tolak Kriminalisasi Kebijakan Century ini adalah Salahuddin Wahid; Franz Magnis Suseno; Abdillah Toha; Ahmadi Hadibroto; Arianto A Patunru; Ari A Perdana; Arifin Panigoro; Albert Hasibuan; Bambang Kesowo; Betti S Alisjahbana; Darmin Nasution; Denny Indrayana; Eddy OS Hiariej, dan Emil Salim.

Sahabat lainnya adalah Emil Salim; Firmanzah; Goenawan Mohammad; Hamid Chalid; Hikmahanto Juwana; Kemal Stamboel; Laode M Syarif; Mas Achmad Daniri; Manggi Taruna Habir; Mardjono Reksodiputro; Mohamad Ikhsan; Natalia Soebagjo, dan Nindyo Pramono. Nono Anwar Makarim; Paripurna P Sugarda; Pratikno; Sarwono Kusumaatmadja; Sofian Effendi; Sofyan Djalil; Teuku Radja Sjahnan; Todung Mulya Lubis, dan Wihana Kirana Jaya turut menambah daftar Amicus Curiae ini.

Sebagai informasi, penyampaian pendapat dan masukan kepada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta  tersebut disampaikan oleh para tokoh ini dalam bentuk Amicus Curiae atau “Sahabat Pengadilan” (friends of the court), yang lazim dipraktikkan dalam tradisi common law.

Dalam hal ini, Pengadilan diizinkan menerima dan mempertimbangkan adanya pihak ketiga independen yang menyampaikan informasi atau fakta-fakta hukum berkaitan dengan isu-isu yang belum familiar sehingga Majelis Hakim dapat memeriksa dan mengambil keputusan yang benar dan adil.

Amicus Curiae dalam prakteknya juga telah diakui dan diterapkan dalam masyarakat hukum Indonesia, diantaranya dalam Perkara Peninjauan Kembali MA antara Time Inc. Asia, Et. Al melawan H.M. Suharto tahun 1999; Peninjauan Kembali MA antara Erwin Ananda melawan Negara Republik Indonesia (Kasus Playboy) tahun 2011; perkara di PN Tangerang antara Prita Mulyasari melawan Negara Republik Indonesia (Kasus Prita) tahun 2009; perkara di PN Makassar antara Upi Asmaradhana melawan Negara Republik Indonesia tahun 2009.
Tags:

Berita Terkait