Putusan Budi Mulya Dikhawatirkan Untungkan Koruptor Century
Amicus Curiae Century

Putusan Budi Mulya Dikhawatirkan Untungkan Koruptor Century

Putusan yang kontradiktif berpotensi digunakan koruptor Century untuk menggugurkan argumen pemerintah di arbitrase internasional.

Oleh:
Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit
Sejumlah tokoh yang menjadi amicus curiae (sahabat pengadilan) kasus Bank Century menggelar konferensi pers di Jakarta, Jumat (11/7). Foto: NOV.
Sejumlah tokoh yang menjadi amicus curiae (sahabat pengadilan) kasus Bank Century menggelar konferensi pers di Jakarta, Jumat (11/7). Foto: NOV.
Menjelang pembacaan putusan perkara korupsi Budi Mulya, sejumlah tokoh dan praktisi menjadikan diri mereka sebagai sahabat pengadilan (amicus curiae). Mereka menyumbangkan pendapat yang menolak kriminalisasi kebijakan penyelamatan Bank Century kepada Kepala Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Guru Besar Universitas Gadjah Mada yang juga Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana turut bergabung dalam amicus curiae. Denny mengatakan apabila majelis hakim menyatakan tidak terjadi krisis pada 2008, putusan itu akan digunakan pelaku Century sebenarnya untuk menggugurkan argumen pemerintah di arbitrase internasional.

“Putusan tersebut akan kontradiktif dengan putusan tahun 2010 lalu. Justru ada potensi pelaku kejahatan yang sebenarnya diuntungkan. Nanti akan dijadikan dasar mereka untuk menuntut ganti rugi karena ternyata kebijakan penyelamatan Century keliru. Padahal, yang sebenarnya penjahat ya mereka,” katanya, Jum’at (11/7).

Denny menjelaskan, pemerintah sedang menghadapi gugatan dua terpidana kasus korupsi Century, Hesham Al Warraq dan Rafat Ali Risvi di arbitrase internasional. Keduanya tidak terima dengan pengambilalihan investasi di Century yang dilakukan pemerintah Indonesia melalui bailout Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Pemerintah menjadikan alasan krisis tahun 2008 sebagai salah satu argumentasi pengambilalihan Century. Apabila Pengadilan Tipikor Jakarta dalam putusan perkara Budi Mulya menyatakan pada 2008 tidak terjadi krisis, menurut Denny, putusan itu berpotensi digunakan kedua terpidana untuk menangkis argumentasi pemerintah.

Padahal, dua pemegang saham pengendali Bank Century itulah yang tidak menepati Letter of Commitment kepada Bank Indonesia, sehingga mengakibatkan kerugian negara. Untuk itu, Denny berharap putusan majelis tidak kontradiktif dengan putusan sebelumnya. Tentu, pendapat ini tidak dimaksudkan untuk mengintervensi putusan majelis.

Selain itu, putusan majelis yang menyatakan tidak terjadi krisis pada 2008 akan mempersulit pengembalian aset-aset terpidana kasus Century di luar negeri. Semisal aset-aset yang berada di Hong Kong. Hingga kini aset-aset itu masih dibekukan dengan mempertimbangkan argumentasi pemerintah Indonesia.

Selaku Ketua Tim Pengembalian Aset Bank Century, Denny mengaku telah berhasil meyakinkan pengadilan Hongkong dalam negosiasi. Salah satu poin negosiasi yang disampaikan Indonesia agar Hong Kong tetap membekukan aset terpidana kasus Century adalah Indonesia tengah mengalami krisis pada 2008.

“Namun, kalau sampai ada putusan terbaru yang menyatakan tidak terjadi krisis, bisa digunakan para koruptor Century yang sesungguhnya untuk tidak jadi mengembalikan aset-aset, yang sesuai putusan, dirampas untuk negara. Putusan seperti itu justru bertolak belakang dengan upaya pengembalian aset Bank Century,” ujarnya.

Padahal, pemerintah telah mengupayakan pengembalian aset Century sejak beberapa tahun lalu. Upaya itu diperkuat dengan Perpres No.9 Tahun 2012 tentang Penugasan kepada Menkumham, Mensesneg, Menkeu, dan Jaksa Agung untuk Melakukan Penanganan Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana terkait Kasus PT Bank Century Tbk.

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya, diantarnya mengajukan Mutual Legal Assistant ke-16 yurisdiksi, yaitu Hong Kong, Kepulauan Mauritius, Jersey, Guernsey, Saudi Arabia, Australia, Bahama, Singapura, Luxemburg, Bahrain, Inggris, British Virgin Island, Bermuda Island, Swiss, Belanda, dan Uni Emirat Arab.

Kemudian, dengan mendasarkan pada putusan Hesham dan Rafat, Pengadilan Hong Kong pada tingkat pertama telah memenangkan pemerintah Indonesia terkait upaya pengembalian aset Century yang dikuasai Hesham-Rafat kurang lebih sebesar AS$4,076 juta pada 30 Januari 2014. Hesham-Rafat kini tengah mengajukan banding.

Lalu, aset milik Hartawan Aluwi senilai AS$2,6 juta telah dibekukan oleh otoritas Hong Kong dengan dasar memperhatikan putusan Hesham-Rafat. Begitu pula dengan proses peradilan di Mauritis antara First Global Fund Limited Pcc melawan Bank Mutiara (dahulu Bank Century) yang obyek tuntutannya senilai AS$18,292 juta.

Aset lainnya yang berada di Swiss juga telah diupayakan pengembaliannya oleh pemerintah. Atas permohonan pembekuan aset dari pemerintah Indonesia, Pemerintah Swiss telah membekukan AS$156 juta terkait Asset Management Agreement Bank Mutiara dan Telltop Holding Ltd yang berada di bawah kendali Hesham-Rafat.

Dengan ini, Denny berharap berharap majelis hakim yang akan memutus perkara Budi Mulya untuk mempertimbangkan konsekuensi hukum akibat dikabulkannya tuntutan penuntut umum. Hal itu dikhawatirkan akan berakibat fatal bagi semua upaya pemerintah dalam proses pengembalian aset Century.

Tidak hanya berakibat fatal bagi upaya pemerintah dalam pengembalian aset Century di luar negeri, tapi juga berakibat pada integritas lembaga penegakan hukum di Indonesia. Denny khawatir putusan yang bertolak belakang akan mengakibatkan kedaulatan hukum lembaga peradilan di Indonesia dipertanyakan.

Hal ini diamini pula oleh Todung Mulya Lubis. Ia berpendapat, apabila majelis menyatakan tidak terjadi krisis tahun 2008, hal itu akan mempersulit upaya pengembalian aset (asset recovery) Century. Artinya, pengadilan bukan cuma mengkriminalisasi kebijakan, melainkan mengkriminalisasi persoalan perdata suatu perusahaan.

Senada, Natalia Soebagjo menyatakan, putusan yang inkonsisten mengakibatkan ketidakpastian hukum. Dampak dari inkonsistensi ini akan menimbulkan kerugian negara yang jauh lebih besar. “Jika inkonsistensi ini terus dipertahankan, pelaku yang sesungguhnya itu dapat diuntungkan,” tuturnya.

Sebelumnya, pada persidangan atas terdakwa Budi Mulya, penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai bahwa Indonesia tidak mengalami krisis pada 2008. Karenanya, KPK menilai krisis tidak tepat menjadi alasan pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) kepada Bank Century maupun penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.

"Alasan telah terjadi krisis perekonomian dan krisis perbankan di tahun 2008 merupakan alasan yang tidak dapat dibenarkan secara hukum karena bila kita lihat dari tiga Perppu yang dikeluarkan yaitu Perppu No 2/2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 23/2008 tentang BI, Perppu No 3/2008 tentang Lembaga Penjamin Simpanan dan Perpu No 4/2008 tentang jaring Pengaman Sistem Keuangan, tidak ada satu katapun yang mengatakan bahwa Indonesia sedang atau telah mengalami krisis ekonomi dan krisis perbankan," kata penuntut umum KPK Ferdian Adi Nugroho di persidangan.
Tags:

Berita Terkait