Selesaikan Masalah Survei Secara Etik dan Hukum
Berita

Selesaikan Masalah Survei Secara Etik dan Hukum

Perbedaan hasil hitung cepat membingungkan masyarakat. Jika ada manipulasi, layak diproses hukum.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
LSI, salah satu lembaga survei. Foto: RES
LSI, salah satu lembaga survei. Foto: RES
Perbedaan mencolok hasil hitungan cepat (quick count) oleh lembaga survei pada proses pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres) 2014 membuat masyarakat bingung. Masyarakat tak hanya bertanya-tanya tentang mekanisme pengambilan sampling, tetapi juga orang yang berada di balik lembaga survei.

Sehubungan dengan itu, Jaringan Kebebasan Masyarakat Memperoleh Informasi (Freedom of Information Network Indonesia/Foini) meminta keterbukaan lembaga-lembaga survei. Jaringan ini mencatat setidaknya ada 12 lembaga survei yang selama ini mempublikasikan hasil kajiannya ke publik. Ada lembaga survei yang memenangkan pasangan Prabowo-Hatta, sebagian besar memenangkan pasangan Jokowi-JK.

Perhimpunan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) termasuk lembaga yang meminta agar dilakukan kajian mendalam tentang lembaga survei yang berpartisipasi pada Pilpres 2014. Peneliti Perludem, Khoirunnisa Agustyati, mengatakan kebingungan masyarakat akibat perbedaan mencolok hasil survei membuat masyarakat bingung. Sesuai Peraturan KPU No.23 Tahun 2013 tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemilu, maka setiap lembaga survei seharusnya menjelaskan metode dan teknik apa yang digunakan saat melakukan survei.

Ninis, panggilan Khoriunnisa, mengusulkan agar KPU membentuk Dewan Etik. Menurutnya Dewan Etik dapat digunakan untuk menindaklanjuti hasil audit yang sedang dilakukan Persatuan Survei Opini Publik Indonesia. Hasil audit itu seyogianya cepatnya diumumkan agar tidak menambah ruwet persoalan.

Dalam pelaksanaan Pemilu, dikatakan Ninis, yang dituntut independen dalam melaksanakan tugas bukan saja penyelenggara Pemilu, tapi juga lembaga survei. Hal itu sudah ditegaskan dalam regulasi yang ada terkait Pemilu. Oleh karenanya ketika terjadi persoalan, KPU dinilai layak untuk membentuk dewan etik. Sehingga dapat melihat mana lembaga yang patuh dan melanggar kode etik.

Sesuai Pasal 25 Peraturan KPU No.23 Tahun 2013,  lembaga survei yang terbukti melanggar etik dijatuhi sanksi berupa peringatan atau larangan melakukan survei. Jika ditemukan pidana maka bisa berlanjut ke jalur pidana. Untuk memastikan ada tidaknya pelanggaran etika diputuskan lewat Dewan Etik.

Peneliti Pattiro, Ari Setiawan, mengatakan perbedaan hasil quick count yang berbeda menodai demokrasi yang berkembang di Indonesia. Menurutnya, lembaga survei sebagai badan publik wajib menekankan prinsip transaparansi. “Termasuk mengetahui sumber dana yang digunakan darimana,” urainya.

Ari berpendapat semua lembaga survei, khususnya yang menggelar quick count selama Pilpres 2014 harus diaudit. Menurutnya, audit itu menguntungkan lembaga survei karena masyarakat dapat mengetahui mana lembaga survei yang kredibel dan tidak. Ketika ada lembaga survei yang melakukan kebohongan publilk maka dapat diancam pidana. Hal itu tertuang dalam ketentuan pasal 55 UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP). “Badan publik yang menyebarkan informasi sesat bisa dipidana,” tukasnya.

Selain itu aparat penegak hukum menurut Ari juga harus merespon dengan cepat perkembangan situasi Pilpres saat ini. Jika hasil audit itu sudah diterbitkan, segera ditindaklanjuti. Jika ditemukan ada lembaga survei dan stasiun TV yang sengaja menyiarkan informasi tidak benar dan sesat harus ditindak.

Peneliti IPC, Hanafi, mengatakan tanpa diminta mestinya lembaga survei memberikan informasi quick count kepada public, terutama pendanaan dan metodologi. Mengingat Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), sedang melakukan audit kepada lembaga survei yang melaksanakan quick count Pilpres 2014, ia berharap agar hasilnya segera diterbitkan.

Bagi Hanafi, hasil audit itu penting guna meredam gejolak yang ada pasca pemungutan suara karena adanya perbedaan hasil quick count. Ia berharap Persepi mampu mempublikasikan audit itu sebelum KPU secara resmi hasil selesai mengumumkan hasil rekapitulasi suara nasional. “Penting juga untuk meminimalisasi kecurangan,” pungkasnya.

Selain penyelesaian secara etika, kasus ini tampaknya mulai bergulir ke jalur hukum. Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Jakarta telah melaporkan empat lembaga survei ke Mabes Polri. Empat lembaga survei yang dilaporkan adalah Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis), Lembaga Survei Nasional (LSN), Indonesia Research Center (IRC), dan Jaringan Suara Indonesia (JSI). Keempat lembaga dilaporkan ke polisi karea diduga melakukan kebohongan public atas publikasi data hitung cepat.

Dalam konteks hokum, sebenarnya UU Pilpres pada awalnya memuat ancaman sanksi pidana terhadap lembaga survei. Tetapi kemudian dibatalkan Mahkamah Konstitusi.
Tags:

Berita Terkait