Lima Masalah Hukum dalam RUU Perbukuan
Berita

Lima Masalah Hukum dalam RUU Perbukuan

Melarang penerbit langsung mendistribusikan buku teks ke satuan pendidikan dasar dan menengah.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES
DPR menjadikan RUU Sistem Perbukuan sebagai salah satu hak inisiatif. RUU ini pada dasarnya ingin menjadikan sistem perbukuan nasional dikelola secara terpadu. Penyusunan RUU ini mempertimbangkan kendala-kendala yang dihadapi berkaitan dengan harga, mutu, jenis, ketersediaan, dan pemanfaatan buku.

Dalam bahan sosialisasi RUU ini di media massa, Wakil Ketua Komisi X DPR, Utut Adianto mengatakan fokus RUU ini adalah buku pendidikan. Kelak akan suatu badan yang mengaturnya. DPR melakukan studi banding ke London dan India dalam rangka penyusunan RUU ini.

Dalam salinan RUU yang diperoleh hukumonline terungkap RUU Sistem Perbukuan memuat 94 pasal yang mengatur seluruh tahapan dalam sistem perbukuan. Mulai dari penulisan naskah dan pencetakan hingga penerbitan, distribusi, penggunaan dan pengadaan. Dari pasal-pasal itu, setidaknya ada lima masalah hokum yang perlu dicermati.

Pertama, perjanjian tertulis. RUU ini menegaskan pentingnya sebuah perjanjian antara penulis dan penerbit, malah perjanjian dijadikan sebagai syarat penerbitan buku. Pasal 58 ayat (1) menyebutkan buku diterbitkan setelah memenuhi persyaratan, antara lain, terdapat perjanjian tertulis antara penulis dan penerbit yang sekurang-kurangnya memuat hak dan kewajiban masing-masing. Dengan demikian, materi perjanjian selebihnya diserahkan kepada kedua belah pihak.

Berkaitan dengan perjanjian, penting juga dicermati Pasal 12 huruf d RUU, yang mengatur: penulis dilarang melakukan perjanjian ganda atas satu hak cipta yang telah dikerjasamakan.

Kedua, hak cipta. RUU ini mengakomodasi hak cipta penulis, penerjemah, penyadur, dan ilustrator. Selain mengakui hak cipta, RUU juga memuat hak masing-masing pihak menerima royalti atas karya ciptanya. Penulis berhak atas royalti atas lisensi penerbitan dari harga bruto atau honorarium atas penyerahan hak cipta hasil karangan atau tulisannya.

Ketiga, penerbitan oleh perusahaan asing. Keterikatan Indonesia pada kesepakatan-kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN semakin membuka peluang masuknya investor asing ke Indonesia. Pasal 60 RUU mengatur: ‘penerbitan buku oleh pihak asing yang berlokasi di Indonesia wajib dilakukan melalui kerjasama dengan penerbit nasional setelah memperoleh izin dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan dan menteri yang terkait’. Tidak ada penjelasan lebih lanjut siapa yang dimaksud pihak asing, dan kategori buku apa yang penerbitannya harus melalui kerjasama dengan penerbit nasional.

Keempat, nama samara penulis. Pada dasarnya RUU ini menekankan agar penulis menggunakan nama aslinya pada karangan atau tulisan. Kalaupun menggunakan nama samaran pada karangan, nama aslinya wajib dicantumkan dalam perjanjian dengan penerbit.

Kelima, sanksi pidana. RUU Sistem Perbukuan memuat tiga pasal ancaman pidana dengan sasaran yang berbeda. Pasal 88 mengancam pidana penjara dan/atau denda siapapun yang menggunakan kertas buku khusus untuk kepentingan lain selain untuk buku pendidikan. Detil kertas khusus ini masih harus diatur Menteri terkait. Pasal 89 memuat sanksi kepada barangsiapa yang menjual buku melebihi harga eceran tertinggi. Pasal 90 memuat sanksi bagi penerbit yang langsung mendistribusikan untuk penjualan buku teks ke satuan pendidikan dasar dan menengah.
Tags:

Berita Terkait