Suka Duka Wanita Indonesia yang Berpraktik Hukum di Singapura
Berita

Suka Duka Wanita Indonesia yang Berpraktik Hukum di Singapura

Bekerja di firma hukum yang “ramah” terhadap wanita yang sudah berkeluarga.

Oleh:
MAR
Bacaan 2 Menit
Rina Lee. Foto: RES.
Rina Lee. Foto: RES.
Bekerja di firma asing di luar Indonesia tidak hanya memberikan pengalaman menarik, tetapi juga pelajaran berharga. Dari etos kerja yang tinggi hingga perlakuan berbeda menjadi resiko yang harus dihadapi. Ini yang sudah dialami oleh Rina Lee, advokat asal Indonesia yang sudah 14 tahun berpraktik hukum di Singapura.

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini berbagi kisah suka maupun dukanya saat berpraktik hukum di negeri Lee Kuan Yew itu kepada hukumonline, Selasa pekan lalu (8/7).

Kisah Rina di dunia advokat bermula ketika ia memulai magang di salah satu firma hukum top di Indonesia, Hadiputranto, Hadinoto & Partners (HHP) pasca lulus kuliah pada 2000 lalu. Baru dua bulan magang di HHP, Rina mendengar ada lowongan pekerjaan hukum di Singapura dari kampusnya.

Singkat cerita, Rina akhirnya diterima bekerja sebagai junior associate di firma hukum Inggris yang membuka kantor di Singapura, Denton Wilde Sapte (DWS). Kala itu, firma ini memang mencari sarjana hukum yang baru lulus agar bisa ‘dibentuk’ dan diajari cara kerja di firma internasional.

“Mereka meminta Indonesian law graduated untuk based di Singapore karena mencari orang yang mengerti Indonesian law (hukum Indonesia). Mereka memang mencari fresh graduate agar bisa di brainwash (cuci otak, red) untuk terbiasa dengan cara kerja internasional,” jelas Rina.

Baru empat tahun bekerja Rina terpaksa harus pindah ke firma lain karena DWS memutuskan untuk menutup kantornya di Singapura. Setelah beberapa kali berpindah firma, Rina bersama dengan partners dari Inggris dan Indonesia akhirnya memutuskan membuka kantor sendiri di Singapura dan Indonesia dengan nama Mataram Partners. 

Namun setelah lima tahun, Rina memutuskan untuk keluar karena saat itu tidak ada yang mengurus anaknya yang masih kecil dan sakit-sakitan.

“Saya ingin fokus ke keluarga, karena saat itu pressure (tekanan) nya banyak sekali, soalnya kantor sendiri jadi urusannya banyak sekali. Harus mengurus manajemennya dan memikirkan bagaimana mendapat lebih banyak pekerjaan,” papar advokat yang mengantongi izin dari Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).

Meski telah keluar, Rina masih sering membantu firma untuk memberi konsultasi mengenai hukum Indonesia. Lalu setelah sekitar delapan bulan berhenti, Rina mendapatkan tawaran kerja di Simmons & Simmons dengan jam kerja fleksible. Tawaran tersebut disambut dengan baik oleh Rina karena dengan jam kerja itu ia bisa tetap kerja dan fokus pada keluarga.

Jam Kerja
Rina mengatakan perbedaan antara bekerja di firma hukum Indonesia dengan firma tempat dia bekerja di Singapura tidak terlalu jauh. Namun, ada perbedaan mencolok terkait jam kerja. Di firma hukum tempatnya bekerja, jam kerjanya tidak seperti jam kerja kebanyakan law firm papan atas di Indonesia yang mengharuskan advokatnya bekerja hingga larut malam.

Working hours (jam kerja, red) di Singapura kayaknya kalau di foreign law firm (firma asing, red) lebih Oke, beda dengan lawfirm lokal yang kerjanya gila-gilaan apa lagi yang litigasi,” jelas wanita yang masih mempertahankan kewarganegaraannya ini walau sudah mendapat izin tinggal tetap di Singapura.

Lebih lanjut, Rina mengatakan beberapa firma di Singapura termasuk firma lokal belakangan ini bahkan mulai memberikan kebijakan khusus berupa waktu kerja yang flexible untuk advokat wanita yang berkeluarga. Pasalnya, banyak advokat wanita yang sudah 10 tahun berpraktik akhirnya berhenti bekerja atau memilih menjadi legal in house karena menganggap pekerjaan di firma hukum terlalu membuat stres.

“Apalagi, untuk yang sudah menikah dan punya anak kan susah ngatur waktunya,” jelasnya.

Nah, salah satu firma hukum yang mulai memberikan keistimewaan kepada advokat wanita yang sudah berkeluarga adalah firma Simmons & Simmons. Di sini, advokat wanita bisa memilih jam kerja yang sesuai dnegan kebutuhan, serta dapat bekerja dari rumah. “Misalnya, kalau saya memilih jam kerja dari jam 8.00 pulang jam 4.30, kalau teman saya pilih masuk agak siangan jam 10 dan pulangnya agak malaman,” papar Rina.

Tantangan dan Hambatan
Ada suka, tentu ada duka. Namun, Rina melihat duka itu sebagai tantangan yang wajib untuk ditaklukan. Salah satu tantangan bagi advokat asal Indonesia berpraktik di Singapura adalah perbedaan sistem hukum. Indonesia menganut model civil law (Eropa Kontinental) dan Singapura menganut common law (anglo saxon).

Tantangannya adalah kala harus bekerja sama dengan pengacara Singapura. Pasalnya, ada beberapa terminologi yang dalam pengertian civil law berbeda dengan common law, sehingga diperlukan banyak komunikasi agar tidak salah paham saat membuat legal drafting atau saat memberikan nasihat hukum.

“Kalau dengan lawyer (dari negara penganut common law, red) lain susah, apalagi ada terminologi menurut kita ini, tetapi menurut mereka beda. Jadi harus saling komunikasi biar tidak ada kesalahpahaman dalam drafting atau advice (saran, red),” paparnya.

Selain masalah istilah, kendala lainnya adalah advokat asing dari luar Singapura dibatasi praktik hukumnya. “Batasan tersebut adalah pengacara asing atau firma asing yang berpraktik di Singapura tidak boleh memberikan jasa konsultasi atau saran mengenai hukum Singapura, hal itu merupakan bagian dari proteksi pemerintah terhadap pasar jasa hukum di Singapura,” jelasnya.

Jadi, advokat asing yang berpraktik di Singapura harus melakukan registrasi di attorney general (kejaksaan, red) dan harus membuat pernyataan tidak akan memberikan konsultasi mengenai hukum Singapura. AdvokatSingapura yang kerja di lawfirm asing juga tidak bisa memberikan advice mengenai hukum Singapura, jadi mereka harus terdaftar sebagai advokat asing.

Namun, ada juga firma asing yang dibolehkan untuk memberikan konsultasi hukum Singapura, dengan syarat joint venture. Meski begitu, dalam praktiknya, tidak banyak firma asing yang bisa mendapatkan izin tersebut, saking susahnya izin itu. 

“Hal ini memang sensitif pernah ada satu kasus salah satu partners kita diminta pemerintah untuk memberikan advice mengenai hukum Inggris, tetapi ada yang mengadukan ke attorney general kalau kita memberikan advice mengenai hukum Singapura,” ungkap Rina.

Alhasil, firma tempat Rina bekerja diinvestigasi. Namun, karena tidak terbukti melanggar aturan itu, maka investigasi dihentikan. Ketatnya pengawasan di Singapura membuat firma asing tidak berani macam-macam atau melanggar ketentuan tersebut. Pasalnya, jika ketahuan lisensi firma tersebut akan dicabut.

Jadi, kalau ada perkara yang terkait hukum Singapura harus dikembalikan ke firma lokal, karena itu firmanya banyak kerjasama dengan firma lokal.

Berdasarkan catatan hukumonline, aturan pembatasan praktik bagi advokat asing juga berlaku di Indonesia. UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat menyatakan bahwa advokat asing tidak boleh memberikan saran atas hukum Indonesia dan tidak boleh berpraktik di pengadilan.
Tags:

Berita Terkait