Integrasi Bank Asia Bisa Lewat Perjanjian Bilateral
Berita

Integrasi Bank Asia Bisa Lewat Perjanjian Bilateral

Perjanjian antarotoritas bisa dilaksanakan sepanjang tak melenceng dari Asian Banking Integration Framework.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Integrasi Bank Asia Bisa Lewat Perjanjian Bilateral
Hukumonline
Dunia bisnis yang kian terintegrasi membuka peluang bagi bank-bank nasional untuk berintegrasi usaha dengan bank dari negara lain. Kerjasama bisa dilakukan melalui otoritas pengawas bank. Untuk itu pula disusun kerangka kerja integasi bank Asia (Asian Banking Integration Framework).

Di Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang menjajaki kebijakan itu, yakni membuka peluang perjanjian bilateral dengan otoritas serupa dari negara lain. Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad mengatakan, memorandum of understanding(MoU) yang bersifat bilateral telah dilaksanakan OJK. Misalnya saja, MoU dengan Japan Financial Services Agency (Japan FSA). Kerjasama bilateral serupa tengah dijajaki OJK dengan China Banking Regulatory Commision (CBRC).

Salah satu yang dibahas dalam kerjasama ini adalah penerapan prinsip-prinsip resiprokal di sektor keuangan kedua negara. Indonesia membuka diri terhadap Jepang. “Jadi terbuka pasar Jepang bagi pegiat pasar Indonesia,” ujar Muliaman di Jakarta, Jumat (18/7).

Ditambahkan Muliaman, perbankan domestik harus mampu memanfaatkan kerjasama bilateral dengan prinsip resiprokal. Salah satu syaratnya, adalah tak hanya memperkuat industri keuangan domestik saja, melainkan juga siap memanfaatkan peluan resiprokal sehingga pada saat kerjasama bilateral berlaku, dapat bersaing di regional.“Perlu ada komitmen kita untuk bangun itu, menguatkan domestik industri keuangan, sehingga tidak hanya domestik pasar saja,” tutur Muliaman.


Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Nelson Tampubolon menambahkan, perjanjian bilateral yang merupakan turunan dari Asian Banking Integration Framework tersebut akan mendetilkan aturan main dalam prinsip resiprokal. Namun, perjanjian bilateral tersebut dilakukan sepanjang tak melenceng dari Asian Banking Integration Framework yang bersifat multilateral tersebut.

“Dalam Asian Banking Integration Framework itu diatur bahwa nanti implementasi by bilateral, asal tidak keluar dari kerangka yang sifatnya multilateral,” katanya.

Misalnya, lanjut Nelson, perjanjian bilateral antara OJK dengan Malaysia disepakati adanya keseimbangan. Jika sekarang perbankan Malaysia sudah memiliki cabang di Indonesia sebesar 70 persen. Apakah perbankan Indonesia perlu juga memiliki cabang di Malaysia dengan jumlah yang sama. “Atau ada format lain, jadi kira-kira itu nanti ada by bilateral kita bahas,” katanya.

Menurutnya, jika Indonesia ingin melindungi perbankan domestik, segala ketentuan bisa diberlakukan sepanjang tak melenceng dari ketentuan Asian Banking Integration Framework. Namun, prinsip resiprokal yang diterapkan harus menjadi win-win solustion di antara kedua belah pihak.

“Artinya resiprokal itu kita terjemahkan. Kalau misalnya kalian (negara lain, red) sudah punya tiga bank di sini (Indonesia), kami buka dulu dong paling tidak dua bank, misalnya seperti itu, ini bilateral tergantung negosiasinya,” tutur Nelson.

Nelson mengatakan, sejumlah bank BUMN tak keberatan dilakukannya akuisisi dengan perbankan dari negara lain. Namun lagi-lagi, hal ini harus dibahas terlebih dahulu dan dinegosiasikan dengan harapan tak merugikan perbankan domestik. Begitu juga dengan penyebutan istilah bank asing.

Menurutnya, salah satu parameter penyebutan istilah bank asing tersebut adalah terkait kepemilikan asing di saham perbankan itu. “Contoh, kalau sudah di atas 50 persen kepemilikan asingnya, kita kategorikan dia sebagai bank asing,” katanya.

Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Halim Alamsyah mengatakan hal serupa. Menurutnya, perundingan dalam Asian Banking Integration Framework sudah menuju ke arah positif, yakni setelah kerjasama multilateral selesai akan diikuti pada kerjasama bilateral.

Menurutnya, kerjasama bilateral ini memerlukan kajian yang mendalam terkait prinsip resiprokal dan waktu yang tak sebentar. Negosiasi dalam kerjasama bilateral ini sangatlah penting. “Yang pasti prinsipnya harus resiprokal, mutual benefit dan mengejar ketertinggalan,” katanya.
Begitu juga jika perbankan luar negeri ingin akuisisi perbankan domestik. Menurut Halim, jika kerjasama bilateral mengerucut adanya akuisisi, maka perlu ditimang-timang positif negatifnya bagi Indonesia. “Kalau mau akuisisi atau buka cabang di sana banknya harus baik dan modalnya harus kuat. Sama juga, BI tidak akan terima kalau bank abal-abal dari sana mau masuk (ke Indonesia, red),” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait