ICJR Siapkan Uji Materi UU MD3
Berita

ICJR Siapkan Uji Materi UU MD3

Dinilai menghambat proses penegakan hukum, dan membedakan perlakuan terhadap anggota dewan di mata hukum.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
ICJR Siapkan Uji Materi UU MD3
Hukumonline
Belum lama disetujui, Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) hasil revisi langsung dikecam sejumlah kalangan. Pengganti Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 itu dinilai terlalu mengistimewakan DPR dan membuat proteksi berlebihan terhadap anggota Dewan. Karena itu, sejumlah kalangan sudah mewanti-wanti akan menempuh langkah konstitusional menggugat materi Undang-Undang tersebut.

Salah satunya dating dari kelompok pemerhati reformasi hukum pidana, Institute for  Criminal Justice Reform(ICJR). Berdasarkan informasi yang diperoleh hukumonline, ICJR sedang mempersiapkan bahan-bahan untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Yang digugat terutama Pasal 245 UU MD3 karena pasal ini dinilai menghambat proses penegakan hukum.  “ICJR akan segera mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi,” ujar Direktur Eksekutif  Supriyadi W. Eddyono.

Pasal 245 berisi tiga ayat. Ayat (1) menyebutkan, ”Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan”. Ayat (2) menyebutkan, “Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimanadimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan”.

Ayat (3) menyebutkan, “Ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR; a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; c. Disangka melakukan tindak pidana khusus”.

Inti Pasal 245 adalah pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikananggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana –selain pengecualian-- harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.  Supriyadi berpandangan ketentuan tersebut dinilai membangkitkan kembali Pasal 36 ayat (1) dan (2) UU No.12 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Padahal, kata Supriyadi, Pasal 36 UU Pemdatelah diputus tidak memiliki kekuatan hukum mengikatdan bertentangan dengankonstitusi. “MK menyatakan bahwa proses hukum penyidikan dan penyelidikan  terhadap kepala daerah tidak membutuhkan persetujuan dari Presiden,” ujarnya.

Ia menilai jiwa Pasal 245 UU MD3 hasil revisi sama halnya dengan Pasal 36 ayat (1) dan (2)  UU Pemda. Semestinya, masih kata Supriyadi perumusan dan pembahasan putusan MK No. 73/PUU-IX/2011 menjadi rujukan.  Maka dari itu, pembentukan UU MD3 hasil revisi dinilai tidak cermat dalam melakukan harmonisasi, khususnyaberhubungan dengan UUD 1945.

Rumusan Pasal 245 UU MD3 hasil revisi dapat menghambat proses penegakan hukum. Rumusan itu bisa menghambat penerapan asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan. Pasal itu terkesan memperlambat proses peradilan pidanakarena izin.  “Ada perlakuan berbeda terhadap warga negara lainnya dengan diberlakukannya Pasal 245 UU MD3 tersebut. Apapun jabatannya, anggota DPR adalah subjek hukum yang tidak boleh dibedakan dengan warga negara lainnya,” tandasnya.

Direktur Advokasi dan Monitoring Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Ronald Rofiandri mengamini padangan Supriyadi. Menurutnya ketentuan Pasal 245 menjadi penghambat dalam proses penegakan hukum. Namun khusus tindak pidana korupsi, UU KPK bersifat lex spesialis. “Terkait pidana korupsi, KPK bisa langsung,” ujarnya.

Wakil Ketua Pansus RUU MD3 Fahri Hamzah mempersilakan siapapun melakukan uji materi ke MK. Menurutnya, hak warga negara melakukan uji materi karena hak itu dijamin konstitusi.Uji materi diberikan kepada setiap warga negara Indonesia sepanjang memiliki legal standing. “Itu tidak ada masalah, silakan saja,” pungkas politisi PKS yang juga anggota Komisi III DPR itu.
Tags:

Berita Terkait