Penegak Hukum Perempuan Dinilai Lebih Sensitif Tangani Kasus Seksual
Utama

Penegak Hukum Perempuan Dinilai Lebih Sensitif Tangani Kasus Seksual

Polisi atau hakim laki-laki kerap mengajukan pertanyaan sensitif kepada korban.

Oleh:
MAR
Bacaan 2 Menit
Jaksa Agung Basrief Arief menyematkan tanda pangkat siswa perempuan Pendidikan Pembentukan Jaksa (Ilustrasi). Foto: www.wartabadiklat.info.
Jaksa Agung Basrief Arief menyematkan tanda pangkat siswa perempuan Pendidikan Pembentukan Jaksa (Ilustrasi). Foto: www.wartabadiklat.info.
Maraknya perempuan yang mulai terjun sebagai penegak hukum – polwan, jaksa atau hakim – dinilai berdampak positif bagi pengungkapan kasus kejahatan seksual, karena korban merasa lebih nyaman bila didampingi oleh penegak hukum perempuan.

Pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK PTIK) Kol. Sri Rumiati menuturkan bahwa pandangan di atas terbukti dengan adanya peningkatan laporan polisi dari para wanita korban kejahatan seksual, sejak penanganannya ditangani oleh polisi wanita (polwan).  Perempuan yang mengadukan kasusnya ke polisi lebih senang jika yang menangani adalah polwan, karena mereka menjadi lebih bebas berbicara.

“Sebab penyidik perempuan lebih sensitif untuk memahami persoalan perempuan,” ujar Sri dalam diskusi USINDO Jakarta Open Forum di Jakarta, Senin (21/7).

Oleh karena itu, lanjut Sri, pasca kerusuhan Mei 1998 dibuatlah ruang pelayanan khusus yang sepenuhnya ditangani oleh polwan. Setelah ditangani polwan, maka semakin banyak yang melaporkan meskipun banyak kasus yang tidak dilanjutkan. “Berbeda dengan penyidik laki-laki yang bertanya sesuai SOP (standard operating procedure), misalnya kamu tadi melakukan berapa kali, bagaimana perasaan kamu? Pertanyaan-pertanyaan itu dianggap tidak sensitif,” jelasnya.

Selain polisi, sensitifitas hakim perempuan juga dinilai berpengaruh dalam penanganan kasus kejahatan seksual atau kekerasan yang menimpa perempuan.

Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Artha Theresia Silalahi mengakui bila hakim wanita memang lebih sensitif dari hakim laki-laki dalam menangani kasus-kasus yang menempatkan wanita sebagai korban. “Tapi, itu bukan berarti hakim wanita, akan lebih berpihak pada wanita. Karena kita tetap berpihak pada fakta,” tegasnya.

Artha menilai bahwa kesensitifitas hakim perempuan lebih tinggi dibanding hakim laki-laki karena mereke memandang masalah perempuan dengan lebih arif, yakni tidak hanya hukum yang tertulis, tetapi filosofi dan backgroundnya.

“Misalnya, kalau mencuri harus memang dihukum, tapi hakim wanita akan mencari tahu mengapa dia mencuri, apa anaknya sakit, apa dia perlu uang sedemikian rupa sehinga harus mencuri, sebelumnya dia pernah mencuri atau tidak, hal seperti itu lebih sensitif,” papar Artha.

Apalagi, lanjutnya, kasus-kasus yang melibatkan perempuan semakin banyak yang dilaporkan belakangan ini. Oleh karena itu, ia berharap agar semakin banyak penegak hukum seperti polisi, jaksa yang sensitif kepada perempuan, supaya perempuan mau mengungkapkan masalah mereka.

Artha menambahkan di dalam masyarakat ada anggapan bahwa masalah perkosaan adalah hal yang memalukan bagi wanita (korban), sehingga mereka akan berpikir lebih baik orang tidak tahu, sehingga mereka enggan melapor ke penegak hukum. “Nah, bagaimana kita mengurangi rasa itu (rasa malu, red). Yaitu, kita perlakukan mereka dengan manusiawi, bukan mempermalukan tetapi mau menolong mereka,” ujarnya.

Lebih lanjut, Artha menjelaskan berdasarkan pengalamannya, masih ada hakim laki-laki yang mengajukan pertanyaan tidak patut bagi korban. “Dalam kasus perkosaan hakim laki-laki itu akan nanya berapa kali, enak nggak. Kalau hakim perempuan tidak akan bertanya seperti itu karena ada sensitifitas,” jelasnya.

Kepala Hubungan Internasional Kejaksaan Agung (Kejagung) Laksmi Indriyah Rohmulyati punya pendapat berbeda. Ia melihat tidak ada efek langsung atas kasus-kasus kejahatan yang menimpa wanita yang ditangani oleh jaksa perempuan. Apalagi, lanjutnya, kejaksaan menerima kasus dari polisi, sehingga tidak bisa mengatakan apakah ada efek langsung antara kasus yang ditangani jaksa perempuan atau tidak.

Lebih lanjut, Laksmi mengatakan tidak ada perintah langsung di kejaksaan agar kasus yang terkait dengan wanita ditangani oleh jaksa wanita, meskipun beberapa tahun lalu ada kebijakan tidak tertulis agar kasus yang menimpa wanita ditangani oleh jaksa perempuan. 

“Belakangan ini kebijakan tersebut tidak diterapkan lagi, karena kantor kita melihat bahwa setiap setiap jaksa baik laki-laki atau perempuan harus sensitif dalam menangani kasus yang terkait wanita dan anak-anak,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait