Jokowi Diminta Transparan Dalam Menyusun Kabinet
Berita

Jokowi Diminta Transparan Dalam Menyusun Kabinet

Guna mencegah politik transaksional.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Jokowi Diminta Transparan Dalam Menyusun Kabinet
Hukumonline
Selang satu hari setelah resmi ditetapkan sebagai pemenang Pilpres 2014, Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) langsung mendapat tuntutan dari koalisi LSM. Mereka menuntut Jokowi-JK bersikap terbuka dan transparan dalam menyusun kabinet 2014-2019 sehingga terhindar dari politik transaksional.

Koordinator KontraS, Haris Azhar memaparkan beberapa kriteria orang-orang yang layak masuk kabinet. Menurut dia, kabinet harus diisi oleh orang-orang yang memahami permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat sehingga mereka dapat memberikan solusinya.

“Jadi jabatan di lembaga pemerintahan apapun yang ditunjuk Presiden jangan diduduki oleh pelanggar HAM, perusak lingkungan dan koruptor,” kata Haris dalam jumpa pers di kantor KontraS Jakarta, Rabu (23/7).

Atas nama koalisi, Haris meminta Jokowi-JK untuk bersedia menjalin dialog dengan publik dalam proses penyusunan kabinet. Hal itu dapat dilakukan dengan terjun langsung ke masyarakat. Misalnya, ketika ingin menuntaskan persoalan Aceh, maka Jokowi-JK harus berdialog dengan masyarakat Aceh. Menurut Haris, Jokowi-JK masih memiliki cukup waktu untuk menjaring masukan masyarakat.

Direktur Eksekutif WALHI, Abet Nego Tarigan mengatakan Jokowi-JK sangat membutuhkan dukungan dari rakyat. Pasalnya, kekuatan partai politik pendukung Jokowi-JK hanya 33 persen di parlemen. Untuk meraih dukungan itu, Jokowi-JK harus melibatkan publik dalam proses penyusunan kabinet.

Dikatakan Abet, penyusunan kabinet dan kebijakan pemerintahan Jokowi-JK harus terbuka agar masyarakat dapat berpartisipasi dengan cara memberi masukan. Jika tidak melibatkan publik, Abet khawatir kebijakan yang dirancang pemerintahan Jokowi-JK serta susunan kabinetnya tidak sesuai dengan harapan masyarakat.  

“Tahun 2004, SBY mengusulkan reforma agraria nasional, kami pikir kebijakan itu akan menyelesaikan kasus-kasus agraria. Tapi, ketika diimplementasikan yang terjadi malah sertifikasi tanah,” urai Abet.

Senada dengan Haris, Abet berharap Jokowi-JK tidak memasukkan orang-orang yang terlihat kasus korupsi atau pelanggaran HAM. Menurut Abet, orang yang diduga terlibat kasus korupsi atau pelanggaran HAM tidak layak masuk kabinet, meskipun kasus yang menjerat mereka belum diputus pengadilan.

Ingatkan SBY
Berbeda dengan koleganya yang membahas pemerintahan Jokowi-JK, Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti justru masih menyoroti pemerintahan SBY. Poengky mengingatkan agar di sisa masa jabatannya, Presiden SBY tidak menerbitkan kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat. Dia mensinyalir saat ini SBY sudah menerbitkan surat amanat presiden untuk mendorong RUU Otonomi Khusus untuk Papua. Padahal, masyarakat Papua belum dilibatkan.

Selain itu, Poengky juga mendesak agar Presiden SBY segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa dan Statuta Roma. Tugas berikutnya yang harus dituntaskan adalah mengatasi konflik yang terjadi di Papua dengan berbagai cara termasuk dialog. Lalu, pemerintah juga harus mencari 13 aktivis 1997-1998 yang masih hilang.

“Kalau berbagai persoalan itu tidak dituntaskan, SBY tidak bisa menjadi Sekjen PBB di kemudian hari,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait