Kontribusi Pasca Bom Bali Ringankan Hukuman Eks Sekjen Deplu
Berita

Kontribusi Pasca Bom Bali Ringankan Hukuman Eks Sekjen Deplu

Sudjadnan mengaku perolehan negara lebih besar dari kerugian negara.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Eks Sekjen Deplu Sudjadnan Parnohadiningrat. Foto: RES.
Eks Sekjen Deplu Sudjadnan Parnohadiningrat. Foto: RES.
Kontribusi mantan Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri (Deplu) Sudjadnan Parnohadiningrat yang telah berjasa bagi bangsa dan negara dalam menjalin menjalin kerja sama internasional pasca peristiwa teror bom Bali dipertimbangkan majelis hakim sebagai salah satu hal yang meringankan sebelum menjatuhkan putusan.

Majelis hakim menghukum Sudjadnan dengan pidana penjara selama 2,5 tahun dan denda Rp100 juta. “Apabila terdakwa tidak membayar denda, maka pidana tersebut diganti dengan dua bulan kurungan,” kata ketua majelis hakim Nani Indrawati saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (23/3).

Nani menyatakan Sudjadnan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dakwaan kedua, Pasal 3 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Sudjadnan terbukti menyalahgunakan kewenangan dalam pelaksanaan pengadaan 12 kegiatan sidang internasional.

Sudjadnan merupakan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) untuk penggunaan dana cadangan kesekjenan Deplu periode 2002-2005. Selaku Sekjen Deplu, Sudjadnan menjadi penanggung jawab dalam pelaksanaan pengadaan 12 kegiatan sidang internasional yang diselenggarakan Deplu sepanjang tahun 2004-2005.

Awalnya, Sudjadnan mengikuti pertemuan untuk membahas perencanaan beberapa kegiatan sidang internasional dengan menggunakan dana cadangan Sekjen Deplu. Sesuai hasil pembicaraan dengan Menlu Noer Hassan Wirajuda, Sudjadnan memerintahkan I Gusti Putu Adnyana agar kegiatan sidang internasional lebih banyak dikerjakan Deplu.

Lalu, Sudjadnan menyelenggarakan 12 kegiatan sidang internasional. Pertama, International Conference of Islamic Scholar (ICIS). Kedua, pertemuan khusus kepala negara ASEAN. Ketiga, Senior Official Meeting (SOM) ASEAN EU dan ASEAN EU Ministerial Meeting. Keempat, SOM ASEAN dan Asia Europe Meeting (ASEM) Inter Faith Dialougue.

Kelima, Konferensi High Level Plenary Meeting on Millennium Development Goals (MDGs). Keenam, pertemuan regional tingkat menteri mengenai pemberantasan terorisme. Ketujuh, pertemuan ke-29 Inter Agency Procurement Working Group (IAPWG). Kedelapan, Lokakarya Youth and Poverty in South East Asia.

Kesembilan, Sidang Komite Prepcom III Review Conference NPT 2004 di Hotel Bali Intercontinental. Kesepuluh, Dialogue on Interfaith Cooperation. Kesebelas, Senior Official Meeting (SOM) ASEAN untuk Asia Europe Meeting (ASEM) di Bali, dan keduabelas, SOM I KTT Asia Afrika di Hotel Borobudur Jakarta.

Hakim anggota I Made Hendra menjelaskan, dalam pelaksanaan 12 kegiatan sidang internasional itu, Sudjadnan menunjuk PT Pactoconvex Niagatama sebagai professional convention organizer (PCO) tanpa melalui tahapan apapun sebagaimana diatur Keppres No.80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.

Padahal, apabila mengacu pada Keppres No.80 Tahun 2003, penunjukan langsung hanya dapat dilakukan apabila memenuhi sejumlah persyaratan. Sesuai ketentuan Pasal 17 ayat (5) Keppres No.80 Tahun 2003, penunjukan langsung penyedia barang dan jasa diperbolehkan dalam keadaan tertentu dan keadaan khusus.

Keadaan tertentu adalah penanganan darurat untuk pertahanan negara, keamanan, dan keselamatan masyarakat yang pelaksanaan tidak dapat ditunda, termasuk penanganan darurat akibat bencana alam, pekerjaan rahasia yang menyangkut pertahanan dan keamanan negara, serta pekerjaan berskala kecil dengan nilai maksimal Rp50 juta.

Sedangkan, keadaan khusus adalah pekerjaan yang berdasarkan tarif resmi pemerintah, pekerjaan yang hanya dapat dikerjakan satu penyedia, pemegang hak paten, produksi usaha pengrajin kecil yang telah mempunyai pasar dengan harga relatif stabil, serta pekerjaan kompleks yang hanya dapat dilaksanakan teknologi khusus.

Hendra mengatakan pengadaan yang dilakukan Sudjadnan bermula dari adanya instruksi Presiden untuk melakukan sidang internasional sebanyak-banyaknya untuk memberikan pemahaman kepada dunia internasional bahwa Indonesia, khususnya Bali aman untuk dikunjungi wisawatan manca negara pasca bom Bali 2002.

Namun, menurut Hendra, instruksi Presiden itu tidak termasuk kategori keadaan tertentu atau khusus sebagaimana dimaksud Pasal 17 ayat (5) Keppres No.80 Tahun 2003. Hal ini dikuatkan pula oleh pendapat ahli Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah (LKPP) Setya Budi Arijanta di persidangan.

“Yang diinstruksikan oleh Presiden adalah memperbanyak kuantitas sidang internasional di Indonesia, khususnya Bali untuk memulihkan kepercayaan dunia internasional. Dengan demikian, persetujuan terdakwa atas penunjukan langsung PT Pactoconvex tidak sesuai dengan Pasal 17 ayat (5) Keppres No.80 Tahun 2003," ujarnya.

Selain itu, Sudjadnan juga tidak melakukan cross-check sebelum menandatangani persetujuan pembayaran. Perbuatan Sudjadnan yang tidak menggunakan kewenangannya selaku Sekjen Deplu ini mengakibatkan terjadinya mark up atau kemahalan harga, sehingga menyebabkan pengeluaran keuangan Deplu jauh di atas harga riil.

Uang lelah
Hakim anggota Ibnu Basuki Widodo melanjutkan, uang mark up itu ternyata dibagi-bagikan sebagai uang lelah kepada sejumlah pegawai Deplu, seperti Warsita Eka Rp15 juta, I Gusti Putu Adnyana Rp 165 juta, dan Suwartini Wirta Rp165 juta. Sebagian lagi dipergunakan untuk membebaskan sandera warga negara Indonesia di Filipina.

Sementara, Sudjadnan yang dalam surat dakwaan disebut turut menerima uang lelah sebesar Rp330, menurut Ibnu, tidak terbukti di persidangan. Sesuai keterangan Warsita dan Adnyana, Sudjadnan memang menerima pembagian uang lelah, tapi uang lelah Rp330 juta itu tidak pernah diserahkan kepada Sudjadnan.

“Berdasarkan keterangan para saksi, uang itu tetap berada pada saksi I Gusti Putu Adnyana yang kemudian digunakan untuk melengkapi uang tebusan sandera tiga orang warga negara Indonesia yang disandra di Filipina. Oleh karenanya, terdakwa tidak terbukti menerima pembagian uang lelah Rp330 juta,” tuturnya.

Begitu pula dengan Hassan Wirajuda. Ibnu menyatakan, berdasarkan keterangan para saksi, menurut Sudjadnan uang lelah Rp440 juta disiapkan untuk diberikan kepada Hassan Wirajuda. Namun, di persidangan, tidak diperoleh fakta hukum adanya pemberian fisik uang. Sudjadnan pun telah membantah hal itu.

Dengan demikian, Ibnu berpendapat Sudjadnan tidak menikmati uang hasil tindak pidana, sehingga Sudjadnan tidak dibebankan uang pengganti. Walau begitu, Ibnu menganggap Sudjadnan telah terbukti menyalahgunakan kewenangannya selaku Sekjen Deplu yang bertanggung atas penggunaan dana kesekjenan.

Penyalahgunaan kewewenang yang dilakukan Sudjadnan telah memperkaya orang lain dan korporasi. Akibatnya, Deplu harus mengeluarkan biaya Rp22,483 miliar untuk membayar PCO maupun akomodasi untuk kegiatan yang dilaksanakan sendiri secara swakelola. Padahal, biaya sesungguhnya atau biaya riil hanya Rp9,339 miliar.

“Dari seluruh biaya yang dikeluarkan dengan biaya riil, terdapat selisih Rp13,143 miliar. Selisih inilah yang merupakan kerugian keuangan negara. Namun, karena Warsita bersama Adnyana telah mengembalikan sebesar Rp1,653 miliar kepada penyidik, kerugian negara dalam perkara ini menjadi Rp11,46 miliar,” terang Ibnu.

Tak ambil uang negara
Menanggapi putusan majelis, Sudjadnan masih pikir-pikir untuk mengajukan banding. Sudjadnan mengatakan putusan majelis sudah menunjukan bahwa ia tidak mengambil uang negara sepeserpun. Justru seharusnya yang dimintai pertanggungjawaban adalah bawahan-bawahannya yang membuat laporan mark up.

“Sudah jelas saya tidak terbukti mengambil uang negara. Tidak niat saya untuk korupsi. Ini kan diperbuat orang lain, masak saya dikatakan menyetujui mark up. Bagaimana saya menyetujui, wong pertangungjwaban dibuat oleh bawahan saya, tidak melalui saya, dan memang bukan tugas saya selaku Sekjen,” tegasnya.

Sudjadnan mengaku terpaksa melakukan penunjukan langsung karena adanya instruksi dari Presiden untuk menyelenggarakan konferensi internasional sebanyak-banyaknya. Menurutnya, jika menggunakan Keppres No.80 Tahun 2003 dan harus melalui proses lelang, tidak mungkin melaksanakan 12 konferensi dalam waktu singkat.

Oleh karena itu, Sudjadnan tidak menampik apabila majelis menganggap ia telah melakukan penyalahgunaan kewenangan. Namun, ia mengingatkan, dengan terselenggaranya 12 konferensi ini ada perolehan negara lebih dari Rp40 triliun. Namun, majelis hakim sama sekali tidak mempertimbangkan.

“Tidak pernah ada perkara korupsi manapun yang menguntungkan negara 4000 kali dari yang kerugian negara. Hal ini memberikan pelajaran ke masyarakat, korupsi bukan hanya karena karena mengambil uang negara, tapi bisa karena salah prosedur. Saya terpaksa harus dihukum karena tangung jawab jabatan saya,” tandasnya.
Tags:

Berita Terkait