Ketika Rakyat Memilih untuk Tidak Bisa Mendengar
Resensi

Ketika Rakyat Memilih untuk Tidak Bisa Mendengar

Diilhami dari kisah nyata.

Oleh:
MAR
Bacaan 2 Menit
Pemutaran perdana film
Pemutaran perdana film "Negeri Tanpa Telinga" di Jakarta, Senin (12/8). Foto: RES.
Film “Negeri tanpa Telinga” diawali dengan kisah percakapan di sebuah klinik Telinga Hidung Tenggorokan (THT). Di tempat itu, Naga (diperankan oleh Teuku Rifnu Wikana) yang berprofesi tukang pijat meminta dokter Sangkakala (diperankan oleh Landung Simatupang) untuk merusak gendang telinganya agar ia tidak lagi mendengar suara-suara yang menyakitkan hatinya.

Sementara di sisi lain, sebuah rencana konspirasi besar dilakukan oleh Partai Amal Syurga. Sang ketua partai Ustad Etawa (diperankan oleh Lukman Sardi) bekerja sama dengan importir daging domba, berusaha memanipulasi uang negara untuk keuntungan partainya. Rencana tersebut disusun rapi dengan berbagai dalih. Dan aktivitas partai yang selalu memakai symbol-simbol religi tersebut ternyata berbanding terbalik dengan segala tindak tanduk para petinggi partainya.

Selain Partai Amal Syurga, film ini juga menyorot kegiatan Partai Martobat, yang menjadi pengusung legitimasi politik di negeri itu. Partai Martobat memiliki ketua umum bernama Piton (diperankan oleh Ray Sahetapy) yang berambisi besar untuk menjadi presiden. Untuk itulah, ia berusaha mendapatkan dana sebanyak-banyaknya dengan bantuan Joki Ringkik, bendahara umum partainya yang duduk di parlemen.

Dalam mewujudkan keinginannya, Piton juga dibantu oleh kader partainya, bernama Tikis Queenta (diperankan oleh Kelly Tandiono). Dia adalah seorang anggota parlemen wanita yang hebat dalm melobi dan bisa masuk ke semua lini parlemen dan orang-orang partai.

Dibalik itu semua, konspirasi dan rencana busuk dua partai besar tersebut ternyata sudah dincar oleh Kapak, sebuah lembaga pemberantasan korupsi. Aktivitas para petinggi partai juga sudah terendus oleh seorang host TV9 (TV Nine) bernama Chika Cemani (Jenny Zhang) yang melakukan investigasi lewat berbagai narasumber.

Piton yang sudah berusaha bermain bersih, ternyata harus menerima kenyataan berhadapan dengan Kapak. Keadaan Piton semakin terdesak setelah Tikis buka mulut ke media mengenai keterlibatannya dalam dalam kasus korupsi. Keadaan terdesak, Piton yang merasa dikhianati, mulai membabi buta meneror orang-orang yang dia duga membocorkan rahasianya.

Salah satu korbannya adalah Naga, tukang pijat Piton yang juga banyak memijat pejabat serta orang-orang di media TV9.  Melalui telinganya Naga menangkap semua percakapan dan perbincangan orang-orang itu. Sebagai tukang pijat, Naga mendengar semua pembicaraan orang-orang penting itu, bagaimana mereka melakukan transaksi sampai menjadi tempat curhat Piton yang merasa hanya dijadikan sumber uang oleh istrinya sendiri.

Siapa saja yang menjadi korban teror Piton, bagaimana Piton mengyelesaikan masalah yang dihadapinya, serta apakah Piton akan ditangkap oleh Kapak?  Anda bisa menuntaskan kisahnya dengan menonton film Negeri Tanpa Telinga yang sudah tayang di bioskop sejak 14 Agustus 2014 ini.

Diilhami dari Kisah Nyata
Cerita film Negeri Tanpa Telinga ini memang terkesan memutar kembali kisah-kisah korupsi para petinggi partai dan pejabat yang banyak diangkat di media-media. Film ini akan membuat para penontonnya teringat pemberitaan yang mewarnai layar televisi saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap pelaku Kasus korupsi impor daging sapi dan Kasus korupsi Hambalang. 

Sutradara film ini, Lola Amaria mengakui bahwa ide dari film tersebut berasal dari pemberitaan-pemberitaan di media terkait korupsi.

Film ini memang sangat dipenuhi dengan sindiran-sindiran politik, tetapi sangat disayangkan bahwa film ini tidak memiliki pesan moral yang kental. Walau demikian, film ini cukup menghibur, serta dapat memberikan gambaran bagaimana lobi-lobi politis untuk sebuah proyek dilakukan oleh para politisi.
Tags:

Berita Terkait