Menkumham Baru Tahu Ada PP yang Mengatur Aborsi
Berita

Menkumham Baru Tahu Ada PP yang Mengatur Aborsi

Padahal, PP itu diundangkannya sendiri pada 21 Juli lalu.

Oleh:
ALI
Bacaan 2 Menit
Menkumham Amir Syamsuddin. Foto: RES
Menkumham Amir Syamsuddin. Foto: RES
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Amir Syamsuddin mengaku baru mendengar adanya Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur seputar aborsi.

“Alangkah baiknya, saya baca dulu sebelum saya bicara. Saya baru pertama kali mendengarkan, kemarin. Saya baru dengar cerita mengenai adanya PP itu. Beri kesempatan saya untuk mendalami, jangan sepotong-potong,” ujarnya di Gedung Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Jakarta, Kamis (14/8).

Amir menuturkan bahwa pembahasan PP ini kemungkinan besar dilakukan di era menkumham sebelum dirinya. Apalagi, PP ini disebutkan telah dibahas selama lima tahun oleh Kementerian Kesehatan. “Kemungkinan di era sebelum saya menjadi menteri. Ini kan lima tahun, saya baru (menjabat,-red) tiga tahun,” ujarnya.

Sekadar mengingatkan, PP No.61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi menuai kontroversi di kalangan masyarakat. Pasalnya, PP tersebut mengatur tentang legalisasi tindakan aborsi untuk alasan medis dan kehamilan akibat perkosaan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 31 PP tersebut.

Pasal 31 ayat (1), secara lengkap, berbunyi “Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan: a. indikasi kedaruratan medis; atau b. kehamilan akibat perkosaan”. Pasal 31 ayat (2) menyatakan “Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir”.   

Uniknya, meski Amir baru mengetahui dan mendengar adanya “PP Aborsi” ini, dirinya sendiri yang mengundangkan PP ini pada 21 Juli 2014. Di PP tersebut jelas terlihat bahwa PP ini ditetapkan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan diundangkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsudin pada tanggal yang sama.

Amir mempunyai pandangan sekilas, meski belum membaca PP ini secara lengkap. Ia cenderung setuju dengan pengaturan aborsi berdasarkan dua alasan tersebut. “Saya kira kalau pendekatan kita dari segi medis, saya kira wajar. Itu sudah universal,” ujarnya.

Misalnya, lanjut Amir, aborsi untuk korban pemerkosaan di beberapa negara sudah menerapkan hal itu. Ia berpendapat bahwa aborsi dengan dua alasan ini bukanlah pelanggaran HAM, tetapi justru perlindungan HAM bagi korban. “Orang yang diperkosa itu apakah tidak perlu dilindungi hak asasinya. Ini kan di luar kemauan dia,” tambahnya ketika menjawab pertanyaan wartawan.

Bahkan, saat wartawan mendesak dengan adanya UU Perlindungan Anak yang dilakukan sejak berbentuk janin, Amir tetap pada pendiriannya. “Anda pendekatannya jangan terlalu formal seperti itu ya. Bayangkan trauma seorang korban pemerkosaan,” ujar politisi Partai Demokrat ini.

Penjelasan Umum Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan “Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun.”

Sebelumnya, Menteri Kesehatan Nafisah Mboi menegaskan pemerintah tidak pernah menerbitkan PP tentang praktik aborsi. Ia menyebutkan, Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 21 Juli 2014 adalah tentang Kesehatan Reproduksi.

Bahwa di PP tersebut diatur masalah aborsi, Menkes menegaskan, bahwa hal itu hanya bisa dilakukan untuk dua hal, yaitu yaitu untuk kedaruratan medis misalnya nyawa ibu atau janin terancam, serta pengecualian kedua untuk korban perkosaan.

“Tidak boleh ada aborsi kecuali untuk kedua alasan itu,” kata Menkes kepada wartawan di kantor kepresidenan, Jakarta, Rabu (14/8), sebagaimana dilansir dari laman www.setkab.go.id.
Tags:

Berita Terkait