Akhirnya, DPD Gugat UU MD3
Utama

Akhirnya, DPD Gugat UU MD3

Dinilai tidak demokratis, bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 serta rasa keadilan masyarakat.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Anggota DPD I Wayan Sudirta. Foto: SGP
Anggota DPD I Wayan Sudirta. Foto: SGP
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) secara resmi mendaftarkan permohonan pengujian UU No. 17 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). DPD hendak memohon pengujian baik secara formil maupun secara materil terhadap 21 pasal yang dinilai memperlemah posisi DPD.

“Kita sudah mendaftarkan pengujian UU MD3 ini dari segi formil dan materil,” kata Anggota DPD I Wayan Sudirta saat konferensi pers di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jum’at (15/8).

Wayan menilai dari sisi formil, menurut konstitusi, kelembagaan DPR, DPD, dan MPR seharusnya diatur dalam UU tersendiri. Namun, MD3 revisi ini masih menggabungkan ketiganya dalam satu UU. Selain itu, banyak materi dalam UU MD3 masuk dan diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. “Ini jelas kesalahan pengaturan secara formal,” kata Wayan.    

Dia mengatakan pengujian beberapa pasal tersebut berkaitan dengan masalah keistimewaan dan kekuasaan DPR yang luar biasa ditambah lagi dalam UU ini. Misalnya, setiap pemanggilan dan pemeriksaan anggota DPR dalam proses penyidikan harus mendapat persetujuan Mahkamah Kehormatan DPR. “Kalau DPD tidak ada,” kata Wayan.  

Dalam UU MD3 sebelumnya ada ketentua jika anggota DPR enam kali berturut-turut tidak menghadiri sidang paripurna  terkena sansi. Dalam UU MD3 revisi ketentuan  itu dihapus, tetapi pasal ini masih tetap berlaku bagi DPD. “Ini ketentuan yang diskriminatif,” katanya.

Disebutkan Wayan UU MD3 ini juga memberikan kewenangan DPR untuk menyusun anggaran. Sebaliknya DPD tak mendapatkan hak itu. “Banyak sekali pasal yang memperkuat DPR, lalu menghapus ketentuan yang menjaga disiplin DPR.”

Ada beberapa pasal yang dihapuskan: penghapusan pasal penyidikan anggota MPR, DPD, DPRD provinsi dan kabupaten, penghapusan Badan Akuntabiltas Keuangan Negara, penghapusan larangan penerimaan gratifikasi. “Kalau gratifikasi tidak dilarang berarti bebas mereka menerima. Jadi pasal-pasal yang berkaitan dengan keuangan, akuntabilitas publik dan korupsi malah semakin kuat di sana,” katanya.

Anggota DPD lainnya, Jhon Pieris menambahkan UU MD3 ini tidak saja melanggar konstitusi, tapi juga tidak melaksanakan putusan MK No. 92/PUU-X/2012 yang mengamanatkan pelibatan DPD dalam pembahasan setiap UU seperti termuat dalam Pasal 72 UU MD3 revisi.

UU MD3 ini juga dinilai tidak menaati doktrin-doktrin hukum tata negara sebagai sumber hukum dimana dalam sistem parlementer atau presidensial, pimpinan DPR adalah pemenang pemilu. “Sekarang itu dihapus dan mekanisme diubah menjadi  pemilihan pimpinan DPR. Kita bisa bayangkan partai yang cuma mendapat 10 kursi di DPR lalu uangnya banyak, dia bisa jadi ketua DPR,” kata Pieris.

“Konstruksi DPD sesuai putusan MK itu, dilemahkan melalui UU MD3 revisi itu. Jadi, kesimpulannya UU MD3 revisi tidak demokratis, bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 serta rasa keadilan masyarakat.”

Sebelumnya, langkah hukum serupa ditempuh PDI Perjuangan, dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan  Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika). PDIP menguji 8 pasal dalam UU yang sama baik dari sisi formil ataupun materil.

Misalnya aturan mekanisme pemilihan pimpinan komisi, pimpinan badan legislasi, pimpinan Badan Anggaran yang  sifatnya ad hoc, tiba-tiba diperrmanenkan. Lalu, mekanisme pemiihan Mahkamah Kehormatan Dewan, pimpinan Badan Urusan Rumah Tangga, Badan Akuntabilitas Keuangan Negara justru dihilangkan; adanya hak imunitas anggota DPR saat menjalani proses hukum.

Bagi PDIP, hal yang krusial adalah Pasal 84 UU MD3 Revisi terkait mekanisme pemilihan pimpinan DPR yang dilakukan oleh anggota DPR yang tidak pernah muncul dalam pembahasan sebelumnya. Padahal, konvensi (ketatanegaraan) sudah menentukan setiap pemenang Pemilu berhak menjabat ketua DPR atau parlemen. Hal ini diperkuat dengan Pasal 82 UU MD3.

Lain hal dengan ICJR yang mempersoalkan Pasal 245 UU MD3 Revisi yang terkesan mengistimewakan DPR dengan memberi perlindungan terhadap anggota DPR ketika menghadapi proses hukum. Pasalnya, setiap pemeriksaan dalam proses penyidikan anggota DPR harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Ketentuan ini mirip dengan Pasal 36 UU Pemda yang sudah dibatalkan MK terkait izin pemeriksaan kepala daerah tidak lagi memerlukan izin presiden.

Ketentuan krusial yang dipersoalkan Yappika menyangkut pemilihan Ketua DPR melalui mekanisme voting (seluruh anggota DPR), bukan lagi dijabat kader partai pemenang Pemilu. Ketentuan lain memberi hak imunitas DPR jika terlibat masalah hukum. Pasalnya, penegak hukum harus minta izin Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) jika ingin melakukan pemeriksaan terhadap anggota DPR.

Spesifik, DPD memohon pengujian Pasal 166 ayat (2), Pasal 167 ayat (1), Pasal 276 ayat (1), Pasal 277 ayat (1), Pasal 165, Pasal 166, Pasal 71 c, Pasal 170 ayat (5), Pasal 72, Pasal 171 ayat (1), Pasal 249b, Pasal 174 ayat (1), Pasal 174 ayat (4), Pasal 174 ayat (5), Pasal 224 ayat (5), Pasal 245 ayat (1), Pasal 250 ayat (1), Pasal 252 ayat (4), Pasal 281, Pasal 305, Pasal 307 ayat (2) UU MD3 yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Tags:

Berita Terkait