Bubarkan Parpol yang Tak Berkontribusi Bagi Negara
Terbaru

Bubarkan Parpol yang Tak Berkontribusi Bagi Negara

Banyaknya parpol tak menjadi persoalan sepanjang memberikan kemajuan bangsa dan negara.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Kiri-Kanan, Irman Putra Sidin, Laica Marzuki, Nurhasan Ismail dan Satya Arinanto saat menjadi pembicara di peluncuran buku Fajrul Falaakh, di gedung MPR, Jakarta, Senin (18/8). Foto: RES
Kiri-Kanan, Irman Putra Sidin, Laica Marzuki, Nurhasan Ismail dan Satya Arinanto saat menjadi pembicara di peluncuran buku Fajrul Falaakh, di gedung MPR, Jakarta, Senin (18/8). Foto: RES

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanudin, Prof. Mohammad Laica Marzuki, menegaskan Partai Politik (Parpol) merupakan alat dalam sebuah negara demokrasi. Namun, jika parpol tidak sejalan dengan demokrasi dan memperjuangkan aspirasi rakyat, maka sebaiknya dibubarkan.

Bahwa parpol adalah alat, apakah sebagai alat tidak lagi menjalankan misinya maka seyogianya dibubarkan atau ditiadakan,” ujarnya dalam ujarnya dalam “Peringatan Hari Konstitusi dan Peluncuran Buku (Alm) Fajrul Falaakh’ yang digelar Komisi Hukum Nasional (KHN)” di Gedung DPD RI, Senin (18/8).

Menurut Laica, parpol mesti sejalan dengan kepentingan rakyat banyak ketika sejumlah wakilnya terpilih untuk duduk di kursi dewan. Laica pun meluruskan pandangan almarhum Mohammad Fajrul Falaakh, cendikiawan HTN itu.

Dikatakan Laica, parpol merupakan alat dan konstitusional dalam rangka penegakan demokrasi. Namun parpol dalam negara demokrasi tak dapat dipisahkan dengan kepentingan rakyat banyak. “Kalau alat itu tidak bisa berkontribusi buat negara, maka parpol itu tidak ada gunanya,” katanya.

Mantan hakim Mahkamah Konstitusi itu lebih jauh mencontohkan pertumbuhan partai di negeri paman Sam, Amerika Serikat. Dalam perkembangan parpol yang sedemikian banyak, pada akhirnya akan mati suri. Nah, atas  dasar itulah Laica sependapat dengan pemikiran Fajrul bahwa parpol adalah alat, bukan tujuan.

Menurutnya, parpol adalah alat dalam rangka mencapai tujuan. Meski parpol sebagai alat dalam rangka memperoleh kekuasaan, tetap dilatarbelakangi oleh kepentingan rakyat banyak. Laica berpandangan, pemikiran Fajrul tidak terlepas dari situasional.

Lebih jauh Laica mengatakan kekuasaan negara perlu dibatasi. Menurutnya UUD1945 menyatakan kedaulatan berada di tangan rakyat. “Artinya, rakyat yang berdaulat terikat oleh konstitusi,” ujarnya.

Laica yang juga mantan hakim agung itu melanjutkan, pelaksanaan kedaulatan rakyat atas dasar konstitusi. Atas dasar itu, Laica berpandangan penguasa yakni rezim pemerintahan terikat oleh konstitusi. “Kekuasaan penguasa harus dibatasi. Di sini esensi Pasal 1 UUD 1945. Konstitusi yang terbuka harus membuka ruang bagi pembatasan kekuasaan. Karena demokrasi kita atas dasar kedaulatan rakyat,” imbuhnya.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM), Prof. Nurhasan Ismail, mengatakan kematangan berdemokrasi di Indonesia perlu ditingkatkan. Menurutnya, perbedaan kematangan berdemokrasi boleh jadi menjadi pemicu konflik. Ia khawatir banyaknya parpol yang tidak diimbangi dengan kematangan demokrasi dapat menjadi pemicu konflik.

Menurutnya, pandangan Laica bahwa parpol adalah instrumen dalam demokrasi tak dapat dipungkiri. Parpol, kata Nurhasan, merupakan alat dalam rangka mencapai tujuan. Ia berpandangan banyaknya parpol tak menjadi persoalan sepanjang memberikan konstribusi bagi kemajuan  bangsa dan negara.

“Semua kalau mencapai tujuan oke saja kalau berkontribusi kalau banyak parpol. Tapi kalau konflik dan membangun instrumen tapi tidak berkontribusi buat negara, buat apa. Itu diskusi saya dengan beliau (Fajrul Falaakh, red) tahun 1992,” ujarnya.

Pakar HTN lainnya, Irman Putra Sidin mengamini pandangan Laica dan Nurhasan. Menurutnya, parpol ada kendaraan dalam berdemokrasi untuk mencapai kekuasaan. Namun, dalam berdemokrasi di sebuah negara harus berkualitas. Dengan catatan, demokrasi tak boleh dilanggar.

“Jika ini dilanggar oleh keputusan minoritas menciderai demokrasi,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait