Aktivis Perempuan Ikut Gugat UU MD3
Berita

Aktivis Perempuan Ikut Gugat UU MD3

Pemohon minta pasal-pasal yang diuji memperhatikan keterwakilan perempuan.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Rieke Diah Pitaloka (tengah). Foto: Sgp
Rieke Diah Pitaloka (tengah). Foto: Sgp
Sejumlah aktivis perempuan yang mengatasnamakan Koalisi Kepemimpinan Perempuan resmi mendaftarkan pengujian sejumlah pasal dalam UU No. 17 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Mereka mempersoalkan penghapusan ketentuan yang menyangkut keterwakilan perempuan yang sebelumnya dijamin dalam UU No. 27 Tahun 2009.

Tercatat sebagai pemohon yakni Khofifah Indar Parawansa, Rieke Diah Pitaloka, Prof Aida Fitayala Syafri Hubeis, Yuda Kusumaningsih, Lia Wulandari, Yayasan Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan (GPSP) yang diwakili Bernadet Maria Endang, Widyastuti, Perludem diwakili Titi Anggraini, Perkumpulan Mitra Gender diwakili Sri Redjeki Sumaryoto.

Spesifik, pasal yang dimohonkan pengujian yaitu Pasal 97 ayat (2) tentang pimpinan komisi, Pasal 104 ayat (2) tentang pimpinan badan legislasi, Pasal 109 ayat (2) tentang pimpinan badan anggaran, Pasal 115 ayat (2) tentang pimpinan BKSAP, Pasal 121 ayat (2) tentang Mahkamah Kehormatan Dewan, Pasal 152 ayat (2) tentang pimpinan BURT, Pasal 158 ayat (2) tentang pimpinan panitia khusus dalam UU MD3.

“Beberapa pasal UU MD3 yang lama menyertakan keterwakilan perempuan pada semua alat kelengkapan Dewan sesuai perimbangan fraksi. Entah bagaimana UU MD3 revisi anggota Dewan berkonspirasi menghilangkan keterwakilan perempuan pada seluruh pasalnya,” ujar Juru Bicara Koalisi, Yuda Kusumaningsih di gedung MK, Selasa (19/8).

Ditegaskan Yuda, UU MD3 ini secara jelas menghilangkan hak konstitusional perempuan yang seharusnya sama dalam bidang hukum dan politik. Peraturan perundang-undangan sudah menentukan 30 persen keterwakilan perempuan dalam dalam pencalonan anggota legislatif. Putusan MK Tahun 2008 pun telah mengamanatkan harus ada keterwakilan perempuan minimal 30 persen.

“Tetapi ini diabaikan begitu saja oleh Pansus Dewan sebagai satu upaya sistematis untuk menghilangkan isu keterwakilan perempuan dalam UU MD3 revisi. UU ini menghambat keterlibatan perempuan dalam pembangunan,” katanya.

Komnas Perempuan sendiri mencatat ada sekitar 423 peraturan mulai dari UU sampai peraturan daerah bias gender. Artinya tidak memperhatikan hak perempuan. “Ini bentuk diskriminasi dan merugikan perempuan. Terlebih, jumlah perempuan hampir separuh di seluruh Indonesia. Kalau mereka diabaikan menjadi beban pembangunan,” tambahnya.

Direktur Perludem Titi Anggraini menilai UU MD3 revisi telah menegasikan dan menghapus peran perempuan untuk menjadi pimpinan alat kelengkapan dewan yang bertentangan dengan semangat yang digulirkan MK seperti tercermin dalam putusan-putusan sebelumnya.

“Komitmen kita mendorong kesetaraan dan keadilan perempuan dalam pengusulan pimpinan kelengkapan anggota dewan memperhatikan keterwakilan perempuan sebesar-besarnya 30 persen. Sebab, keterwakilan perempuan itu bagian tidak terpisahkan dalam peraturan perundangan-undangan di bidang politik,” kata Titi.

Karenanya, para pemohon meminta MK menyatakan agar ketujuh pasal itu dinyatakan konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai bahwa ketentuan tersebut juga “memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi”.

Senin (18/8) kemarin, sejarawan JJ Rizal melalui kuasa hukumnya dari LBH Jakarta pun mendaftarkan pengujian Pasal 245 UU MD3 terkait pemanggilan dan pemeriksaan anggota DPR dengan izin Mahkamah Kehormatan Dewan. Pasal itu dinilai mengistimewakan anggota DPR saat menghadapi proses hukum di tengah maraknya kesewenang-wenangan aparat penegak hukum, sehingga diminta untuk dibatalkan.

Sebelumnya, langkah hukum serupa pun ditempuh PDI PerjuanganInstitute for Criminal Justice Reform (ICJR), Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika), dan DPD. Dengan demikian, sudah ada enam pemohon yang mengajukan uji materi UU MD3 ini.
Tags:

Berita Terkait