Menebak Putusan Sengketa Pilpres 2014
Sengketa Pilpres 2014

Menebak Putusan Sengketa Pilpres 2014

Ada yang menilai bukti yang dihadirkan pemohon masih lemah.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini (kedua dari kiri). Foto: RES
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini (kedua dari kiri). Foto: RES
Beberapa organisasi masyarakat sipil menilai permohonan kubu Prabowo-Hatta dalam sengketa Pilpres 2014 di Mahkamah Konstitusi (MK) tidak didukung bukti dan saksi yang kuat. Meskipun demikian, putusan akhir ada di tangan para hakim konstitusi.

Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, memahami ada dua pokok permohonan yang diajukan Prabowo-Hatta, yaitu kesalahan dalam penghitungan rekapitulasi suara yang dilakukan KPU, dan dugaan kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif.

Titi menilai tim kuasa hukum Prabowo-Hatta tidak fokus membuktikan hal kesalahan dalam perhitungan suara. Padahal, pembuktian itu diperlukan agar dapat diketahui apakah KPU telah melakukan kesalahan penghitungan, manipulasi atau penetapan suara atau tidak. Dalam hal pelanggaran, kubu Prabowo-Hatta menggunakan isu Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb) sebagai salah satu ‘amunisi’ di persidangan. Padahal sudah ada putusan MK No. 102/PUU-VII/2009 yang memberi perlindungan pada hak pilih warga negara, sehingga DPKTb sangat kuat secara yuridis.

Berdasarkan pengamatannya, Titi menilai pemohon tidak menghadirkan bukti yang bisa menyandingkan hasil perolehan suara yang ditetapkan KPU. Lalu, tidak ada keberatan yang disampaikan saksi dari pemohon terkait penghitungan rekapitulasi suara di wilayah yang disengketakan. Saksi yang benar-benar menguatkan dalil pemohon tentang kesalahan penghitungan rekapitulasi suara juga belum terlihat.

Titi berpendapat dalil kubu Prabowo-Hatta yang menyebut telah terjadi kesalahan penghitungan suara oleh KPU dan pelanggaran Pemilu yang terstruktur, sistematis dan masif belum cukup meyakinkan majelis konstitusi. Sebab dari saksi dan fakta yang ada di persidangan belum memperkuat dalil-dalil tersebut.
“Dari pokok permohonan yang disampaikan permohon itu belum ada yang terbukti di persidangan. Baik dari fakta persidangan ataupun saksi belum mampu dibuktikan pemohon,” kata Titi dalam diskusi di Jakarta, Selasa (19/8).

Senada, Sekretaris Eksekutif Indonesia Legal Roundtable (ILR), Firmansyah Arifin, menilai permohonan yang diajukan Prabowo-Hatta tidak fokus sehingga menyasar ke berbagai aspek. Padahal, pokok permohonan mereka diantaranya soal dugaan kesalahan penghitungan rekapitulasi perolehan suara Pilpres 2014. Menurutnya, fokus permohonan itu bakal mempengaruhi arah putusan MK.

Apalagi dalam persidangan, dikatakan Firmansyah, ada bantahan, penjelasan dan klarifikasi dari penyelenggara Pemilu atas pokok permohonan tersebut. Dalil pemohon yang menyebut terjadi pelanggaran Pemilu yang terstruktur, sistematis dan masif tidak terlihat pembuktiannya dalam persidangan. Atas dasar itu Firmansyah menyimpulkan kecil kemungkinan bagi MK untuk mengabulkan permohonan Prabowo-Hatta tersebut.

Namun, jika putusan MK nanti mengabulkan permohonan, Firmansyah menekankan majelis konstitusi harus meyakinkan publik dan termohon serta pihak terkait bahwa masalah konstitusionalitas yang dipersoalkan Prabowo-Hatta itu benar. Seperti adanya kecurangan administratif yang berujung pada konstitusionalitas penyelenggaraan Pemilu. Tentu saja publik juga harus diyakinkan dengan bukti dan fakta.

Tapi Firmansyah berharap agar MK tidak serta merta menilai persoalan konstitusionalitas hanya berdasarkan satu suara pemilih kemudian mempengaruhi seluruh suara dan berujung pada pembatalan. Merujuk fakta persidangan ia yakin kecil kemungkinannya MK mengabulkan hal tersebut. “Dalam fakta persidangan dalil yang diajukan pemohon kalau terjadi kecurangan yang mempengaruhi hasil pemilu (terutama terkait DPKTb) tidak meyakinkan,” tukasnya.

Selain itu Firmansyah berpandangan yang harus dijawab MK lewat putusannya nanti bukan hanya soal prinsip DPKTb saja, apakah menyalahi konstitusi atau tidak. Tapi juga pembukaan kotak suara oleh KPU. Kemudian, legal standing pemohon yang dipertanyakan pihak terkait.

Direktur Lingkar Madani Indonesia (Lima), Ray Rangkuti mengaku tidak memiliki kapasitas untuk menilai bagaimana putusan MK atas sengketa Pilpres 2014. Ia hanya menegaskan Pemilu merupakan bagian dari penegakan kedaulatan rakyat dan sirkulasi kepemimpinan yang tepat serta pasti. Terkait persoalan yang muncul seperti DPKTb, ia menilai itu upaya mendorong masyarakat menggunakan hak pilihnya. “Menggunakan hak pilih bentuk dari kedaulatan rakyat,” ujarnya.

Untuk itu, Ray berpendapat administrasi Pemilu tidak boleh menghambat warga negara untuk menggunakan hak pilihnya. Ia pun mengusulkan ke depan dalam menggunakan hak pilih, masyarakat harusnya bisa menggunakan E-KTP. Dengan begitu, tidak memerlukan surat undangan untuk memilih dan dokumen administrasi lainnya.

Mengenai pelanggaran Pemilu yang terstruktur, sistematis dan masif, Ray berpendapat hal itu tidak hanya dipengaruhi oleh DPT. Tapi juga hal lain seperti intimidasi, politik uang dan manipulasi suara yang besar yang terjadi selama Pemilu.
Tags:

Berita Terkait