Pakar: KPPU Harus Berhati-hati dalam Memutus Perkara di Industri Pelabuhan
Berita

Pakar: KPPU Harus Berhati-hati dalam Memutus Perkara di Industri Pelabuhan

Industri pelabuhan termasuk industri yang dikecualikan dari UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Oleh:
HRS
Bacaan 2 Menit
Guru Besar Fakultas Hukum UI Erman Radjagukguk. Foto: Sgp
Guru Besar Fakultas Hukum UI Erman Radjagukguk. Foto: Sgp
Pakar Hukum Persaingan Usaha Kurnia Toha mengatakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) masih kurang memahami aspek hukum persaingan usaha. Kesimpulan ini didapat setelah mengkaji putusan-putusan KPPU, khususnya perkara di industri pelabuhan.

“Dari 5 perkara yang pernah diperiksa dan diputus oleh KPPU, 4 perkara dinyatakan telah melanggar UU Nomor 5 Tahun 1999,” tutur Kurnia Toha dalam seminar persaingan usaha yang dilakukan oleh Lembaga Kajian Persaingan Usaha FHUI di Salemba, Selasa (19/8).

Sebanyak empat perkara itu, satu menguatkan putusan KPPU, dua membatalkan KPPU, dan satu lagi sedang berjalan di Mahkamah Agung. Lima perkara itu adalah Perkara Dugaan Monopoli, Penguasaan Pasar, dan Penyalahgunaan Posisi Dominan PT JICT; Perkara Tender Kolutif Pengadaan Peralatan Harbour Mobile Crane (HMC) dan Rubber Tyred Gantry (RTG); Perkara Tender Kolutif Gamma Raya Container Scanner; Perkara tender Pelayaran Pelabuhan Belawan, dan Perkara Tyieng Agreement dan Penguasaan Pasar Pelindo II di Pelabuhan Teluk Bayur.

Bentuk pelanggaran yang dilakukan KPPU di antaranya adalah seringkali Komisi tidak menerapkan due process of law dan melanggar peraturannya sendiri. Contohnya saja penggunaan indikasi sebagai dasar menghukum dan tidak mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan oleh para terlapor. Menurut Kurnia, penggunaan indikasi atau indirect evidence tidak sesuai dalam hukum persaingan usaha di Indonesia. Pasalnya, hukum Indonesia belum mengatur mengenai indikasi sebagai alat bukti.

“Oh, kalau negara lain pake indirect evidence, itu kan negara lain. Bukan negara kita. Pengadilan Amerika Serikat sendiri sangat hati-hati dalam menggunakan bukti ini,” lanjutnya.

Pernyataan Kurnia Toha dikuatkan Guru Besar Hukum Ekonomi Universitas Indonesia Erman Rajagukguk. Erman mengatakan dengan tegas justru industri pelabuhan harus dikecualikan dari UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pengecualian itu dapat dilihat dari ketentuan Pasal 50 butir a UU Anti Praktik Monopoli yang intinya adalah setiap perbuatan dan/atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikecualikan dari ketentuan UU Anti Praktik Monopoli.

“Badan Usaha Pelabuhan tunduk kepada UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran,” tutur Erman Rajagukguk dalam kesempatan yang sama.

Dalam menjalankan kegiatannya, Badan Usaha Pelabuhan membuat perjanjian-perjanjian dengan Otoritas Pelabuan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagai kegiatan Pemerintah di Pelabuhan. Begitu juga ketika Badan Usaha Pelabuhan menentukan tarif jasa kepelabuhan. Pasal 110 UU Pelayaran mengatur tarif jasa ditetapkan oleh pemerintah.

Lebih lagi, Erman menegaskan bahwa tugas-tugas kepelabuhan seperti yang dilakukan Pelindo I, II, III, dan IV sangat vital di industri pelabuhan. Tugas penyediaan dan layanan jasa dermaga, penumpang, gudang dan bongkar muat barang adalah tugas yang konstitusional. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-VIII/2010 yang menolak permohonan uji materi Pasal 90 ayat (3) oleh Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI).

“Tugas yang diamanatkan oleh Pasal 90 ayat (3), bukan hanya sekadar peraturan kosong, tetapi lebih pada amanat negara kepada BUMN-BUMN tersebut untuk menjamin kesejahteraan rakyat,” tulisnya dalam rilis media yang diterima hukumonline, Selasa (19/8).
Tags:

Berita Terkait