Praktisi Berharap Ada Pengadilan Ad Hoc Persaingan Usaha
Berita

Praktisi Berharap Ada Pengadilan Ad Hoc Persaingan Usaha

Tidak hanya membentuk pengadilan ad hoc, praktisi juga bercita-cita hukum persaingan usaha juga memiliki majelis etik.

Oleh:
HRS
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Praktisi Hukum Persaingan Usaha Armen Amir mengatakan Indonesia memerlukan sebuah pengadilan ad hoc dalam mengadili dan memutus perkara-perkara hukum persaingan usaha.

Selama ini, Armen melihat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melakukan semua tugas-tugasnya sendiri, mulai dari menyelidiki suatu kasus, menganalisa, hingga memutus perkara tersebut. Alhasil, Armen mempertanyakan keobjektifan Komisi ketika memeriksa dan memutus perkara.

“Coba bayangin, mereka (investigator KPPU) yang menyelidiki kasus ini, mereka yang menganalisa, laporkan ke komisioner mereka, kemudian komisioner menyetujui dan mereka sidangkan. Orang-orangnya itu itu juga, kapan itu objektifnya,” urai Armen kepada hukumonline usai seminar persaingan usaha di Salemba UI, Selasa (19/8).

Kebutuhan untuk membuat pengadilan ad hoc di hukum persaingan usaha bukanlah fantasi yang tidak ada dasar hukumnya. Armen pun merujuk ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga superbodi itu pun memiliki pengadilan ad hoc, yaitu Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. KPK yang menyidik dan menuntut, hakim adhoc yang menguji hasil penyidikan itu. Alhasil, serangkaian proses pemeriksaan dan putusan dapat bersifat objektif.

Ketika ditanya mengenai masalah biaya, Armen mengatakan hal tersebut adalah konsekuensi yuridis dari suatu lahirnya undang-undang yang dibuat pemerintah. Jangan karena ingin mengirit, putusan menjadi tidak berkualitas. “Itu konsekuensi yuridis. Peradilan pajak ada, KPK ada, semua ada. Oh, ini mentang-mentang irit perkara tidak menjadi lebih objektif. Justru, (kondisi sekarang ini, red) menimbulkan biaya yang lebih besar,” lanjutnya.

Selain meminta pembentukan pengadilan ad hoc, Armen juga melihat perlu dibentuk Majelis Etik Persaingan Usaha. Tugas Majelis Etik ini di antaranya adalah untuk menganalisa dan mengevaluasi apakah KPPU telah melakukan tugas-tugasnya dengan benar, baik saat menyelidiki perkara hingga memutus perkara. “Nah kalau sekarang, kita mau ngadu sama siapa sekarang?” tanya Armen lagi.

Majelis Etik ini, sambung Armen, dapat dibentuk melalui peraturan pemerintah. Dalam aturan tersebut, bisa diatur lebih lanjut mengenai bagaimana tata cara pemilihan majelis etik, tugas dan wewenang majelis etik, serta kriteria-kriteria apa saja orang-orang dapat mengadu ke majelis etik. Dan yang terpenting, majelis etik ini tidak diisi oleh orang-orang partai politik, tegas Armen.
“Kita isi dari akademisi dan praktisi hukum persaingan usaha,” saran Armen.

Pakar Hukum Persaingan Usaha Kurnia Toha, dalam kesempatan yang sama, mengatakan pada dasarnya tidak ada yang salah jika seluruh penegakan hukum persaingan usaha dilakukan oleh KPPU seorang. Sebab, di berbagai negara yang telah memiliki hukum persaingan usaha dan lembaga sejenis KPPU juga melakukan hal yang sama. Dan, tidak ada masalah dalam objektifitas memutus perkara. Kendati demikian, kondisi negara lain tidak dapat dijadikan acuan dengan kondisi Indonesia. Jika memang ada masalah dan tidak cocok, Indonesia tidak harus mengikuti hal yang sama dengan negara lain. Lebih lagi, Indonesia tidak memiliki majelis etik untuk mengawasi kinerja KPPU.

“Kita perlu kaji ulang dan kita tidak ada majelis kode etik,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait