MK: Tidak Ada Pelanggaran Terstruktur, Sistematis, dan Masif
Sengketa Pilpres 2014

MK: Tidak Ada Pelanggaran Terstruktur, Sistematis, dan Masif

Kubu Prabowo-Hatta membuka kemungkinan jalur hukum lain.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Ekspresi kemenangan tim kuasa hukum Jokowi-JK usai pembacaan putusan PHPU, Kamis malam (21/8). Foto: RES
Ekspresi kemenangan tim kuasa hukum Jokowi-JK usai pembacaan putusan PHPU, Kamis malam (21/8). Foto: RES
Sembilan hakim konstitusi secara bulat menolak permohonan perselisihan hasil pemilu presiden dan wakil presiden 2014 yang diajukan kubu Prabowo-Hatta. Dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ini, maka kemenangan kubu Jokowi-JK dalam Pemilu Presiden 2014 yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tak tergoyahkan.

Dalam putusannya, selain penambahan DPT, pemilih DPKTb, dan pembukaan kotak suara telah dinyatakan sah, tudingan adanya pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam pelaksanaan Pilpres yang digelar 9 Juli lalu pun dinyatakan tidak terbukti.

Mahkamah menganggap pemohon memiliki legal standing (kedudukan hukum) mengajukan sengketa Pilpres 2014. Sebab, penarikan diri Prabowo-Hatta saat rekapitulasi tingkat nasional pada 22 Juli 2014, bukan mengundurkan diri dalam pencalonan Pilpres 2014. Lagipula, penetapan nomor urut dan penetapan pasangan Prabowo-Hatta sebagai pasangan calon tidak dicabut KPU atau dibatalkan pengadilan.       

Mahkamah tidak menemukan adanya pelanggaran TSM yang dilakukan termohon atau pihak terkait yang menguntungkan salah satu pasangan calon. Diakui Mahkamah terdapat perbedaan penggunaan hak pilih dengan surat suara sah. Namun, tidak seluruh data yang diajukan pemohon adalah benar. Sementara pemohon tidak mengajukan form D-1 sebagai data pembanding.

Menurutnya, persoalan dalam form C-1 tersebut belum ada perbaikan, sehingga MK belum bisa memastikannya. Semua form C-1 tersebut tidak ada satu pun pihak yang mengajukan keberatan.

“MK berkeyakinan kesalahan pencatatan tersebut bukanlah yang disengaja untuk menguntungkan salah satu pihak atau merugikan pihak lain,” tutur Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan pertimbangan hukumnya.

Terkait dalil permohonan perolehan suara nol suara di 1.152 TPS dengan jumlah DPT sekitar 665.905 ribu, MK menilai itu tidak hanya dialami pemohon, tetapi juga dialami pihak terkait di Papua, Nias, Madura. Selain itu tidak ada bukti kecurangan di TPS tersebut. “Kalaupun  PSU dikabulkan, tidak akan mengubah perolehan suara signifikan,” ungkapnya.

Dalil pemohon terkait pelanggaran TSM di Papua Barat tidak beralasan dan tidak terbukti. Mahkamah memaparakan adanya keterlibatan dari aparat pemerintah daerah di Papua Barat, penyelenggara pemilu dan kepada suku untuk memenangkan pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla tidak terbukti. Berdasarkan keterangan Bawaslu, justru banyak kepala daerah di Papua Barat menjadi tim sukses Prabowo-Hatta termasuk Gubernur Papua Barat Abraham Ataruri.

Soal 14 kabupaten di Papua, saksi pemohon di tingkat provinsi sendiri justru menjelaskanperolehan suara masing-masing pasangan capres-cawapes. Dengan demikian, saksi Pemohon justru membenarkan adanya pemungutan suara di 14 kabupaten. Menurut Mahkamah pemilihan dengan sistem noken/ikat yang menghasilkan perolehan suara 100 persen merupakan hal lazim dalam beberapa kasus putusan pemilukada dan pemilu legislatif. Jadi, apapun hasil pemilihan sistem noken/ikat semua pihak harus menerimanya karena telah diakui dan dijamin konstitusi.

“Di 12 kabupaten provinsi Papua ternyata tidak hanya Pihak Terkait yang memperoleh suara 100 persen saja, tetapi pemohon di TPS tertentu juga memperoleh suara 100 permohon,” ujar Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati saat membacakan putusan setebal 4.392 halaman.   

Persoalan distrik Distrik Mapia Tengah dan Mapia Barat sudah selesai di tingkat pleno KPU tingkat pusat. Bawaslu sendiri memberikan pendapat agar perolehan suara di Distrik Mapia Tengah dan Mapia Barat di-nol-kan. (tidak dihitung). Karenanya, KPU tidak dapat dipersalahkan oleh tindakan yang tidak ia lakukan.

Di provinsi Nias Selatan, Mahkamah beralasan sekalipun ketidakjelasan rekomendasi Panwaslu Kabupaten Nias Selatan mengenai perintah PSU di beberapa TPS. Namun Termohon telah beritikat baik tetap membawa dan menyelesaikan permasalahan tersebut dalam Rapat Pleno KPU di tingkat Pusat. Hasilnya, KPU Kabupaten Nias Selatan telah melaksanakan rekomendasi Panwas Kabupaten Nias Selatan. Diantaranya, pencermatan data pemilih dan pengguna hak pilih di beberapa TPS dan pengecekan data dengan menggunakan C-1 hasil scaning.  

Tudingan 5.800-an TPS bermasalah di DKI Jakarta, menurut Mahkamah pemohonpuntidak memiliki cukup bukti meyakinkan pemilih dalam DPKTb DKI Jakarta memang diarahkan/dimobilisasi atau direkayasa oleh Termohon untuk memenangkan Pihak Terkait.  Selain itu, pemilih DPKTb tidak dapat diketahui memilih pasangan yang mana?dan kedua pasangan memiliki peluang yang sama untuk dipilih.

Terlebih lagi,jumlah DPKTb Provinsi DKI Jakarta hanya 325.634 pemilih. Sementara  jumlah perolehan suara sah untuk pemohon adalah 2.528.064 suara dan jumlah perolehan suara sah untuk Pihak Terkait adalah 2.859.894 suara atau terdapat selisih 331.830 suara. Hal ini juga terjadi di Kota Surabaya dan daerah lain yang dituduhkan pemohon.

Tudingan adanya politik uang yang bertujuan untuk memenangkanpasangan Jokowi-JK di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Lampung juga tidak bisa dibuktikan secara hukum. “DalilPemohon tidak dibuktikan kesaksian saksi yang diajukandantidak disertai alat bukti lain yang memadai.Sebab, pemohon tidak dapat menguraikan dengan jelas siapa pelaku,dan siapa penerimanya, kapan, dimana terjadinya, dan berapa jumlahnya.”

Sebelumnya, Mahkamah telah mempertimbangkan pembukaan kotak suara. Mahkamah menilai pembukaan kotak suara sebelum penetapan MK tertanggal 8 Agustus 2014 adalah sah menurut hukum sesuai Pasal 36 ayat (4) UU MK. Sebab, data yang dijadikan bukti dalam sidang PHPU Pilpres diperlukan sudah dilakukan secara transparan dan akuntabel dengan mengundang saksi pasangan calon, pengawas pemilu dan kepolisian dilengkapi berita acara.

Jalur Hukum lain
Usai persidangan, Tim Kuasa Hukum Prabowo-Hatta menyatakan menolak hasil putusan MK. “Secara formal memang ini hasilnya. Tetapi, secara substansi banyak hal yang masih bisa dipersoalkan dari putusan itu,” kata salah satu kuasa Prabowo-Hatta, Habiburokhman.

Kuasa hukum Prabowo-Hatta lainnya, Didik Supriyanto menyesalkan putusan MK ini  lantaran menolak seluruh permohonan pemohon. Dia mengakui upaya hukum di MK sudah final dan mengikat. Namun, tidak menutup jalur hukum lainnya yang akan ditempuh pihaknya.

“Tentu ada langkah-langkah lain di luar MK yang tentunya masih bisa dilakukan oleh Pak Prabowo nantinya,” kata Didi.

Sementara KPU selaku termohon sama sekali tidak mempersoalkan putusan MK. Komisioner KPU Ida Budiarti mengatakan proses penyelesaian sengketa pemilu di MK sebagai jalan keluar bagi KPU untuk mempertanggungjawabkan seluruh proses pelaksanaan pemilu berikut hasilnya. “MK telah mempertimbangkan seluruh alat bukti yang diajukan oleh pemohon, termohon, dan pihak terkait,” kata Ida.

“Saya secara pribadi menyampaikan permohonan maaf kepada rakyat Indonesia apabila dalam memberikan pelayanan hak konstitusional masih ada kekuarangan. Ini tentunya jadi pengalaman dan catatan perbaikan untuk pemilu yang akan datang.”
Tags:

Berita Terkait