Porsi Kepemilikan Asing di RUU Perasuransian Masih Dibahas
Berita

Porsi Kepemilikan Asing di RUU Perasuransian Masih Dibahas

Batas kepemilikan asing dalam komitmen Indonesia di WTO sebesar 49 persen.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Ngalim Sawega (tengah). Foto: FAT
Ngalim Sawega (tengah). Foto: FAT
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan, batas kepemilikan asing dalam RUU Perasuransian masih dibahas antara pemerintah dan DPR. Menurut Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) I Ngalim Sawega, pemerintah dan dewan bersepakat untuk memberikan porsi bagi asing dalam industri asuransi.

Namun, kata Ngalim, untuk besaran batasan kepemilikan asing masih belum final. "Belum diputuskan berapa angka porsi asing. Tapi prinsipnya ada kesamaan bahwa kepemilkan asing perlu ada batasan, dengan pertimbangkan kebutuhan di masyarakat," katanya di Jakarta, Kamis (21/8).

Menurut Ngalim, jika mengacu dari komitmen Indonesia dalam WTO, maka porsi asing berada di angka 49 persen. Meski begitu, ia tak bisa memastikan apakah komitmen di WTO tersebut akan digunakan atau tidak.

"Komitmen kita di WTO itu porsi kepemilikan asing adalah 49 persen. Tidak bisa lebih dari itu. Kita masih dalam tahap pembahasan. Tidak bisa kita mengambil sikap sementara pembahasan belum selesai," kata Ngalim di Jakarta, Kamis (21/8).

Sebagaimana diketahui, hingga saat ini investor asing diperbolehkan memiliki saham perusahaan asuransi di Indonesia mencapai angka 80 persen. Meski sudah diatur batas maksimalnya, pembahasan RUU Perasuransian masih tarik ulur mengenai angka batasan kepemilikan asing di perusahaan asuransi di Indonesia.

Terkait klausul badan hukum perusahaan asuransi, kata Ngalim, di RUU hanya terdapat klausul berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Alasannya, jika badan hukum PT memiliki standarisasi pengaturannya. "Sehingga permasalahan yang muncul bisa di-address melalui mekanisme UU PT," katanya.

Meski begitu, dalam pembahasan terdapat peluang agar bentuk badan hukum mutual bisa dimasukkan ke RUU.masih terbuka lebar agar perusahaan asuransi berbadan hukum mutual. Hal ini sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). "Sejalan dengan putusan MK, supaya pemerintah dan DPR buat UU yang mutual. Apakah kita buat UU sendiri atau masukkan ke RUU Asuransi, ini masih dibahas," tandasnya.

Isu lain yang tengah dibahas dalam RUU Perasuransian adalah terdapatnya program penjaminan polis. Dalam program ini, seluruh perusahaan asuransi wajib ikut. Program ini semangatnya hampir sama dengan kewajiban perbankan yang menjadi peserta Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Daripada harus membuat lembaga baru untuk menangani program penjaminan polis, Ngalim mengatakan, dalam pembahasan muncul masukan bahwa LPS yang turut menanganinya. Hal ini sudah diterapkan di sejumlah negara, seperti Singapura, Malaysia, Kanada, Korea dan Jepang. "Ada referensi, mana yang paling pas untuk ditiru," ujarnya.

Tujuan program ini untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Jika program ini dijalankan oleh LPS maka negara sudah hemat tak perlu membentuk lembaga baru. "LPS saja yang jalankan, lebih efisiensi daripada harus buat lembaga baru. Banyak negara disatukan, ada juga yang dipisah, tergantung skala ekonominya. Jika sudah besar bisa dipisah," katanya.
Tags:

Berita Terkait