Ada Dissenting Opinion dalam Putusan DKPP
Berita

Ada Dissenting Opinion dalam Putusan DKPP

Terkait kasus anggota KPU Kabupaten Dogiyai dan Halmahera Timur.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Ternyata, dari 14 perkara dugaan pelanggaran kode etik yang diputus Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Kamis (21/8), tak semua diputus dengan suara bulat. Ada pendapat berbeda atau dissenting opinion dari anggota majelis Nur Hidayat Sardini dalam dua perkara.

Pertama, dalam putusan No. 256/DKPP-PKE-III/2014 yang menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada 5 komisioner KPU Kabupaten Dogiyai. Kedua, dalam putusan No. 258/DKPP-PKE-III/2014 yang menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada lima komisioner KPU Kabupaten Halmahera Timur.

Menyangkut putusan terhadap KPU Kabupaten Dogiyai,  Hidayat Sardini, mengatakan pasal 43 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebut setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam Pemilu. Berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan dan penghitungan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam pelaksanaan Pilpres 2014, Hidayat melanjutkan, distrik Mapia Tengah dan Barat, Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua, telah terjadi kegagalan dalam mendistribusikan logistik Pemilu atau tidak tepat sasaran dan tepat waktu. Sehingga, pemungutan dan penghitungan suara pemilu gagal dilakukan. Akibatnya, 18.022 pemilih kehilangan kesempatan atau terganggu penggunaan haknya untuk memilih (rights to vote).

Terhadap gagalnya penggunaan hak memilih tersebut, Hidayat melanjutkan, sudah sepantasnya komisioner KPU Dogiyai dikenakan sanksi “pemberhentian tetap.” Sementara rapat pleno rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di seluruh jenjang tidak ada perhatian yang memadai untuk mengoreksi terhadap kesalahan tersebut.

Hidayat melihat koreksi yang dilakukan penyelenggara Pemilu hanya menyatakan masing-masing pasangan calon dianggap tidak memperoleh suara dalam pemungutan suara. Itu sama saja tidak ada pemilih yang menggunakan hak pilihnya. Apalagi jumlah pemilih di dua distrik itu sangat besar yakni 18.022 orang. Ia menilai hal tersebut sebagai pelecehan terhadap partisipasi warga negara dalam Pemilu.

“Patut kiranya apabila tidak hanya KPU setempat (Dogiyai,-red) yang diganjar dengan sanksi pemberhentian tetap, namun otoritas Pemilu di jenjang atasnya, tak terkecuali KPU RI, sebagai penanggung jawab utama Pemilu, layak untuk dimintai pertanggungjawaban terhadap gagalnya perwujudan Pemilu,” papar Hidayat membacakan dissenting opinion.

Menurut Hidayat, koreksi terhadap proses Pemilu dapat dimungkinkan mengacu Bab XV UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Hal itu diperkuat ketentuan pasal 7 huruf e Peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu.

Peraturan itu menyatakan penyelenggara Pemilu berkewajiban melakukan segala upaya yang dibenarkan etika sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Sehingga memungkinkan bagi setiap penduduk yang berhak memilih terdaftar sebagai pemilih dan dapat menggunakan hak pilihnya.

Dalam dissenting opinion terkait putusan terkait lima komisioner KPU Kabupaten Halmahera Timur, Hidayat mengatakan penjatuhan sanksi harusnya pemberhentian tetap, bukan peringatan keras. Sebab, tindakan yang dilakukan lima komisioner itu sebagai teradu melanggar prinsip-prinsip Pemilu sebagai wujud kedaulatan rakyat.

Harusnya, penyelenggara Pemilu berkewajiban melakukan segala upaya yang dibenarkan etika dan peraturan perundang-undangan. Sehingga setiap pemilih dapat menggunakan hak pilihnya. Kemudian, KPU dijenjang berikutnya  mengoreksi persoalan itu. Tindakan dapat dilakukan bukan saja untuk mengoreksi, tetapi juga menghukum (punitive).

Oleh karena itu Hidayat berpendapat mestinya komisioner KPU Maluku Utara dapat dimintai pertanggungjawaban. Karena komisioner KPU Maluku Utara tidak diadukan, maka mengacu Peraturan DKPP No. 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu junto UU No. 15 Tahun 2011 mereka tidak dapat dikenakan sanksi.

Akibat tindakan itu, Hidayat mencatat ada 1.013 warga di TPS 1 dan 2 Soasangaji Kota Maba, Maluku Utara, tidak dapat berpartisipasi di dalam Pemilu. Pasalnya, KPU sebagai otoritas Pemilu telah memutus fasilitasi yang sebenarnya menurut ketentuan peraturan perundang-undangan memungkinkan untuk melakukan pemungutan dan penghitungan suara. Sehingga terwujud hak-hak politik warga negara yang dilindungi oleh konstitusi UUD 1945 dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Terpisah, menanggapi dissenting opinion itu komisioner KPU RI, Hadar Nafis Gumay, berpendapat apa yang telah diputus DKPP sudah jelas. Dissenting opinion itu menurutnya bisa saja terjadi dalam putusan DKPP. “Kami terima apa yang diputuskan DKPP bahkan kalau kami disebut ikut bertanggungjawab (seperti dalam kasus KPU Kabupaten Dogiyai),” ujarnya.

Mengenai putusan tersebut Hadar menjelaskan KPU akan mempelajari apakah benar logistik Pemilu terhambat sampai ke Dogiyai sehingga pemungutan suara Pilpres 2014 tidak bisa digelar. Dalam mengkaji masalah tersebut KPU juga akan membahas langkah apa yang akan dilakukan pasca putusan DKPP dan MK. Tapi yang penting, KPU harus melakukan perbaikan.

Misalnya, salah satu putusan DKPP mengusulkan KPU membuat regulasi terkait pembukaan kotak suara. Menurut Hadar usulan itu baik untuk penyelenggaraan Pemilu ke depan. “Sehingga lebih pasti dan tidak ada lagi yang mempermasalahkan ke depan,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait