KHN Luncurkan Buku Almarhum M. Fajrul Falaakh di Hari Konstitusi
Terbaru

KHN Luncurkan Buku Almarhum M. Fajrul Falaakh di Hari Konstitusi

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Foto: KHN
Foto: KHN
Pada 18 Agustus 2014 bertempat di Gedung Nusantara IV DPR RI, Komisi Hukum Nasional (KHN) bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menggelar peringatan Hari Konstitusi berbarengan dengan acara peluncuran dua buku Pakar Hukum Tata Negara almarhum Mohammad Fajrul Falaakh, S.H., MA., M.Sc.: “Mohammad Fajrul Falaakh: Konsisten Mengawal Konstitusi” dan “Pertumbuhan dan Model Konstitusi serta Perubahan UUD 1945 oleh Presiden, DPR, dan Mahkamah Konstitusi (The Growth, Model and Informal Changes of An Indonesian Constitution)”.

Hadir sebagai narasumber dalam acara tersebut yakni; Prof. Dr. Laica Marzuki (Guru Besar FH Unhas Makassar), Prof. Dr. Nurhasan Ismail (Guru Besar FH UGM), Prof. Dr.  Satya Arinanto (Guru Besar FHUI), dan Dr.  Irman Putra Sidin (Pakar Hukum Tatanegara).

Negara dan konstitusi adalah dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Konstitusi mendahului setiap pemerintahan, karena konstitusi menentukan kewenangan dan memberikan kepada pemerintah, hak untuk melaksanakan kekuasaannya. Di sisi lain, konstitusi juga mengatur hak-hak dasar dan kewajiban tiap-tiap warga negaranya.

Keistimewaan suatu konstitusi terdapat dari sifatnya yang mulia dengan mencakup kesepakatan-kesepakatan tentang prinsip pokok organisasi negara serta upaya pembatasan kekuasaan negara. Kemuliaan konstitusi itu pulalah yang menjadikannya sebagai fundamental law dan the higher law karena wujudnya yang dapat dipersamakan dengan suatu piagam kelahiran suatu negara baru (a birth certificate).

Dalam konstitusi terdapat pula cakupan pandangan hidup dan inspirasi bangsa yang memilikinya. Itulah yang menjadikan konstitusi sebagai dokumen hukum yang sangat istimewa dan sebagai sumber hukum yang utama, sehingga tidak boleh ada peratuan perundang-undangan yang boleh bertentangan dengannya.

Sebagai upaya untuk terus membangun kesadaran berkonstitusi bangsa Indonesia dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah yang semakin baik lagi, Pemerintah Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2008 telah menetapkan tanggal 18 Agustus sebagai Hari Konstitusi Indonesia.

Bukan tanpa alasan dua topik acara dihelat oleh KHN secara bersamaan. Dalam perjalanan sejarah bangsa ini, nama M Fajrul Falaakh memang istimewa. Banyak kalangan yang akrab dengannya melalui berbagai artikel yang ditulisnya di koran. Mereka mengagumi alur pikirnya yang jernih, tanpa emosi, mengalir bagaikan air, tajam bagaikan pisau. 

Meskipun kini, tokoh reformasi, ahli hukum tata negara, intelektual netral dan pemurah itu tidak lagi dapat berkontribusi langsung, akan tetapi berbagai tulisan dan karya-karya ilmiahnya tetap menginspirasi bagi siapa pun pembacanya untuk menajamkan analisis ataupun mencari solusinya. Sehingga tepat kiranya bila KHN mengumpulkan karya-karya almarhum dan melestarikannya dalam buku setebal 490 halaman ini agar generasi muda bisa belajar banyak dari pemikiran Fajrul.

Semasa hidup, anggota KHN yang berpulang ke haribaan Tuhan pada 12 Februari 2014 ini begitu gigih, sabar dan konsisten terus mendidikasikan seluruh kemampuan akal budinya untuk mendudukkan pelbagai persoalan kebangsaan dan kenegaraan dalam wilayah ideal dan praktis. Salah satu concern M. Fajrul Falaakh dalam hal Ketatanegaraan adalah intensitas dan keterlibatannya secara aktif dalam pembahasan-pembahasan amandemen UUD 1945.

Dalam tulisannya berjudul ‘Beberapa Gagasan untuk penyempurnaan Amandemen UUD 1945’ misalnya (hal.3-8), M. Fajrul Falaakh memberikan gambaran tentang sejumlah “masalah” yang dapat menjadi agenda penyempurnaan atau amandemen kembali UUD 1945. Hal yang menjadi “masalah” tersebut antara lain, mengenai Presidensialisme, Yudisial (independensi dan akuntabilitas kekuasaan kehakiman), Sistem Parlemen DPR-DPR, khususnya posisi DPD dalam konteks bikameral.

Menurut M. Fajrul Falaakh, “penyempurnaan terhadap hasil amandemen tak dapat dielakkan, tetapi waktunya tak dapat diperkirakan. Masalahnya bukan memperkirakan, melainkan kapan MPR melakukannya”.

Apa yang digelisahkan M. Fajrul Falaakh atas belum sempurnanya amandemen UUD 1945 tersebut sejauh ini masih sangat relevan. Terlebih perseoalan amandemen terhadap UUD 1945 terus mendapatkan kritik dan upaya-upaya untuk kembali pada UUD 1945 yang asli.

Menjadi menarik nantinya apa yang digelisahkan M. Fajrul Falaakh tersebut dalam dinamika politik-hukum ke depan. Khususnya setelah Pemilu tahun 2014. Apakah nantinya akan terjadi penyempurnaan atau justru sebaliknya. Hal demikian sekiranya patut disimak dan ditunggu.

Kiprah M. Fajrul Falaakh dalam lanskap pemikiran dan praktik kenegaraan diawali pada saat menjadi Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Jogjakarta. Disamping tentu peran KH Moh.Tolchah Mansoer figur bapak dan pemikir Konstitusi yang langsung atau tidak langsung ikut memengaruhinya.

Berakhirnya kekuasaan Orde baru tahun 1999 berdampak berubahnya sistem politik yang pada gilirannya memunculkan pemikiran dan pilihan baru terhadap desain ketatanegaraan di Republik ini. Persis dalam situasi demikian ide dan gagasan-gagasan M. Fajrul Falaakh semakin menemukan ruang dan tempatnya.

Keterlibatan aktif di Komisi Hukum Nasional sebagai anggota sejak tahun 2001 membuat gagasan-gagasan M. Fajrul Falaakh lebih nyata memberikan kontribusinya dalam hal reformasi/pembaruan hukum di tanah air.

Dalam konteks kelembagaan KHN tersebut, hampir 14 tahun (2001-2014) M. Fajrul Falaakh terus-menerus memberikan energi, waktu dan totalitas pemikirannya kepada kemajuan dan keadaban teori dan praktik hukum, khususnya persoalan-persoalan Ketatanegaran bangsa ini.

Bagi kolega sesama anggota KHN, sosok Fajrul Falaakh dikenal santun, bertutur kata halus namun tegas. “Selama lebih kurang 14 tahun bergaul dan bekerjasama dengan alm. Sdr. M. Fajrul Falaakh di KHN, hubungan persahabatan dan kerjasama kami sangat ‘impressive’,” ungkap Prof. Dr JE Sahetapy, Ketua KHN, yang tertuang dalam buku tersebut.

Akan halnya Prof. Mardjono Reksodiputro, rekan anggota KHN yang banyak mempunyai kenangan manis terhadap almarhum. “Cara Almarhum menerangkan dan beragumentasi  membuat saya kagum dan merasa bahwa almarhum selain ahli hukum (tata negara) adalah juga seorang ahli ilmu politik.”

Hal yang paling menonjol pada diri Fajrul Falakh menurut Dr. Frans Hendra Winarta, Anggota KHN, adalah keteguhan dalam menjaga objektivitas atas suatu persoalan hukum dan yang bersinggungan dengan pluralitas, merupakan suatu hal yang selalu dijunjung tinggi oleh Fajrul.

Sikap yang menjunjung tinggi obyektivitas tersebut, lanjut Frans, memudahkan KHN, misalnya ketika kelembagaan KHN seringkali dipermasalahkan eksistensinya dalam kedudukan ketatanegaraan di Indonesia. “Para anggota KHN lebih mudah menjelaskannya dalam bahasa teoritis. Namun Fajrul telihat mudah menjelaskannya baik dalam bahasa yang teoritis maupun bahasa yang lebih mudah diterima oleh masyarakat umum.”

Di mata para sahabatnya, sosok Fajrul Falaakh dikenal sebagai sosok yang teguh di jalur keilmuwan yang konsisten memegang independensi. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie dalam buku tersebut mengatakan bahwa Fajrul Falaakh, sebagai sosok penerobos. Fajrul bukanlah sekadar sarjana kata-kata yang kini banyak beredar di Indonesia.

"Dia pemikir sekaligus aktivis. Dia out of the box dan tak terpaku dengan hukum positif. Ada moral dan political reading of constitution dalam setiap pemikirannya," Jimly pada salah satu bagian di buku tersebut.

Menurut Jimly, sulit untuk menjadi seorang pemikir hukum tata negara. Karena selain mampu membaca teks-teks hukum, dia juga harus bisa menyeimbangkannya dengan ruh-ruh keadilan. Tapi Fajrul, kata Jimly, sudah mampu melakukannya. "Kita harus melanjutkan apa yang sudah dia kerjakan," katanya.

Adik kandung Fajrul, M. Romahurmuziy yang kini menjabat Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan, mengingat kakaknya sebagai seorang pakar hukum organik. Selain menjadi akademikus, Fajrul juga diakui sebagai aktivis. "Dia intelektual organik. Pernah ikut merumuskan Deklarasi Ciganjur bersama Gus Dur tapi menolak jabatan politik saat Gus Dur jadi Presiden pada 1999," kata Romahurmuziy. Alasannya, "Itu bukan dunia saya."

Sementara, Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, SH menyebut Fajur Falaakh adalah intelektual perumus pembangunan hukum di Indonesia. Untuk mewujudkan itu, almarhum melakukan berbagai cara, pertama melalui jalur akademisi dan melahirkan pemikiran hukum di berbagai jurnal ilmiah dan populer. Kedua, melalui jalur praktisi dengan menjadi anggota KHN sejak tahun 2000.

Akhir kata, bagi mereka yang ingin mendapatkan perspektif baru dalam menelaahfenomena hukum dan politik di Tanah Air, buku ini sangat perlu dibaca dan dimiliki.
Sumber: Advertorial Majalah Forum
Tags:

Berita Terkait