Pemberantasan Korupsi di Sektor Perpajakan
Resensi Buku Rekomendasi KHN

Pemberantasan Korupsi di Sektor Perpajakan

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Foto: KHN
Foto: KHN
Pajak merupakan urat nadi pembangunan negara. Tanpa pendapatan dari sektor pajak, sebuah negara tidak dapat melaksanakan fungsi-fungsinya untuk menyejahterakan rakyat. Pada anggaran tahun 2012, sektor pajak menyumbang 78,64 persen atau sekitar Rp1.016 triliun dari keseluruhan APBN tahun 2012. Pada 2013, penerimaan negara di sektor pajak ditargetkan mencapai Rp1.178,9 triliun. Data-data ini menunjukkan bahwa sektor perpajakan memiliki peran vital bagi kehidupan sebuah negara.

Korupsi di sektor perpajakan menjadi perhatian publik sejak mencuatnya kasus korupsi yang dilakukan oleh dua oknum petugas pajak yakni Gayus Halomoan Tambunan dan Dhana Widyatmika. Kedua kasus ini membuka ‘kotak pandora’ praktik korupsi di sektor perpajakan yang selama ini hanya menjadi rahasia umum.

Pada tahun 2012, institusi penegak hukum yakni Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK mengidentifikasi sektor perpajakan sebagai sektor pemerintahan yang rawan untuk terjadinya tindak pidana korupsi. Ketiga institusi penegak hukum tersebut menyepakati indikator-indikator dan modus operandi terjadinya tindak pidana korupsi di sektor perpajakan.

Berbagai persoalan yang melingkupi pemberantasan korupsi di sektor perpajakan mendorong Komisi Hukum Nasional sebagai lembaga negara yang diberi mandat untuk mengkaji permasalahan hukum yang dihadapi pemerintah untuk melakukan penelitian dengan tema “Pemberantasan Korupsi di Sektor Perpajakan”.

Penelitian yang dilakukan pada tahun 2013 ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis mekanisme dan prosedur penegakan hukum di sektor perpajakan yang dapat berkontribusi mencegah dan memberantas korupsi di sektor perpajakan. Penelitian juga bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis kendala-kendala yang dihadapi penegak hukum dan pemerintah dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Dalam penelitian ini juga diharapkan akan menemukan konsepsi kebijakan yang tepat dalam pemberantasan, pencegahan, dan pemberantasan korupsi di sektor perpajakan.

Terdapat beberapa persoalan penting dalam penelitian ini. Pertama, apakah mekanisme dan prosedur penegakan hukum di sektor perpajakan selama ini telah efektif dan efisien dalam mencegah dan memberantas korupsi di sektor perpajakan? Kedua, apakah kendala-kendala yang dihadapi penegak hukum dan pemerintah dalam upaya pencegahan dan pemberantasna korupsi di sektor perpajakan? Ketiga, bagaimanakah konsepsi yang tepat dalam pemberantasan dan pencegahan korupsi di sektor perpajakan?

Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-normatif yang ditunjang oleh kajian sosio-legal. Penelitian ini dilakukan dengan mengkaji sejumlah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana perpajakan baik aspek hukum materil maupun hukum formil.

Data penelitian diperoleh melalui penelusuran bahan pustaka untuk mendapatkan bahan hukum primer melalui studi dokumen antara lain peraturan perundang-undangan yakni buku-buku, artikel, maupun berita di media massa.

Pengumpulan data primer dan informasi untuk penelitian dilakukan dengan mengadakan wawancara mendalam dan focus group discussion (FGD) di Jakarta. Hasil penelitian tersebut diuji dengan melakukan lokakarya hasil penelitian yang juga dilakukan di Jakarta.

Diperoleh tiga kesimpulan dari penelitian ini. Pertama, mekanisme pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di sektor pajak dilakukan pemerintah melalui dua instrumen hukum, yakni Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2011 dan Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2011. Untuk melaksanakan Inpres Nomor 1 Tahun 2011, pemerintah telah melakukan hal-hal sebagai berikut:
  1. penanganan secara hukum kasus-kasus penyimpangan pajak hingga tuntas di pengadilan,
  2. peningkatan peran justice collaborator dan whistle blower untuk mengungkap perkara,
  3. penelusuran aset hasil kejahatan untuk dapat disita oleh negara,
  4. pembenahan secara sitemik di berbagai instansi pemerintah agar pada masa mendatang tidak terjadi lagi penyimpangan pajak.
Kedua, upaya pemerintah untuk mencegah dan memberantas tidak pidana korupsi di sektor perpajakan telah dilakukan, namun masih menghadapi kendala-kendala sebagai berikut:
a. Kendala yuridis dalam pemberantasan korupsi di sektor perpajakan, yakni penerapan asas lex specialis systematic pada peraturan perundang-undangan perpajakan, Hukum Pajak yang rumit dan cepat berubah, serta penanganan perkara tindak pidana korupsi di sektor perpajakan yang seringkali berbenturan dengan putusan peradilan pajak.
b. Penerapan whistle blowing system di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dan penegakan disiplin pegawai, penegakan disiplin pegawai Direktorat Jenderal Pajak.
c. Kendala dalam penyidikan kasus tindak pidana korupsi di sektor perpajakan: penyidikan tindak pidana perpajakan dan tindak pidana korupsi di sektor perpajakan.
d. Kendala dalam pengenaan sanksi pidana terhadap para pelaku tindak pidana perpajakan dan tindak pidana korupsi di sektor perpajakan:
1) Kendala dalam penerapan sanksi administrasi dan sanksi pidana dalam UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
2) Kendala dalam penerapan sanksi pidana di sektor perpajakan yang berkaitan dengan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ketiga, konsepsi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di sektor perpajakan untuk masa yang akan datang adalah sebagai-berikut:
a.    mengefektifkan peran penyidik pajak dalam menemukan unsur tindak pidana korupsi,
b.    pengaturan mekanisme whistle blowing system dan justice collaborator dalam sistem peradilan pidana pajak,
c.    maksimalisasi penerapan whistle blowing system di Direktorat Pajak,
d.    penerapan mekanisme perampasan aset koruptor dan pembuktian terbalik, dan
e.    pengunaan rezim hukum anti pencucian uang (money laundry).

Penelitian ini menghasilkan tiga rekomendasi. Pertama, untuk memaksimalkan efektivitas dalam pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2011 maka dalam pencegahan dan pemberatasan tindak pidana di sektor perpajakan hendaknya pemerintah dan penegak hukum melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Penegak hukum perlu memprioritaskan penanganan kasus korupsi di sektor perpajakan yang tergolong kasus besar (big fish).
2.  Dirjen Pajak sebagai ujung tombak pencegahan korupsi di sektor perpajakan perlu meningkatkan disiplin pegawainya melalui sistem reward and punisment.
3. Perlu memaksimalkan sistem pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi di sektor perpajakan melalui whistle blowing system yang efektif dan terintegrasi dalam sistem perpajakan.

Kedua, sebagai upaya mengatasi kedala-kendala yang dihadapi dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perpajakan di atas maka hendaknnya DPR dan Presiden perlu mengambil kebijakan-kebijakan sebagai berikut:
1. Membangun sistem hukum perpajakan yang komprehensif dan terintegrasi yang memungkinkan penegakan hukum korupsi di sektor perpajakan menjadi jelas dan terintegrasi dengan undang-undang pemberantasan korupsi yang lain melalui harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan.
2. Mekanisme whistle blowing system dalam pencegahan korupsi di sektor perpajakan yang diterapkan oleh Dirjen Pajak saat ini harus disempurnakan melalui sistem kerja yang sistematis dan terintegrasi serta menjamin adanya perlindungan terhadap hak-hak whistle blower dalam mengungkap korupsi di sektor perpajakan.

Ketiga, untuk membangun konsepsi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perpajakan yang mampu bekerja maksimal maka perlu dilakukan rekonsepsi kebijakan pencegahan dan pemberantasan kebijakan korupsi di sektor perpajakan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
1. Memaksimalkan peran penyidik pajak yang ada di Dirjen Pajak untuk terlibat dalam sistem peradilan pidana korupsi di sektor perpajakan yang selama ini hanya ditangani oleh KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian.
2. Hendaknya sistem peradilan pidana korupsi di sektor perpajakan perlu mengatur mekanisme whistle blowing system dan justice collaborator sebagai bagian integral dalam Sistem Peradilan Pidana Pajak.
3. Sistem perampasan aset koruptor dan pembuktian terbalik yang efektif hendaknya menjadi mekanisme yang efektif untuk membuktikan terjadinya korupsi di sektor perpajakan.
4. Untuk lebih memaksimalkan pemberantasan korupsi di sektor perpajakan hendaknya penggunaan rezim hukum anti pencucian uang menjadi instrumen alternatif yang efektif untuk menuntut pelaku korupsi di sektor perpajakan.
5. Perlunya reposisi kedudukan Pengadilan Pajak dalam sistem kekuasaan kehakiman untuk menjamin independensi dan profesionalitas hakim dan pengadilan. Pengadilan pajak secara struktural maupun administrasi haruslah menjadi bagian dari kekuasaan yudikatif yaitu Mahkamah Agung, bukan di bawah Kementerian Keuangan.

Sumber: Advertorial Majalah Forum
Tags:

Berita Terkait