Sejak keluarnya UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, harapan masyarakat terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi demikian tinggi. Namun dalam perjalanannya, Pengadilan Tipikor yang diharapkan menjadi trigger dalam pemberantasan korupsi ternyata kurang menunjukkan taringnya. Pengadilan Tipikor yang lahir atas semangat extraordinary ternyata masih menampakkan sederet paradoks.
‘Cara berhukum’ hakim di Pengadilan Tipikor masih saja berkutat pada cara-cara konvensional yang meskipun memperoleh legitimasi secara hukum namun sangat mengecewakan publik. Contoh nyata adalah putusan Pengadilan Tipikor terhadap salah satu mantan petinggi Partai Demokrat Angelina Sondakh. Padahal, penyelesaian terhadap tindak pidana korupsi telah tegas dikualifikasikan sebagai extraordinary crime yang membutuhkan cara berhukum secara extraordinary.
Kondisi inilah yang pada akhirnya melahirkan ketimpangan persepsi hukum dan persepsi publik terhadap Pengadilan Tipikor. Pada ranah hukum, Pengadilan Tipikor berdalih bahwa segala sesuatunya sudah berjalan sesuai aturan formal. Artinya, proses hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi telah dilandaskan pada hukum yang berlaku. Tetapi, apa yang sah menurut logika hukum bisa dianggap tidak adil menurut logika publik. Pada titik ini, putusan Pengadilan Tipikor dianggap hanya sekadar memenuhi tuntutan keabsahan yuridis namun menisbikan keabsahan secara sosiologis dan filosofis.
Secara hipotesis teoritis, munculnya kesenjangan persepsi - yakni persepsi hukum dan persespsi publik – terhadap Pengadilan Tipikor dapat terjadi karena adanya anomali hukum (hukum pidana formil maupun materiil yang melandasi kerja Pengadilan Tipikor) dan kurangnya profesionalitas hakim yang dapat mewujud dalam ragam nirkualitas hakim seperti kurangnya kompentensi hakim maupun kurangnya integritas hakim.
Bertolak dari pemikiran tersebut di atas, maka untuk merespon ekspektasi publik terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi dan dalam upaya membangun Pengadilan Tipikor yang berwibawa, maka Komisi Hukum Nasional (KHN) melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja Pengadilan Tipikor dalam sebuah penelitian ilmiah.
Penelitan ini bertujuan untuk melihat sejauh mana efektivitas kehadiran Pengadilan Tipikor di daerah-daerah di seluruh Indonesia terhadap pemberantasan korupsi. Kajian dan analisis ini diharapkan bisa menjadi bahan masukan penting bagi berbagai instansi terkait baik legislatif, eksekutif, yudikatif maupun lembaga lain untuk melakukan langkah-langkah strategis lanjutan bagi penguatan dan pengembangan Pengadilan Tipikor dari sisi eksternal.
Dari sisi internal, penelitian dan kajian ini sangat penting untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan yang ada dalam Pengadilan Tipikor sehingga proses pembenahan menjadi lebih mudah dilakukan. Dengan pemahaman yang lebih mendalam terhadap Pengadilan Tipikor, akan menjadi alat bantu yang penting bagi para pengambil keputusan dalam membenahi Pengadilan Tipikor.
Metode penelitian yang difokuskan pada evaluasi kinerja Pengadilan Tipikor di seluruh Indonesia dengan menggunakan Model Evaluasi Ketimpangan (Discrepancy Evaluation Model) ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:
1. Kebijakan perundang-undangan yang menjadi landasan bekerjanya Pengadilan Tipikor saat ini belum menunjukkan adanya keterpaduan. Berbagai peraturan peundang-undangan yang menjadi landasan bekerjanya Pengadilan Tipikor masih bersifat parsial, fragmentaris, dan tidak terintegrasi. Realitas ini tampak dari adanya berbagai perbedaan paradigma yang menjadi spirit berbagai peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan bekerjanya Pengadilan Tipikor. Spirit extraordinary yang menjadi spirit UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 misalnya, tidak terdukung oleh berbagai peraturan perudang-undangan yang lain misalnya UU Nomor 8 Tahun 1981 yang menjadi landasan utama dalam acara pemeriksaan tindak pidana korupsi. Sementara UU Pengadilan Tipikor bergelut dengan berbagai kelemahannya sendiri, misalnya tidak tersedianya ruang yang cukup memadai bagi berbagai elemen masyarakat dalam perekrutan hakim tindak pidana korupsi. Perekrutan hakim tindak pidana korupsi, khususnya yang berasal dari hakim karier, menjadi domain dan otoritas Mahkamah Agung.
2. Tidak adanya keterpaduan berbagai peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan bekerjanya Pengadilan Tipikor membawa implikasi cukup serius dalam putusan Pengadilan Tipikor. Temuan dalam penelitian ini misalnya menunjukkan bahwa putusan Pengadilan Tipikor belum merefleksi keadilan substansial yang terbaca dari realitas sebagai berikut:
3. Melihat realitas sebagaimana kesimpulan sebelumnya, terbaca secara terang bahwa berlakunya undang-undang yang menjadi landasan bekerjanya Pengadilan Tipikor menjadi salah satu faktor tetap tingginya korupsi di Indonesia. Meski bukan satu-satunya faktor, tetapi eksistensi berbagai peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan bekerjanya Pengadilan Tipikor, khususnya UU Nomor 20 Tahun 2001, menjadi faktor kriminogen. Kebijakan legislatif (perundang-undangan) merupakan tahapan paling strategis dalam penanggulangan tindak pidana – termasuk tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, kelemahan pada tahap legislasi/perundang-undangan juga merupakan kelemahan strategis yang akan diikuti pada tahap-tahap berikutnya, yakni tahap aplikasi dan eksekusi.
5. Bagaimana dengan beban kerja hakim Pengadilan Tipikor selama ini? Dengan masih terbatasnya kehadiran Pengadilan Tipikor, demikian pula dengan masih terbatasnya jumlah hakim Pengadilan Tipikor, dan juga belum proporsionalnya jumlah hakim pada umumnya, beban hakim Tipikor masih demikian berat. Dalam beberapa pengadilan bahkan hakim Tipikor masih menjalankan peran dan tugasnya sebagai hakim umum, oleh karena keterbatasan jumlah hakim. Kondisi ini sesungguhnya juga menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan tingginya beban hakim Pengadilan Tipikor.
Melandaskan pada kesimpulan sebagaimana terurai di atas, maka KHN merekomendasikan hal-hal sebagai berikut: