Vonis Hendra “OB”, Hakim Simpangi Pidana Minimal
Utama

Vonis Hendra “OB”, Hakim Simpangi Pidana Minimal

Terdakwa berharap penuntut umum tidak mengajukan banding.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Hendra Saputra menyimak pembacaan vonis majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (27/8). Foto: RES
Hendra Saputra menyimak pembacaan vonis majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (27/8). Foto: RES
Majelis hakim yang diketuai Nani Indrawati menghukum mantan office boy (OB) Riefan Avrian, Hendra Saputra dengan pidana penjara selama satu tahun dan denda Rp50 juta subsidair satu bulan kurungan. Hendra dianggap terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan primair, Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana paling singkat empat tahun, paling lama 20 tahun, dan denda paling sedikit Rp200 juta, paling banyak Rp1 miliar.

Nani mengakui, khusus untuk Hendra, majelis menyimpangi ketentuan ancaman pidana minimal yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. Ia beralasan, Hendra adalah alat yang digunakan Riefan dalam memenuhi niatnya untuk mengikuti dan memenangkan proyek pengadaan Videotron di Kemenkop UKM tahun 2012.

“Untuk itu, terdakwa adalah korban atas rekayasa yang diskenariokan Riefan Avrian. Penyimpangan tersebut juga untuk memperhatikan rasa keadilan bagi terdakwa atas besarnya peran terdakwa dalam tindak pidana a quo,” katanya saat membacakan pertimbangan putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (27/8).

Walau begitu, Nani mengatakan, perbuatan Hendra telah memenuhi semua unsur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. Berawal dari pekerjaan Hendra sebagai OB di PT Rifuel milik Riefan. Hendra bertugas membersihkan kantor, membuat minuman untuk karyawan atau tamu, dan pekerjaan-pekerjaan lain sebagaimana layaknya seorang OB.

Meski hanya bekerja sebagai OB, Hendra telah menandatangani akta pendirian PT Imaji Media yang disodorkan Sarah Salamah atas perintah Riefan. Hendra juga menandatangani dokumen penawaran, kontrak, kwitansi, surat jaminan, dan pembukaan rekening PT Imaji di BRI Duta Mas Fatmawati untuk menampung pembayaran proyek Videotron.

Nani mengungkapkan, ketika diminta menandatangani sejumlah dokumen, Hendra tidak menolak atau paling tidak menanyakan mengapa ia harus menandatangani dokumen-dokumen tersebut. Begitu pula saat Hendra diminta menandatangani surat kuasa yang memperbolehkan Riefan mengambil uang dalam rekening PT Imaji.

Akibat perbuatan Hendra yang memberikan kuasa kepada Riefan, putra Menteri Koperasi dan UKM ini memiliki hak hukum yang luas untuk mengambil uang PT Imaji, termasuk pembayaran uang muka proyek Videotron yang telah disetorkan Kemenkop UKM berdasarkan SPPD tanggal 23 November 2012 sebesar Rp4,682 miliar.

Nani menolak alasan Hendra yang menyatakan tidak menolak menandatangi dokumen karena takut kehilangan pekerjaan. Ia menjelaskan, walau Hendra memiliki keterbatasan pendidikan dan kecerdasan, Hendra menyadari semua perbuatannya, serta merupakan subjek hukum yang sehat jasmani dan rohani.

“Terdakwa juga bukan anak di bawah umur, sehingga sudah seharusnya terdakwa menolak atau paling tidak menanyakan untuk keperluan apa KTP-nya dipinjam, mengapa ia harus berkali-kali bertanda tangan, dan mengapa ia harus datang ke Kemenkop UKM, serta ke kantor BRI cabang Duta Mas Fatmawati, Jakarta Selatan,” ujarnya.

Nani berpendapat, Hendra secara sadar melakukan perbuatannya atau paling tidak Hendra mengetahui apa yang ia lakukan adalah di luar pekerjaannya sebagai OB. Mengingat penandatanganan dokumen dilakukan secara sadar, Hendra dinilai harus mempertanggungjawabkan akibat hukum dari perbuatannya.

Namun, Nani mempertimbangkan peran Hendra yang hanya sebagai pelaku turut serta. Ia menganggap orang yang sebenarnya mempunyai kehendak dan merencanakan delik adalah Riefan. Saat ini, Riefan juga telah ditetapkan sebagai tersangka. Sementara, Hendra adalah orang yang digunakan Riefan untuk melakukan delik tersebut.

Dengan demikian, Nani menyatakan Hendra terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Nani tidak membebankan Hendra dengan pidana tambahan pengganti. Pasalnya, tidak ada satu pun alat bukti yang dapat membuktikan bahwa Hendra secara riil telah menikmati uang dari hasil tindak pidananya.

“Uang sejumlah Rp19 juta yang diterima terdakwa dan para saksi lain dengan jumlah yang bervariasi adalah bonus yang diberikan Riefan sebagai pemilik PT Rifuel. Penerimaan itu lazim diterima oleh karyawan perusahaan atas keuntungan perusahaan tersebut. Untuk itu, tidak tepat menerapkan ketentuan Pasal 18 UU Tipikor,” tuturnya.

Meski telah menyatakan Hendra terbukti bersalah, Nani turut mempertimbangkan sejumlah hal yang memberatkan dan meringankan. Perbuatan Hendra yang ceroboh dengan bersedia melakukan pekerjaan yang bukan menjadi tugasnya hanya karena takut kehilangan pekerjaan dianggap majelis sebagal hal yang memberatkan Hendra.

Sedangkan, hal-hal yang meringankan adalah Hendra belum pernah dihukum, Hendra bersikap lugu dan memberi keterangan dengan lugas, sehingga mempermudah pengungkapan kasus Videotron, serta Hendra memiliki keterbatasan pendidikan yang membuat Hendra mudah diperdaya orang lain.

Nani menerangkan, penjatuhan hukuman terhadap Hendra dimaksudkan sebagai pembelajaran bagi orang lain yang berposisi rentan untuk dijadikan alat bagi pihak yang memiliki kekuasaan, agar berani menolak perbuatan-perbuatan melanggar hukum yang diperintahkan pimpinan atau pihak yang lebih kuat.

Selain itu, untuk pembelajaran bagi pihak yang memperalat orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan intelektual yang cukup untuk melakukan perbuatan melanggar hukum, karena orang-orang itu ternyata mampu mengungkap fakta hukum di persidangan, sehingga pimpinannya harus pula mempertanggungjawaban perbuatannya.

Dissenting opinion
Putusan ini tidak dijatuhkan secara bulat. Hakim anggota II, Sofialdi menyatakan berbeda pendapat (dissenting opinion). Sofialdi mengatakan, walau Hendra telah diangkat sebagai Direktur Utama PT Imaji, gaji yang diterima Hendra tetap Rp1,2 juta perbulan dan Hendra tetap melaksanakan tugas sehari-hari sebagai OB di PT Rifuel.

Kemudian, setelah dimulainya penyidikan kasus Videotron, Hendra diperintahkan Riefan untuk melarikan diri ke Samarinda. Berdasarkan fakta-fakta itu, Sofialdi menyimpulkan sejak pengangkatan Hendra sebagai Direktur Utama PT Imaji hingga pelaksanaan pekerjaan Videotron telah diatur sedemikian rupa oleh Riefan.

“Keterlibatan terdakwa hanya sepanjang penandatangan dokumen dan kontrak pekerjaan belaka. Tidak ada ketentuan perundang-undangan terkait penandatangan dokumen-dokumen adalah terlarang atau bertentangan dengan aturan tertulis lainnya. Untuk itu, unsur melawan hukum tidak terpenuhi dan tidak terbukti,” katanya.

Mengingat unsur melawan hukum tidak terpenuhi, Sofialdi menganggap sudah sepatutnya Hendra dibebaskan dari dakwaan primair. Sama halnya dengan dakwaan subsidair, Pasal 3 UU Tipikor. Sofialdi menyatakan unsur menyalahgunakan kewenangan tidak terpenuhi, sehingga sudah seharusnya Hendra dibebaskan dari dakwaan subsidair.

Menanggapi putusan majelis, Hendra dan pengacaranya masih pikir-pikir untuk mengajukan banding. Begitu pula dengan penuntut umum Andri Kurniawan. Hendra menyatakan putusan satu tahun penjara tersebut mungkin merupakan putusan yang terbaik baginya. Ia berharap penuntut umum tidak mengajukan banding.

Apabila menghitung masa tahanan Hendra, mantan OB di PT Rifuel ini hanya tinggal menjalani dua atau tiga bulan penjara. Namun, pengacara Hendra, Unoto Dwiyulianto menyatakan putusan majelis tidak memenuhi rasa keadilan. “Tapi, untuk banding, nanti kita lihat juga psikologis dari terdakwa,” ujarnya.
Tags:

Berita Terkait