Hakim Kasus Videotron Dinilai Tak Berani Memutus Bebas
Berita

Hakim Kasus Videotron Dinilai Tak Berani Memutus Bebas

Pengacara berpendapat seharusnya majelis hakim berani melakukan terobosan dengan membebaskan Hendra Saputra.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Hendra Saputra (tengah) usai sidang vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (27/8). Foto: RES
Hendra Saputra (tengah) usai sidang vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (27/8). Foto: RES
Majelis hakim perkara korupsi Videotron dinilai tidak berani memutus bebas Hendra Saputra. Padahal, dalam pertimbangan putusannya, majelis mengakui bahwa Hendra merupakan alat yang digunakan Riefan Avrian untuk mendapatkan proyek pengadaan Videotron di Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM).

Pengacara Hendra, Unoto Dwiyulianto mengatakan putusan Hendra merupakan tonggak sejarah bagi dunia penegakan hukum. Unoto menyayangkan sikap majelis yang lagi-lagi tidak berani memutus bebas. “Saya justru sepakat dengan dissenting opinion hakim Sofialdi yang membebaskan Hendra,” katanya, Rabu (27/8).

Apabila mengacu dissenting opinion Sofialdi, lanjut Unoto, unsur melawan hukum dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor tidak terpenuhi. Begitu pula dengan unsur menyalahgunakan kewenangan dalam Pasal 3 UU Tipikor. Sofialdi menganggap perbuatan Hendra yang menandatangani sejumlah dokumen tidak melanggar aturan apapun.

Lebih dari itu, Hendra yang berpendidikan rendah dan tidak tamat sekolah dasar, dianggap rentan untuk diperalat Riefan. Hal ini terlihat dari perbuatan Riefan yang mengatur sedemikian rupa pengangkatan Hendra sebagai Direktur Utama PT Imaji Media hingga memerintahkan Hendra menandatangani sejumlah dokumen lelang.

Kemudian, walau telah diangkat sebagai Direktur Utama PT Imaji, gaji yang diterima Hendra tetap Rp1,2 juta perbulan dan Hendra tetap melaksanakan tugas sehari-hari sebagai office boy (OB) di PT Rifuel. Hendra juga sempat diperintahkan Riefan untuk melarikan diri ke Samarinda ketika dimulainya penyidikan kasus Videotron.

Berdasarkan fakta-fakta itu, menurut Unoto, seharusnya majelis berani memutus bebas Hendra. Apalagi majelis juga mengakui bahwa orang yang sebenarnya mempunyai kehendak dan merencanakan delik adalah Riefan. Sementara, Hendra hanyalah orang yang dipergunakan Riefan untuk melakukan delik tersebut.

Nyatanya, majelis malah menghukum Hendra dengan pidana penjara selama satu tahun dan denda Rp50 juta subsidair yang jelas-jelas menyimpangi ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. “Walaupun menguntungkan Hendra karena ancaman yang seharusnya minimal empat tahun, menjadi  hanya satu tahun, itu jelas melanggar,” ujarnya.

Pengacara Hendra lainnya, Ahmad Taufik menyatakan kecewa terhadap putusan majelis. Dengan adanya putusan ini, rupanya majelis hanya sebagai corong undang-undang. Ahmad mengungkapkan, semestinya majelis menggunakan hati nurani. Ia mengutip pernyataan mantan Hakim Agung (alm) Prof Bismar Siregar yang menyatakan, “keadilan itu jangan dicari pada kitab undang-undang, melainkan carilah pada hati nurani karena pada akhirnya, mahkamah yang paling tinggi adalah hati nurani”.

Ahmad bersikukuh Hendra hanya diperdaya oleh majikannya, Riefan yang juga anak Menteri Koperasi dan UKM Syarief Hasan. Hal ini terbukti dengan adanya pengakuan Riefan di persidangan yang membenarkan bahwa ia lah yang bertanggung jawab atas semuanya. Sayang, majelis tidak mempertimbangkan pengakuan Riefan tersebut.

Dengan demikian, Ahmad berpendapat, majelis tidak berani melakukan terobosan. Ia justru berterima kasih kepada semua pihak, termasuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang memberi perhatian pada kasus Hendra . “Belum ada keadilan yang hakiki di negeri ini. Justice for all masih lah angan-angan,” tuturnya.

Sementara, penuntut umum Andri Kurniawan mengaku pihaknya masih pikir-pikir untuk mengajukan banding. Namun, apabila melihat putusan yang dijatuhkan majelis, masih belum memenuhi dua pertiga tuntutan. Selain itu, jika melihat pasal yang dikenakan majelis tidak sesuai dengan tuntutan penuntut umum.

Walau begitu, Andri menghormati putusan majelis. Andri tidak mempermasalahkan sikap hakim yang menyimpangi ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. Ia menganggap majelis memiliki kewenangan untuk menilai rasa keadilan. “Kami akan pelajari dulu, apa ini bertentangan dengan aturan normatifnya,” tandasnya.

Untuk diketahui, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang diketuai Nani Indrawati menghukum Hendra dengan pidana penjara selama satu tahun dan denda Rp50 juta subsidair satu bulan kurungan. Hendra dianggap terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan primair, Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor.
Tags:

Berita Terkait