MK Kritik Permohonan PDIP dan Aktivis Perempuan
Berita

MK Kritik Permohonan PDIP dan Aktivis Perempuan

Permohonan lebih banyak menguraikan DIM bersifat teknis, belum memuat uraian ketentuan konstitusional yang dilanggar.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Majelis Panel MK menggelar sidang perdana pengujian UU No. 17 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) yang dimohonkan DPP PDI Perjuangan, Dwi Ria Latifa dkk, dan Koalisi Kepemimpinan Perempuan. PDIP menguji tujuh pasal dari sisi formil dan materil, sedangkan koalisi menguji tujuh pasal tentang keterwakilan perempuan dalam UU MD3 revisi itu.

Persidangan kedua permohonan dengan nomor perkara 73/PUU-XII/2014 dan nomor 82/PUU-XII/2014 ini ditangani Hakim Konstitusi Arief Hidayat bersama Patrialis Akbar dan Ahmad Fadlil Sumadi sebagai anggota majelis panel. Usai pembacaan, majelis panel banyak memberi kritik dan masukan terhadap materi permohonan terutama menyangkut alasan permohonan yang belum dikaitkan persoalan kerugian konstitusional para pemohon.

Anggota Panel, Ahmad Fadlil Sumadi menilai permohonan PDIP belum tegas menguraikan kerugian konstitusional menyangkut Pasal 84 terkait mekanisme pemilihan pimpinan DPR oleh anggota DPR, bukan didasarkan parpol pemenang pemilu. “Kalau pemenang pemilu tidak jadi Ketua DPR, kerugian konstitusionalnya dimana? Lalu perspektif konstitusionalnya apa?” ujar Fadlil mempertanyakan.

Menurut dia, permohonan lebih banyak menguraikan daftar inventarisasi masalah (DIM) yang bersifat teknis, dan belum memuat uraian ketentuan konstitusional yang dilanggar. Nuansa argumentasi konstitusionalnya juga masih minim. “Kalau teknis terkait ketentuan konstitusional tidak masalah, persoalan teknis itu bahkan sudah diatur dalam Tata Tertib. Ini perlu dipertimbangkan,” pintanya.

Terkait keterwakilan perempuan, Fadli menjelaskan affirmative action memiliki dasar kontitusional dalam Pasal 28 ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

“Uraian ini tidak ada dalam permohonan, apakah perlakuan perempuan dan laki-laki sudah equal atau belum? Saya pikir perlu mengkaitkan aturan equality itu dalam permohonan,” sarannya.          

Sementara Arief Hidayat mengkritik materi permohonan sejumlah aktivis perempuan yang menilai affirmative action bagi perempuan dalam kancah politik belum diurai secara jelas. Karena itu, dia menyarankan agar affirmative action lebih dipertajam dalam posita permohonan.  

“kenapa harus dilakukan affirmative action, kalau politik itu dimasuki wanita-wanita, maka politik Indonesia akan lebih baik, sehingga petitumnya semua alat kelengkapan DPR butuh perwakilan perempuan,” sarannya.  

“Pengujian formil juga terkait tenggat waktu berdasarkan putusan MK selama 45 hari sejak diundangkan harus nampak dan dianalis dalam permohonan! Secara formil proses pembuatan UU MD3 itu secara konstitusional bertentangan dengan konstitusi atau tidak?”

Penundaan
Dalam permohonannya, PDIP mempersoalkan aturan mekanisme pemilihan pimpinan komisi, pimpinan Badan Legislasi, pimpinan Badan Anggaran yang sifatnya ad hoc, tiba-tiba dipermanenkan. Lalu, mekanisme pemilihan Mahkamah Kehormatan Dewan, pimpinan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) justru dihilangkan, dan adanya hak imunitas anggota DPR saat menjalani proses hukum.

Namun, yang utama PDIP mempersoalkan Pasal 84 UU MD3 Revisi terkait mekanisme pemilihan pimpinan DPR oleh anggota DPR, bukan parpol pemenang pemilu. Padahal, konvensi ketatanegaraan sudah menentukan setiap pemenang pemilu berhak menjabat Ketua DPR. “Pasal 84 itu kekeliruan fundamental yang harus dikoreksi dan dibatalkan,” kata kuasa hukum PDIP, Andi M Asrun dalam persidangan.

Andi pun meminta penundaan berlakunya Pasal 84, Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109, Pasal 115, Pasal 121, dan Pasal 152 UU MD3 revisi sampai MK memberi putusan perkara ini. Sebab, penundaan ini akan menghilangkan potensi kerugian konstitusional bagi para pemohon. Dalam petitumnya, pemohon meminta tafsir inkonstitusional bersyarat terhadap pasal-pasal tersebut.           

Sementara aktivis perempuan keberatan lantaran sejumlah pasal yang diuji tidak mengakomodasi keterwakilan perempuan di semua alat kelengkapan DPR. Misalnya, ketentuan pimpinan komisi, pimpinan Badan Legislasi, pimpinan Badan Anggaran, pimpinan BKSAP, Mahkamah Kehormatan Dewan, pimpinan BURT, dan pimpinan panitia khusus.

“Berlakunya Pasal 97 ayat (2), Pasal 104 ayat (2), Pasal 109 ayat (2), Pasal 115 ayat (2), Pasal 121 ayat (2), Pasal 152 ayat (2), dan Pasal 158 ayat (2) sangat merugikan perempuan dalam parlemen karena dibatasi untuk menjadi ketua/pimpinan alat kelengkapan DPR,” ujar kuasa hukum koalisi, Veri Junaidi.

Menurutnya, munculnya pasal-pasal itu adalah suatu upaya sistematis menghilangkan atau menghambat peran keterwakilan perempuan untuk menjadi pimpinan alat kelengkapan dewan yang bertentangan dengan semangat putusan-putusan MK sebelumnya. Karenanya, para pemohon meminta MK menyatakan agar ketujuh pasal itu dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai ketentuan tersebut juga “memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.”

Sementara itu, majelis panel lain menggelar persidangan terpisah untuk  mengadili pengujian undang-undang yang sama yang diajukan DPD, ICJR dan sejarawan JJ Rizal yang diwakili LBH Jakarta. DPD memohon pengujian baik secara formil maupun secara materil terhadap 21 pasal yang dinilai memperkuat DPR, tetapi memperlemah posisi DPD.

Misalnya, dihapusnya sanksi anggota DPR yang enam kali berturut-turut tidak menghadiri sidang paripurna, tetapi sanksi itu masih tetap berlaku bagi DPD, penghapusan pasal penyidikan anggota MPR, DPD, DPRD, penghapusan BAKN, penghapusan larangan penerimaan gratifikasi, termasuk pemeriksaan anggota DPR dalam proses penyidikan harus mendapat persetujuan Mahkamah Kehormatan DPR (Pasal 245 UU MD3).       

Sedangkan ICJR dan JJ Rizal memohon pengujian Pasal 245 UU MD3 Revisi yang terkesan mengistimewakan DPR dengan memberi perlindungan terhadap anggota DPR ketika menghadapi proses hukum. Pasal itu dinilai bertentangan dengan prinsip nondiksriminasi seperti diatur Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, sehingga diminta untuk dibatalkan.
Tags:

Berita Terkait