LBH Yogya: UU ITE Ancaman Kebebasan Ekspresi
Aktual

LBH Yogya: UU ITE Ancaman Kebebasan Ekspresi

Oleh:
ANT
Bacaan 2 Menit
LBH Yogya: UU ITE Ancaman Kebebasan Ekspresi
Hukumonline
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta menilai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi ancaman kebebasan berekspresi masyarakat sebab dapat memejahijaukan siapapun yang dianggap menyinggung pihak lain.

"UU ITE sepertinya tak kenal ampun, siapapun akan dapat dijerat dalam konteks dan ruang apa ekspresi dimuat dan apa yang menjadi isi dari materi informasi yang dimuat. Selama materi dirasa 'menyinggung' pihak tertentu, maka UU ini bisa menjadi alat yang ampuh untuk memejahijaukan seseorang," kata Direktur LBH Yogyakarta Samsudin Nurseha SH, Senin.

Menurut dia, maka tidak begitu salah jika kemudian banyak pihak berpendapat bahwa UU tersebut sangat antidemokrasi.

"Setelah 16 tahun reformasi bergulir, harapan akan terbitnya demokratisasi dan perlindungan hak manusia menjadi cita-cita yang amat mulia. Namun alih-alih harapan itu tercapai, justru sekarang kita seolah-olah sedang kembali ke rezim yang penuh teror di masa lalu. Harapan akan demokratisasi, perlindungan terhadap harkat martabat manusia dan kebebasan berpendapat hanya jadi mitos belaka. Hukum pidana dalam UU ITE menunjukkan tajinya, dan memasung kebebasan berpendapat warga negara," katanya.

Ia mengatakan, alangkah ironisnya, karena konstitusi, UUD 1945 sudah memaklumatkan Indonesia sebagai negara hukum. Secara teoritis pilihan terhadap paham negara hukum menimbulkan konsekuensi kewajiban bagi negara untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia, termasuk juga kebebasan untuk berpendapat.

"Terlebih pasal 28-E ayat 2 UUD 1945 menerangkan setiap setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. Ayat 2 pasal yang sama kembali menegaskan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Menyimak ke dua pasal ini maka dapat disimpulkan bahwa kebebasan untuk berpendapat merupakan hak konstitusional warga negara yang tak dapat belenggu," katanya.

Samsudin mengatakan, Indonesia telah meratifikasi Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil Politik dengan UU Nomor 12 tahun 2005. Pada pasal 19 ayat 1 menyatakan setiap orang berhak untuk mempunyai pendapat tanpa diganggu.

"Kemudian pada ayat 2 kembali ditekankan, setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat, hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan ide apapun tanpa memperhatikan medianya baik secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, dalam bentuk seni atau melalui media lainnya sesuai dengan pilihannya," katanya.

Ia mengatakan, berbagai peraturan perundangan-undangan yang bernuansa hak asasi manusia tersebut jadi pegangan bagi aparatus negara untuk bertindak lebih manusiawi.

Dalam kaca mata hak asasi manusia, perangkat negara adalah pemangku kewajiban. Maka dialah yang punya tanggung jawab untuk menghormati, mematuhi dan melindungi hak-hak asasi warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap kebebasan berpendapat atau berekpresi.

"Terkait kasus Florence Sihombing di Yogyakarta, ini membuktikan bahwa UU ITE bisa menjerat siapa saja, baik itu aktivis atau bukan, ini tidak cocok dengan iklim demokrasi," katanya.

Masyarakat, menurut dia, seharusnya lebih terbuka dan lebih bijak dalam menyikapi perbedaan pendapat.

"Masyarakat juga tidak perlu terpancing dengan pernyataan seseorang yang dinilai berbeda. Pendekatan penyelesaian seperti ini dengan menggunakan UU ITE sangatlah berlebihan dan bertentangan nilai-nilai HAM," katanya.
Tags: