BI Kaji Regulasi Anti Transaksi Seks Anak
Utama

BI Kaji Regulasi Anti Transaksi Seks Anak

Sulitnya membongkar transaksi elektronik terkait kejahatan seks anak lantaran tak ada catatan khusus kegiatan transaksi dilakukan.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Maraknya kejahatan seksual terhadap anak-anak dengan memanfaatkan jasa perbankan atau transaksi elektronik untuk membayar jasa seks seperti video pornografi menjadi perhatian tersendiri bagi Bank Indonesia (BI). Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI, Rosmaya Hadi, mengatakan perlu ada regulasi kuat untuk mencegah kejahatan itu terjadi.

"Tentu kita akan aturkan. Sekarang itu kan sudah ada APMK (Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu), sebentar lagi tentang penyelesaian pemrosesan sarana itu sedang diatur," kata Rosmaya di Komplek Parlemen di Jakarta, Senin (1/9).

Hanya saja, lanjut Rosmaya, untuk membuktikan bahwa transaksi itu terkait pembayaran jasa seks seperti video pornografi anak sangat sulit dibuktikan. Menurutnya, sulitnya membongkar transaksi elektronik terkait kejahatan seks anak tersebut lantaran tak ada underlyingnya atau catatan khusus kegiatan transaksi dilakukan.

"Underlying itu susah, seperti saya bayar ke anda, tahu-tahu sebetulnya underlyingnya apa," ujar Rosmaya.

Atas dasar itu, penyusunan regulasi mengenai transaksi ini perlu dikaji secara mendalam. Menurutnya, underlying bisa diketahui jika pembeli tersebut mencatat transaksinya di bagian keterangan. Misalnya, dengan mencantumkan kegiatan transaksi berkaitan dengan sesuatu yang ilegal di bagian keterangan transaksi.

"Mungkin kita menyebutnya sesuatu yang ilegal. Tidak boleh untuk hal-hal yang bertentangan dengan hukum," kata Rosmaya.

Sebelumnya, End Child Prostitution Child Pornography and Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia berharap perbankan dan lembaga penyedia jasa keuangan lainnya menaruh kepedulian terhadap transaksi jual beli seks anak yang menggunakan teknologi dan fasilitas jasa keuangan seperti anjungan tunai mandiri (ATM). Harapan ini diutarakan lantaran ECPAT Indonesia meyakini adanya aliran dana korupsi yang digunakan pelaku tindak pidana korupsi untuk membeli seks anak.

"Sektor perbankan dan institusi keuangan perlu menyusun langkah-langkah strategis untuk menghentikan transaksi jual beli seks anak," kata Koordinator Nasional ECPAT Indonesia Ahmad Sofian. ECPAT adalah lembaga lintas negara yang mengadvokasi pengakhiran eksploitasi seksual komersial anak (ESKA).

Menurutnya, modus yang dilakukan pelaku dengan cara memanfaatkan jasa perbankan atau transaksi elektronik untuk membayar jasa seks anak seperti video pornografi anak. Bahkan, kata Sofian, pelakunya punya jabatan dan tersandung perkara korupsi. Cuma, pelaku dihukum bukan karena kejahatan eksploitasi seks anak, melainkan karena korupsi.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ternyata juga sudah mencium adanya sejumlah transaksi keuangan yang diduga melibatkan jaringan mafia pedofilia di Indonesia. "Sudah ada kasusnya," kata Budi Saiful Haris, pejabat Penghubung Kerjasama Pertukaran Informasi PPATK.

Sulitnya membongkar transaksi kasus eksploitasi seks anak melalui perbankan dan jasa keuangan lainnya juga diakui Kepolisian. Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Sugeng Hariyanto, Kanit IT dan Cyber Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Mabes Polri, menjelaskan tak mudah membongkar kasusnya."Pelaku sering berpindah-pindah tempat," ujarnya.

Berdasarkan pemantauan kepolisian, setidaknya 200 IP address di Indonesia yang mengakses pornografi setiap hari. Meski tak semua mengakses eksploitasi seks anak, tetapi angka itu mencerminkan potensi penyalahgunaan teknologi informasi untuk kejahatan seksual. Dikatakan sulit karena faktanya hanya ada satu dua kasus yang bisa dibongkar setiap tahun. Pada 2013 misalnya hanya ada 3 kasus, tahun sebelumnya malah hanya satu kasus.
Tags:

Berita Terkait