MK Diminta Cabut Larangan Pembuat Lambang Negara
Berita

MK Diminta Cabut Larangan Pembuat Lambang Negara

Pemohon diminta memperjelas kerugian konstitusionalnya dan menguraikan perbedaan dengan putusan MK sebelumnya.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Suasana sidang pengujian UU Penggunaan Lambang Negara di Gedung MK, Selasa (2/9). Foto: RES
Suasana sidang pengujian UU Penggunaan Lambang Negara di Gedung MK, Selasa (2/9). Foto: RES
Larangan penggunaan lambang negara kembali dipersoalkan seorang warga negara ke MK. Adalah Victor Santoso Tandiasa yang memohon pengujian Pasal 57 huruf c dan Pasal 69 huruf b UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (UU Lambang Negara).

Pemohon menilai kedua pasal yang melarang penggunaan lambang negara dengan ancaman pidana itu menimbulkan ketidakpastian hukum karena potensial mengkriminalisasi warga negara khususnya bagi pengrajin/pembuat lambang negara. Padahal, lambang negara semestinya sebagai sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi bangsa.

“Kedua pasal itu justru berpotensi menimbulkan konflik dalam masyarakat yang merugikan setiap warga negara termasuk pengrajin/pembuat lambang negara atau menyerupai lambang negara karena berpotensi dikriminalisasikan,” ujar Victor dalam sidang perdana yang diketuai  di ruang sidang MK, Selasa (2/8).   

Pasal 57 huruf c berbunyi, “Setiap orang dilarang : membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi, dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara.” Sedangkan Pasal 69 huruf b mengatur ancaman pidana maksimal selama 1 tahun atau denda Rp 100 juta yang dengan sengaja membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara.         

Victor menilai frasa “membuat lambang untuk perseorangan dan menyerupai lambang negara” dalam Pasal 57 huruf c dan Pasal 69 huruf b bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sebab, penerapan ketentuan itu tidak memberi kepastian hukum, tidak memuat penjelasan, dan batasan yang jelas.

“Ketiadaan penjelasan dapat memberi dampak pemidanaan bagi setiap orang dengan kreativitasnya membuat lambang yang menyerupai lambang negara untuk kepentingan perseorangan,” paparnya.

Menurut Ketua Umum Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) ini kedua ketentuan tersebut seharusnya dapat dimaknai bentuk kreativitas, kegiatan seni dan budaya, serta upaya memajukan diri membangun masyarakat, bangsa, dan negara. Karena itu, frasa “membuat lambang untuk perseorangan” dan frasa “menyerupai lambang negara” dalam Pasal 57 huruf c dan Pasal 69 huruf b UU Lambang Negara bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Dia mengakui pihaknya sudah menguji Pasal 57 huruf c dan huruf d dan Pasal 69 huruf c yang mengatur larangan penggunaan lambang negara secara keseluruhan.Dalam putusannya, MK menyatakan kriminalisasi dalam penggunaan lambang negara bertentangan dengan UUD 1945.Artinya, MK membebaskan warga negara menggunakan lambanga negara untuk berbagai kepentingan.

“Persoalannya, kedua frasa itu tetap bersifat multitafsir dan membahayakan karena potensial mengkriminalisasi warga negara yang membuat lambang negara karena tidak ada penjelasannya,” tegasnya.

Menanggapi permohonan, Anggota Majelis Panel Patrialis Akbar meminta permohonan diperjelas argumentasi kerugian konstitusional yang dialami pemohon. Hal ini agar majelis yakin pemohon benar-benar dirugikan hak konstitusionalnya. “Saudara juga harus menghubungkan dengan putusan MK sebelumnya. Kalau pasal batu ujinya beda mungkin bisa, tetapi kalau sama tentu tidak bisa,” kata Patrialis.

Ketua Majelis Panel, Aswanto pun meminta pemohon menguraikan perbedaan permohonan ini dengan permohonan sebelumnya secara jelas. Permohonan ini juga lebih banyak menguraikan mengenai ketentuan ancaman pidana bagi pembuat lambang negara daripada uraian kerugian konstitusionalnya. “Ini penting dicermati kembali!”       

Dia juga meminta agar posisi pemohon diperjelas, apakah sebagai ketua umum FKHK atau sebagai perorangan warga negara? “Walaupun dua-duanya boleh, tetapi ini mempengaruhi bentuk kerugian konstitusional seperti apa? Ini agar menjadi jelas kerugian konstitusionalnya, permohonan sebelumnya Saudara mewakili FKHK, tolong ini diperjelas ya,” pintanya.
Tags:

Berita Terkait