Ahli Hukum Tak Perlu Lagi Dihadirkan di Sidang
Utama

Ahli Hukum Tak Perlu Lagi Dihadirkan di Sidang

Karena hakim seharusnya sudah dianggap memahami hukum.

Oleh:
ALI SALMANDE
Bacaan 2 Menit
Prof Yusril Ihza Mahendra, saat menjadi ahli dalam sidang perkara Anas Urbaningrum. Foto: RES (Ilustrasi)
Prof Yusril Ihza Mahendra, saat menjadi ahli dalam sidang perkara Anas Urbaningrum. Foto: RES (Ilustrasi)
Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas, Lucky Raspati mengusulkan agar ahli hukum seharusnya tidak perlu dihadirkan di persidangan karena hakim dianggap sudah memahami aturan hukum.

Pandangan ini disampaikan oleh Lucky dalam diskusi terbatas di Indonesia Jentera School of Law (IJSL), Jakarta, Jumat (5/9). Diskusi terbatas itu diselenggarakan IJSL, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Koalisi RUU KUHAP, dan hukumonline. Lucky saat ini sedang menyusun disertasi untuk program doktor di Universitas Indonesia (UI) dengan topik seputar keterangan ahli dalam pembuktian perkara pidana.

Pasal 184 KUHAP menjadikan keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti, selain keterangan saksi, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

Lucky berpendapat bahwa hakim seharusnya dianggap sudah memahami hukum sebagaimana asas ius curia novit. “Saya termasuk yang strict bahwa ahli hukum seharusnya tidak perlu dihadirkan di persidangan. Kalau ahli di bidang lain, ya boleh saja,” ujarnya.

Lucky bahkan menilai hakim seharusnya mundur dari penanganan perkara bila ada ahli hukum yang didengarkan di persidangan. Bukan karena hakim mengalami konflik kepentingan, tetapi dia harus mundur karena sudah tidak kompeten sebagai seorang yang dianggap paham ilmu hukum.

Di acara yang sama, peneliti senior Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Arsil setuju bila ahli hukum tidak perlu dihadirkan lagi dalam persidangan, apalagi keterangan ahli dianggap sebagai salah satu alat bukti. “Karena pembuktian itu menyangkut fakta,” tambahnya.

Arsil menambahkan bila hakim ingin mengambil penafsiran ahli hukum, maka saat yang tepat adalah pasca pembuktian. “Solusinya, para ahli hukum itu harus sering menulis buku yang bisa dikutip oleh jaksa atau hakim, sehingga dia tidak perlu datang ke persidangan,” tuturnya.

Lebih lanjut, Arsil menuturkan bahwa pendapat para ahli hukum itu kerap berbeda-beda di setiap persidangan. Ini juga bisa menjadi problem. Ia menilai agak sulit untuk melarang ahli hukum itu hadir di persidangan bila belum ada aturan yang ketat mengenai hal tersebut. “Kalau di luar negeri, ahli hukum sudah sadar sendiri,” tambahnya.

Refki Saputra, dari Koalisi pengusung RUU KUHAP, berpendapat bahwa ahli hukum seharusnya masih bisa dihadirkan di persidangan bila ada penelitian yang sangat spesifik. Apalagi, lanjutnya, ilmu hukum berkembang dengan pesat, sehingga belum tentu hakim mengikuti perkembangan ilmu hukum yang spesifik tersebut. “Misalnya, ahli hukum angkasa,” ujarnya.

“Menurut saya, perlu dipikirkan terlebih dahulu sebelum secara strict mengeluarkan keterangan ahli hukum dari pembuktian,” ujarnya.

Refki lebih setuju bila kehadiran ahli di persidangan atas permintaan hakim. Jadi, bukan dari permintaan masing-masing pihak. Permintaan hakim atas kehadiran ahli ini sebenarnya sudah diatur dalam KUHAP, tetapi dalam praktik jarang dilakukan. Ia merujuk Pasal 180 ayat (1) dan Pasal 229 ayat (1) KUHAP. “Dulu pernah ada anggaran untuk ahli di Kehakiman. Sekarang sudah tidak ada lagi karena ada kebingungan, ini jadi anggaran MA, penuntut umum atau kepolisian,” tuturnya.

Peneliti senior Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara berpendapat tidak terlalu strict untuk melarang ahli hukum dihadirkan di persidangan. Ia menilai yang paling penting adalah adanya kontestasi untuk menguji relevansi ahli hukum itu dalam sebuah perkara.

Ia menilai masing-masing pihak seharusnya diberi kesempatan untuk menguji apakah keterangan ahli ini relevan atau tidak sebelum dia menyampaikan pendapat. Ia berharap keberatan masing-masing pihak terhadap kehadiran ahli seharusnya juga dituangkan ke dalam putusan dan menjadi pertimbangan hakim. “Saya pernah bilang ke salah satu ahli hukum bahwa Anda selalu berbeda-beda keterangannya di setiap perkara, tetapi itu nggak masuk ke dalam putusan,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait