Hak Imunitas dan Asas Persamaan Kedudukan di Hadapan Hukum dalam UU MD3
Kolom

Hak Imunitas dan Asas Persamaan Kedudukan di Hadapan Hukum dalam UU MD3

Hak imunitas untuk pendapat, pernyataan, tindakan dan kegiatan anggota DPR di dalam dan di luar rapat DPR, selama masih dalam lingkup fungsi, hak dan kewenangannya, pantas diberikan.

Bacaan 2 Menit
Foto: KHN
Foto: KHN
Disampaikan dalam Dialog Hukum Komisi Hukum Nasional RI Bekerjasama denganKoalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan UU MD3, danKantor Berita Radio (KBR), 3 September 2014.

Asas persamaan di hadapan hukum (Equality before the law principle) merupakan salah satu asas yang utama dalam Deklarasi Universal HAM dan dianut pula dalam UUD 1945 kita. Bagi saya asas ini mengandung arti bahwa “semua warga harus mendapat perlindungan yang sama dalam hukum – tidak boleh ada diskriminasi dalam perlindungan hukum ini”. Bagi saya kata kuncinya adalah “perlindungan”. Pendapat yang berbeda adalah yang menafsirkan bahwa persamaan yang dimaksud adalah untuk “perlakuan”. Perbedaan kata kunci ini dapat membawa kepada penafsiran yang berbeda dari makna asas ini bagi HAM.

Dengan kata-kunci “perlindungan”, maka yang dituju adalah perintah kepada negara/pemerintah untuk memberi perlindungan hukum yang sama adilnya (fairness) kepada warganya. Dan dalam sebuah negara dengan masyarakat majemuk atau bersifat multi-kultural seperti Indonesia, ini mengandung makna perlindungan terhadap kelompok minoritas (terhadap kemungkinan ketidakadilan dari kelompok mayoritas). Mencegah adanya diskriminasi dalam perlindungan dan rasa aman kelompok minoritas. Diskriminasi yang dilarang adalah yang merugikan kelompok tertentu.

Namun, kalau dipergunakan kata-kunci “perlakuan”, maka penafsiran yang berkembang dalam masyarakat Indonesia adalah perintah kepada negara/pemerintah untuk tidak membedakan dalam perlakuan hukum antara warganya. Dan dalam masyarakat yang terstruktur dalam “kelas”, maka ini mengandung makna jangan memberi perlakuan istimewa kepada anggota kelas tertentu.Khususnya dalam beberapa kasus (yang saya baca dari media massa), protes ditujukan terhadap persangkaan bahwa “kelas pejabat Negara” dan/atau “kelas orang kaya” mendapat perlakuan khusus/istimewa dalam proses peradilan pidana. Diskriminasi yang dilarang di sini adalah menguntungkan kelas tertentu.

Mengakui adanya perbedaan dalam kedua kata kunci itu, menurut saya penting dilakukan, agar dalam diskusi kita dapat melihat akibatnya dan mencari kesimpulan. Bagi saya kedua kata kunci itu dapat dipergunakan dan dibenarkan, dengan dimisalkan sebagai dua sisi dari satu mata uang yang berupa asas “persamaan di hadapan hukum” (legal equality –LE)..

Bagaimana sekarang dengan UU MD3? Yang dipersoalkan adalah Pasal 245 yang dalam ayat (1) mengecualikan Anggota DPR dari prosedur KUHAP dalam proses penyidikan, karena penyidik memerlukan izin terlebih dahulu dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Ayat-ayat berikutnya merupakan “tata-cara” melaksanakan “hak-istimewa” anggota DPR itu. Apakah ini bertentangan dengan asas LE ? Dijawab  “Ya”, kalau LE ditafsirkan sebagai “perlakuan”, dan pasal ini ditafsirkan sebagai diskriminasi yang “menguntungkan” anggota DPR. Tetapi dapat juga dijawab “Tidak”, kalau LE ditafsirkan “perlindungan”, karena tidak ada diskriminasi yang “merugikan” kelompok non-anggota DPR.

Suara “protes” mengkaitkan ini juga dengan kemungkinan tersangka “menghilangkan barang-bukti”, menghalangi penyidikan, tetapi menurut saya ini terlalu dicari-cari sebagai alasan. Pendapat yang mengatakan ini bertentangan dengan asas peradilan “cepat, sederhana, biaya ringan” juga, menurut saya, tidak tepat. Karena asas terakhir ini ditujukan untuk menguntungkan/melindungi seorang tersangka, agar penyidik jangan “mengulur-waktu” perkara.
Dengan Pasal 245, memang tersangka/anggota DPR lebih beruntung, karena kasusnya akan dinilai dahulu oleh MKD (apakah cukup ditangani secara internal, melalui Kode Etik, ataukah memang beralasan ditangani oleh Penyidik). Pada dasarnya setiap Organisasi Profesi (Dokter, Advokat, Akuntan,Psikolog, dlsb-nya) mengatur demikian untuk anggota profesinya. Mengapa kita harus curiga untuk Anggota DPR?

Pertanyaan sekarang adalah apakah “hak istimewa” (prerogative right) ini perlu atau pantas diberikan kepada anggota DPR. Menurut saya, kalau kita mengakui bahwa anggota DPR adalah wakil-wakil rakyat yang “mempersonifikasikan” kedaulatan rakyat, maka “perlakuan istimewa” ini, adalah sudah sepantasnya kita berikan. Kita menghormati lembaga DPR dan menurut saya kita juga tidak ingin anggota-anggotanya dapat begitu saja dipangil oleh Penyidik untuk pelangaran hukum yang tidak-serius. Dan bukankah ayat (3) sudah menyempitkan/membatasi hak istimewa ini, dengan tiga perkecualian atas hak-istimewa dalam ayat (1)?

Bagaimana sekarang kaitannya dengan “hak imunitas” (immunity right) atau hak kekebalan yang diterima oleh anggota DPR melalui Pasal 224 (1) dan (2)? Menurut saya seharusnya kita sepakat bahwa hak imunitas untuk pendapat, pernyataan, tindakan dan kegiatan anggota DPR di dalam dan di luar rapat DPR, selama masih dalam lingkup fungsi, hak dan kewenangannya, pantas diberikan.
Hak imunitas ini juga dibatasi oleh ayat 4 dan 5 pasal ini. Dan ini menurut saya juga benar, karena kita tidak menghendaki bahwa untuk anggota DPR akan berlaku asas “Anggota DPR could do no wrong”  - tidak dapat berbuat salah! Kalau pun ingin memakai asas ini, maka harus ditafsirkan/diganti menjadi “must do no wrong” – tidak boleh berbuat salah. Berarti bahwa kita mengharapkan (mewajibkan?) anggota DPR kita itu mempunyai “moralitas-tinggi” (menjunjung tinggi nilai-nilai dasar yang diyakini masyarakat Indonesia dalam hidup bernegara dan berbangsa).

*Sekretaris Komisi Hukum Nasional
Tags:

Berita Terkait