Ini Komentar Mahasiswi FHUI Tentang Judicial Review Nikah Beda Agama (Part I)
Berita

Ini Komentar Mahasiswi FHUI Tentang Judicial Review Nikah Beda Agama (Part I)

Ada penyelundupan hukum. Permohonan diprediksi bakal di-NO oleh hakim konstitusi.

Oleh:
CR-17
Bacaan 2 Menit
Mahasiswa/Mahasiswi FHUI (Ilustrasi). Foto: SGP.
Mahasiswa/Mahasiswi FHUI (Ilustrasi). Foto: SGP.
Sejumlah alumnus dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) mengajukan judicial review Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Mereka hendak meminta tafsir kepada majelis hakim konstitusi mengenai keabsahan pernikahan beda agama bila mengacu ke pasal itu. Kontroversi pun terjadi. Lalu, bagaimana tanggapan mahasiswi FHUI lain mengenai permohonan rekan-rekannya itu?

Berikut adalah komentar beberapa mahasiswi FHUI mengenai permohonan judicial review tersebut, kepada hukumonline, di kampus Universitas Indonesia (UI) Depok, Jawa Barat, Senin (8/9).
Camila Bani Awalia, mahasiswi FHUI angkatan 2011, mengaku masih dilema dengan permohonan ini apakah setuju atau tidak. Ia mengatakan selama ini, seperti ada penyelundupan hukum dalam praktik pernikahan beda agama di Indonesia. “Seolah-olah semua orang tahu ada penyelundupan, tetapi hukumnya tidak mewadahi perkawinan beda agama,” ujarnya.

Namun, lanjut Camila, bila dikaitkan kepada pancasila, permohonan ini seakan bertentangan. Ia merujuk kepada sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang cukup kental dengan nuansa religiusitas atau keagamaan. “Ketuhanan itu bisa diartikan sebagai agama, sedangkan agama itu, menurutku, nggak ada yang ngebolehin pernikahan beda agama,” ujarnya. 

“Jadi, sebenarnya ya itu masih dilema. Setuju 40 persen, tidak setuju 60 persen,” tambah Camila menegaskan posisinya.

Tanita Dhiyaan, mahasiswi FHUI angkatan 2011, punya pandangan sedikit berbeda. “Saya belum bisa bilang saya setuju atau tidak setuju 100 persen. Tetapi, saya lebih ke setuju,” ujarnya.

Menurutnya, banyak inkonsistensi di peraturan perundang-undangan Indonesia menyangkut perkawinan beda agama. Ia menuturkan ada praktik penyelundupan hukum, seperti di UU Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) dimana Kantor Catatan Sipil bisa menikahkan pasangan yang beda agama dengan cara dicatatkan.

“Kenapa setuju? Karena itu balik ke orangnya. Kalau dia merasa agama bilang nggak boleh dan dia sepakat dengan itu, dan dia mentaati maka dia nggak akan nikah beda agama. Kalau menurut saya, negara tidak harus segitu strict (tegas) mengatur ini,” jelasnya. 

Iffah Karimah, mahasiswi FHUI angkatan 2011, mengaku sudah membaca permohonan uji materi itu dan telah melihat latar belakangnya. “Saya mengerti apa yang mereka (pemohon,-red) inginkan nanti,” ujarnya.

Lebih lanjut, Iffah tak menampik fakta bahwa selama ini masih banyak penyelundupan hukum terkait perkawinan beda agama. “Namun, poin yang membuat saya tidak setuju ialah ketika kita JR (judicial review,-red) undang-undang ini, kita tidak hanya nge-JR pasal beda agama, tetapi pengembalian kepada hukum agama masing-masing secara keseluruhan,” ujarnya.

Iffah menegaskan bila pasal ini dibatalkan oleh hakim konstitusi, maka sudah tidak ada lagi pengaturan yang menyatakan bahwa perkawinan sah berdasarkan ketentuan agama masing-masing. “Pengaturan agama kan tidak hanya tentang perkawinan beda agama, tetapi juga, masalah tidak boleh zina dan pengaturan-pengaturan lain. Jadi, menurut saya pribadi, saya tidak ingin pasal ini di-JR,” tegasnya.

Arinta Dea Dini, alumnus FHUI angkatan 2010, juga tidak setuju dengan materi permohonan judicial review. “Secara substansi, tidak. Karena itu yang dituntut kan legalisasi kepastian hukum bagi orang-orang yang menikah secara beda agama. Di konstitusi sendiri diakui yang namanya Ketuhanan Yang Maha Esa,” ujarnya.

Jadi, lanjut Arinta, seharusnya negara menghormati agama yang ada di negara tersebut. Dengan melegalkan pernikahan beda agama, maka itu telah menciderai kesakralan dari pernikahan itu sendiri. “Karena kan pernikahan itu sebenarnya bukan tindakan private, tetapi komunal,” ujarnya.

Namun, Arinta menilai bahwa langkah yang dilakukan oleh para pemohon sudah tepat meski dia yakin majelis hakim konstitusi tidak akan mengabulkan permohonan itu. “Sebenarnya tidak dapat disalahkan juga kalau mereka ingin mengajukan itu, karena itu hak konstitusional (mereka,-red),” tuturnya.

Arinta berpendapat bahwa negara itu dibangun berdasarkan pondasi yang paling dasar, yaitu keluarga. Jadi, ketika seandainya perkawinan beda agama itu diberlakukan, maka pondasi itu akan goyah. “Kenapa? Karena dasarnya itu ketika dua orangtuanya saja beda agama, saya bingung pendidikan agama apa yang diberikan orangtua kepada anaknya. Itu impactnya besar sekali,” jelasnya. 

“Saya yakin sih hakim MK tidak akan mengabulkannya atau bahkan NO (tidak dapat diterima,-red) karena legal standingnya belum cukup kuat berpotensi melanggar hak konstitusional,” pungkasnya.

..............bersambung
Tags:

Berita Terkait