Ini Komentar Mahasiswa FHUI Tentang Judicial Review Nikah Beda Agama (Part II)
Berita

Ini Komentar Mahasiswa FHUI Tentang Judicial Review Nikah Beda Agama (Part II)

Harus dipikirkan pertimbangan sosiologis.

Oleh:
CR-17
Bacaan 2 Menit
Mahasiswa/Mahasiswi Fakultas Hukum. Foto: SGP (Ilustrasi)
Mahasiswa/Mahasiswi Fakultas Hukum. Foto: SGP (Ilustrasi)
Sejumlah alumnus dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) mengajukan judicial review Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Mereka hendak meminta tafsir kepada majelis hakim konstitusi mengenai keabsahan pernikahan beda agama bila mengacu ke pasal itu. Kontroversi pun terjadi. Lalu, bagaimana tanggapan mahasiswi FHUI lain mengenai permohonan rekan-rekannya itu?

Berikut adalah komentar beberapa mahasiswa FHUI mengenai permohonan judicial review tersebut, kepada hukumonline, di kampus Universitas Indonesia (UI) Depok, Jawa Barat, Senin (8/9).

Victor Ricardo, mahasiswa FHUI angkatan 2011, menjelaskan bahwa harus dipahami terlebih dahulu bahwa judicial review tersebut dilakukan terhadap Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Ketentuan ini menyatakan perkawinan sah apabila dilaksanakan sesuai ajaran agama dan kepercayaan masing-masing.

“Jadi, tidak sesempit framing dari media yang hanya menyorot legalisasi kawin beda agama, yang sebenarnya hanya menjadi salah satu konsekuensi dari JR (judicial review,-red) tersebut apabila dikabulkan MK,” jelasnya.

Victor menambahkan kawin beda agama sendiri tidak pernah dilarang secara eksplisit, karena apabila agama dari masing-masing membolehkan, maka perkawinan beda agama itu dapat dilaksanakan. “Menurut saya, logika hukum yang digunakan para pemohon memang logis, dimana mereka ingin memisahkan aturan negara yang mengikat umum dengan masalah agama yang merupakan forum internum,” jelasnya.

Lebih lanjut, Victor berpendapat bahwa tujuan dari para pemohon pun sebenarnya baik, yakni untuk menghindari terjadinya ketidakpastian hukum pelaksanaan perkawinan. Pasalnya, masalah agama sangat pribadi dan sulit distandarisasi oleh negara. Bahkan, dalam satu agama saja bisa terdapat berbagai pandangan dalam perkawinan.

“Lebih luas lagi, tujuannya juga ingin mengakomodir penganut aliran kepercayaan dan masyarakat hukum adat,” jelasnya.

Victor mengatakan memang bila kelak judicial review ini dikabulkan, masyarakat pun masih bisa untuk melangsungkan perkawinan dengan tata cara agama masing-masing. Menurutnya, religiusitas perkawinan pun masih diakomodir dengan banyak aturan di UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

“Tetapi, yang saya takutkan dari JR ini adalah belum siapnya masyarakat Indonesia secara sosiologis karena memang harus diakui masyarakat Indonesia masih banyak yang memiliki religiusitas yang cukup kuat, terlepas dari seberapa dalamnya pemahaman mereka terhadap kepercayaannya,” ujar Victor.

Hal tersebut, lanjut Victor, dapat dilihat dari kuatnya reaksi masyarakat atas judicial review ini. “Meski saya yakin, banyak yang kurang paham, serta banyak yang terpengaruh dari giringan media yang sangat buruk,” tambahnya.

“Posisi saya terhadap JR ini, saya merasa Pasal 2 ayat (1) masih baik karena sebenarnya negara tidak mengintervensi kebebasan bergama atau menikah. Justru negara menghindarkan intervensi terhadap hak itu, sehingga akhirnya pelaksanaan perkawinan dikembalikan kepada agama masing-masing individunya,” jelas Victor.

Muhammad Afif, mahasiswa FHUI angkatan 2011, secara prinsip tidak setuju dengan judicial review tersebut. Namun, bila mengacu ke Hukum Islam, memang ada berbagai pandangan mengenai perkawinan beda agama. Pertama, dilarang. Kedua, boleh dengan ahli kitab. Ketiga, membolehkan tetapi perlu dikaji lagi.

“Saya pernah baca, cari yang lebih sedikit mudharatnya. Jadi itu dianggap lebih baik,” ujarnya.

Menurutnya, secara pribadi, dirinya kerap diberikan berbagai macam masukan dalam memilih istri. Yakni, bahwa fungsi seorang ibu sebagai pendidik utama dan madrasah untuk anak-akanya. “Secara prinsipil, saya nggak (setuju,-red),” ujarnya.

Aldo Maulana Randa, mahasiswa FHUI angkatan 2011, menilai pemohon tentu punya pertimbangan tersendiri untuk mengajukan permasalahan ini ke MK. “Intinya saya belum terlalu membaca. Saya tidak setuju. Saya tahu sekali bahwa Indonesia itu multikultural,” ujarnya.

Ia mencontohkan dirinya yang berasal dari Padang. Di adat minang, segala sesuatunya merujuk ke ajaran agama Islam. Ia mengatakan bila ada UU yang membolehkan perkawinan beda agama, maka akan membuat adat istiadat yang kental dengan nuansa keagamaannya menjadi bingung. 

“Saya tidak bisa menikah secara adat karena penghulu dan semua hukum adat di sana tidak akan menerima itu,” tuturnya.

Menurutnya, setiap negara memiliki kebiasan-kebiasaan yang berbeda sehingga masalah sosiologis patut di pertimbangkan. “Ya, mungkin di negara Eropa hal seperti ini merupakan hal yang wajar karena mereka punya kebiasaan itu dan akhirnya sekarang menjadi legal,” ujarnya.

“Cuma di Indonesia, sejarah kita panjang, terutama tentang agama dan bagaimana UU yang mengatur nikah seagama itu. Kita harus melihat kondisi sosial dan demi menjaga budaya, jadi bukan cuma masalah agama doang, tetapi ada budaya juga,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait