Tuntut Kesejahteraan Diperhatikan, Jaksa Akan Mogok Sidang Sehari
Berita

Tuntut Kesejahteraan Diperhatikan, Jaksa Akan Mogok Sidang Sehari

Kejagung mengimbau agar aksi mogok tidak dilakukan.

Oleh:
CR-17/Rzk/Ali
Bacaan 2 Menit
Foto: Facebook.
Foto: Facebook.
Sejumlah jaksa berencana menggelar aksi mogok hari tanpa sidang pada 11 September mendatang agar kesejahteraan mereka diperhatikan.

Seruan mogok sidang ini sudah mulai marak dalam beberapa hari belakangan ini di media sosial. Salah satunya adalah melalui akun facebook Marice Butarbutar. “Deklarasi..!!! Kami jaksa Indonesia dengan ini menyatakan keinginan kenaikan tunjangan jaksa, hal-hal mengenai besaran tunjangan jaksa diselenggarakan dengan cara seksama dalam tempo yang sesingkat-singkatnya (-PG),” demikian bunyi status akun facebook tersebut. 

Akun tersebut merinci penghasilan jaksa golongan 3c sebesar Rp 6 juta (sudah termasuk gaji, tunjangan, uang makan dan renumerasi). “Pengeluaran angsuran bank Rp3 juta, susu anak dan pampers Rp3 juta, bayar listrik dan air Rp300 ribu, belum untuk makan tiap bulan. Tragis sekali nasib jaksa, tapi Tuhan mengajarkan pantang menyerah. Harapan kita presiden akan meningkatkan tunjangan sama seperti hakim (-SM),” sebut akun tersebut lagi. 

Seorang jaksa yang bertugas di pulau Sumatera mengamini bahwa memang ada gerakan untuk mogok sidang tersebut. “Jaksa-jaksa ikutin hakim. Waktu itu hakim memang demo untuk minta kenaikan gaji,” ujar wanita yang tak mau disebutkan namanya itu kepada hukumonline, Senin (8/9).

Sumber hukumonline ini mengatakan bahwa akhir masa jabatan Jaksa Agung Basrief Arief dijadikan momentum untuk menuntut kesejahteraan. “Nah, presiden kan baru ganti. Jadi jaksa agung diganti. Ini momen karena mau penutupan,” ujarnya

Lebih lanjut, ia mengatakan biasanya di penutupan masa jabatan jaksa agung memang kerap ada kenaikan gaji. Nah, momentum inilah yang dijadikan sebagai wacana yang digulirkan sejak lama untuk kenaikan gaji. “Mungkin mereka (jaksa yang hendak mogok) ingin memanfaatkan momen jadi ingin demo, pada tanggal 11,” tuturnya.

Ia mengaku sudah memperoleh informasi ini melalui mailing list (milist) para jaksa-jaksa, sehingga ditelurkanlah wacana hari tanpa sidang. “Jadi, mereka benar-benar minta tolong agar jaksa-jaksa di Jakarta untuk turun (demonstrasi,-red),” ujarnya.

Namun, lanjutnya, jaksa agung akhirnya mengeluarkan surat perintah mengimbau agar aksi tersebut tidak dilakukan. “Nah, surat perintah sampai ke Kejaksaan (di daerah,-red), kejaksaan gue juga sampai, bahwa untuk tanggal 11 diimbau untuk tidak turun,” ujarnya.

Ia mengatakan sebagian jaksa menilai karena surat itu bersifat imbauan sehingga terserah mau dituruti atau tidak. “Kalau kejaksaan kan komando, jadi kita harus ikutin, cuma memang tidak melarang. Mereka mengeluarkan himbauan untuk Kejati dan Kejari supaya anak buahnya dimohon untuk tidak turun,” ujarnya.

“Soalnya, kalau turun bakalan merusak citra kejaksaan itu sendiri,” tambahnya.

Meski begitu, ia mengungkapkan banyak jaksa yang protes dengan himbauan itu. Ia menuturkan bahwa jaksa itu ada yang struktural, dan ada yang fungsional. Jaksa fungsional itu hanya sebagai jaksa penuntut umum (JPU), tidak naik menjadi kepala seksi atau Kepala Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Tinggi. “Nah, gajinya fungsional dengan gajinya struktural jelas beda dong. Lebih tinggi yang struktural,” ujarnya.

“Kenapa gaji jaksa itu rendah karena dia menyamakan dengan gaji jaksa stuktural. Banyak juga yang menolak, karena kalau gaji jaksanya gede, mereka semua mau jadi jaksa fungsional. Nggak ada yang mau jadi struktural. Imbasnya, kalau stuktural dia bersedia ditempatkan dimana saja,” jelasnya.   

Meski begitu, sumber ini menilai bahwa aksi ini sulit terealisasi. Dirinya sendiri pun enggan ikut dalam aksi tersebut. “Karena gue nggak di Jakarta,” sebutnya.

Ia mengatakan sekali Kejagung yang mengumumkan, apalagi sekretaris jaksa agung muda intelejen juga ikut turun tangan, maka jaksa-jaksa lain biasanya mematuhi. “Misalnya, kalau ada yang ketahuan itu akan dilaporkan ke atasan segala macam,” ujarnya.

“Nggak ada yang berani ambil resiko,” tuturnya.

Dihubungi terpisah, Kapuspenkum Kejagung Tony T Spontana mengaku sudah mendengar mengenai aksi sehari tanpa sidang ini. “Saya bisa pastikan itu bukan sikap institusi. Itu hanya sikap jaksa orang perorangan yang kemudian menjadi satu kelompok yang menyuarakan aspirasi yang sama,” jelasnya melalui sambungan telepon.

Oleh karena bukan kehendak institusi, lanjutnya, maka pimpinan kejaksaan tidak menyarankan mogok itu dilakukan. Ia mengatakan bahwa untuk menyalurkan aspirasi ada saluran yang lebih baik ketimbang dilakukan dengan cara mogok kerja.

“Walaupun itu dilakukan dengan damai, walaupun ‘tetangga sebelah’ (hakim, red) istilahnya dulu melakukan seperti itu dan berhasil, tetap institusi menyarankan untuk tidak dilakukan,” ujarnya.

Tony menjelaskan bahwa surat yang beredar di kejaksaan daerah adalah surat Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel). Yakni, surat himbauan meminta para Kajari dan Kajati selaku pembina jaksa di daerah untuk meneruskan kebijakan pimpinan agar tidak dilakukan mogok.

“Saluran resmi sudah ditempuh kejaksaan, dengan membuat kajian, mengusulkan hal itu ke presiden dan menpan RB, menkeu, sudah dilaksanakan institusi secara resmi, sejauh ini menpan sudah memberikan ‘lampu kuning’ walaupun tidak 100 persen seperti yang kita harapkan, kita akan menunggu keputusan dari presiden,” ungkapnya.   

Tony mengatakan bahwa pimpinan tidak ingin bila pelayanan publik yang dijalankan kejaksaan menjadi terganggu. “Tetapi, jika kehendak jaksa di daerah seperti itu, kan tidak bisa dicegah karena mereka menyuarakan aspirasi mereka,” tuturnya.

“Sejauh ini, institusi hanya bisa menyarankan untuk tidak dilakukan. Surat jamintel itu tidak memuat ancaman sanksi, hanya imbauan, karena pelayanan publik yang kemungkinan terkena dampaknya adalah terkait persidangan, sementara pelayanan lain seperti pengambilan barang bukti tilang masih bisa tetap berjalan,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait