Hakim ‘Ndeso’ Berharap Pergi Haji Bila Jadi Hakim Agung
Seleksi CHA

Hakim ‘Ndeso’ Berharap Pergi Haji Bila Jadi Hakim Agung

Menghukum nenek Minah yang takut terkena hukuman di peradilan akhirat.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: RFQ
Foto: RFQ
“Kalau jadi hakim agung, insya allah saya naik haji”. Kalimat ini terlontar dari mulut hakim  Pengadilan Tinggi Jaya Pura, Muslich Bambang Luqmono, di ruang Komisi III DPR, Kamis (11/9). Musclih menjalani uji kelayakan dan kepatutan dalam rangka seleksi Calon Hakim Agung (CHA).

Pria paruh baya ini awalnya tidak beniat menjadi hakim agung. Ia menyebut dirinya hanyalah seorang hakim ‘ndeso’ yang tak mau bermimpi menjadi seorang hakim di puncak lembaga kehakiman. Apalagi, ia membutuhkan waktu delapan tahun untuk menamatkan sarjana hukum di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Namun, berkat dorongan istri dan anaknya, ia memberanikan diri.

“Tidak berniat menjadi hakim agung, karena hakim ‘ndeso ke ndeso’. Tapi karena berani saya punya jiwa hakim banteng nyeruduk sana. Kalau tidak berani tidak sampai ke parlemen,” ujarnya.

Sehari-hari bersidang di pengadilan mulai tingkat bawah, Muslich kerap menggunakan peci hitam. Bak pejabat elit, ia mengenakan jas, dasi kupu-kupu serta peci hitam saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan. Dalam kesehariannya, ia kerap dipanggil pak haji lantaran kerap menggunakan peci hitam.

Lantaran tak memiliki uang cukup untuk berangkat menunaikan pergi haji, ia berharap jika menjadi hakim agung dengan gaji yang cukup, dapat segera menunaikan rukun islam ke lima ke Mekkah. “Saya dipanggil haji tapi belum mampu. Seijin panjenengan (anda anggota komisi III) gaji saya bisa haji, itu niatan saya,” katanya.

Lulusan Fakultas Hukum UII pada 1980 itu mengatakan, sebagai hakim ndeso, ia jarang bersilaturahim ke Jakarta dengan koleganya. Maka dari itu, karirnya sebagai seorang hakim tak melesat seperti kolega lainnya. Namun begitu, ia tetap menerima berapapun penghasilan yang diterima dari negara.

“Saya hakim ndeso tak punya uang untuk silaturahim. Saya terima saja ditempatkan di mana saja,” katanya.

Hakim yang pernah bertugas di Pengadilan Negeri Medan itu mengaku menggunakan peci hitam dalam keseharian karena terasa nyaman. Ia menampik semaunya dalam berpakaian sebagai seorang hakim. “Kalau saya pakai peci lebih enjoy dan lebih dingin. Semaunya sendiri tetap dalam tanda kutip positif,” katanya.

Muslich memiliki andil saat menjabat hakim tinggi PT Jaya Pura, terutama dalam kasus Labora Sitorus. Dia mengaku turut mendalami upaya banding kasus tersebut. Saat itu, ia dikumpulkan oleh ketua PT Jaya Pura untuk dimintakan pendapat dalam kasus tersebut. Menurutnya, kasus Labora menjadi perhatian masyarakat luas. Maka dari itu, perlu kehati-hatian dalam memberikan putusan di tingkat banding, khususnya dalam  Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Menurutnya, empat dakwaan TPPU jaksa dinilai terbukti di tingkat banding”Keyakinan saya terbukti, dan jangan main-main,” ujarnya.

Hukum Nenek Minah
Anggota Komisi III Sarifuddin Sudding memberi pertanyaan kepada Muslich. Menurutnya, Muslich sebagai hakim yang memutus perkara nenek Minah pencuri beberapa buah kakao. Sudding prihatin terhadap nenek Minah yang dihukum oleh pengadilan. “Hanya mencuri tiga kakao, di mana rasionalitasnya,” ujarnya.

Menurutnya, seorang nenek tua renta mencuri tiga buah kakao hanya untuk bertahan hidup tak layak dijatuhi hukuman. Makalah Muslich membahas tentang hukum mengedepankan hati nurati tidak sejalan dengan putusan nenek Minah yang dijatuhkan pengadilan. “Tapi harus dibebaskan. Saya prihatin sebagai orang LBH, harusnya bapak mengedepankan hati nurani,” ujarnya.

Muslich menanggapi perntanyaan Sudding.  Menurutnya, sebelum menjatuhkan putusan, ia menemui nenek Minah. Ia mengagumi sosok nenek Minah. Meski sudah tua renta, namun amatlah berhati-hati dalam hukum. Dalam pertemuan tersebut, nenek minah mengakui dirinya sebagai pencuri tiga buah kakao. Oleh karena itu, nenek Minah meminta Muslich untuk menghukumnya.

“Saya dihukum saja supaya terbebas dari peradilan hukum akhirat,” ujar Muslich menirukan nenek Minah. “Jadi dia sendiri yang minta dihukum,” tambahnya.

Saat membacakan putusan, Muslich mengaku menangis di pengadilan. Ia pun terbata-bata saat membacakan pertimbangan putusan. Menurutnya, sebagai hakim ia tetap merdeka dalam membuat putusan dengan mengedepankan hati nurani. “Seorang rakyat kecil sangat berhati-hati mau masuk surga. Saya dihukum saja, saya bersalah. Jadi itu asbabun nuzulnya,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait