DPD Usul Sempurnakan Hukum Acara MK
Utama

DPD Usul Sempurnakan Hukum Acara MK

Belum ada sanksi bagi pihak yang mengabaikan putusan MK yang bersifat final dan mengikat.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengusulkan agar Mahkamah Konstitusi (MK) menyempurnakan hukum acaranya, termasuk putusan yang sudah diputus agar dilaksanakan. Bila tidak, MK dapat memberikan sanksi terhadap pembuat Undang-Undang, yakni DPR.

Hal itu disampaikan Anggota DPD I Wayan Sudirta dalam sebuah diskusi bertajuk “MD3 dan Proses Legislasi Model Tripatrit” di Gedung DPD, Jumat (12/9). “Saya mengusulkan supaya Mahkamah Konstitusi menyempurnakan hukum acaranya, supaya putusan MK bisa dieksekusi,” ujarnya.

Sejak revisi UU No. 27 Tahun 2009 disahkan menjadi UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) menuai protes. Tidak hanya dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Koalisi Masyarakat Sipil, tetapi protes juga datang dari DPD. Ketiga elemen itu mengajukan uji materi UU No.17 Tahun 2014 dengan materi pasal yang berbeda.

Khusus DPD, mengajukan uji materi terkait dengan kewenangannya. Pasalnya, dalam putusan MK atas uji materi yang dimohon DPD terhadap UU No.27 Tahun 2009 mengamatkan DPR diberikan ruang dalam proses legislasi.

Pertama, mengusulkan rancangan undang-undang. Kedua, ikut dalam pembahasan UU. Ketiga, ikut serta dalam proses penyusunan program legislasi nasional (Prolegnas). Namun, dalam Pasal 256 huruf b UU No.17 Tahun 2014 hanya membatasi pembahasan RUU tertentu.

Pasal 256 huruf b menyatakan, “Ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah”.

“Bagaimana dengan pemmbahasan RUU Kelautan yang kami usulkan, kalau digunakan UU MD3 maka kami tidak bisa ikut pembahasan,” ujarnya.

Menurut Wayan, betapa amburadulnya sistem ketatanegaraan ketika DPR mengesampingkan putusan MK. Namun, tak ada sanksi yang dapat diberikan kepada DPR. Ia berpandangan, hukum acara MK perlu diperbaiki. Setidaknya, bagi pelanggar putusan MK yang bersifat final dan mengikat dapat diberikan sanksi.

“Kalau putusan MK dilanggar, yang membuat UU adalah DPR ini ajaib. MK harus bergerak. Kalau putusan MK dilanggar bisa kacau. Tapi pertanyan, apa sanksinya buat dpr, tidak ada, ini ajaib. Ini kan seperti main-main negara ini,” tegas Wayan dengan suara lantang.

Wayan yang juga ketua tim litigasi DPD itu mengatakan, lembaganya terus melakukan kajian agar ada argumentasi kuat dalam pemberian sanksi terhadap DPR. Ia mengatakan, terhadap anggota DPR yang merumuskan UU No.17 Tahun 2014 tidak layak duduk sebagai anggota dewan.

“Orang yang dipilih rakyat mengabaikan putusan MK,” ujarnya.

Berbeda dengan putusan MK, DPR tak berani mengabaikan putusan Mahkamah Agung. Sayangnya, sejauh melakukan kajian, DPD belum menemukan formulasi dalam pemberian sanksi terhadap DPR.

“Padahal ini (pengabaikan putusan MK) termasuk dalam contempt of court. Harusnya MK bisa membuat hukum acara seluruhnya. Putusan MK bisa dieksekusi, tapi hukum acaranya belum ada. Kita kejar hukum acaranya supaya Putusan MK tidak diganggu,” ujar senator dari Bali itu.

Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Firmansyah Arifin, mengatakan pembahasan RUU semestinya melibatkan tiga lembaga yaitu DPR, pemerintah dan DPD yang merupakan representasi rakyat. Sayangnya, kata Arifin, praktik pembahasan berbeda dengan harapan. Menurutnya, dalam putusan MK tersebut mengatakan pembahasan RUU tanpa DPD dapat dinilai cacat hukum.

Menurutnya, putusan MK atas uji materi permohonan DPD beberapa waktu lalu mengadopsi semangat Pasal 22 D ayat (1) UUD 1945. Ia berpandangan jika pembahasan dapat dilakukan melalui mekanisme tripatrit tanpa mengedepankan ego sektoral dapat berjalan dinamis. “Jadi mulai sekarang bisa dicreate legislasi bersama dab bisa produktif legislasi,” ujarnya.

Firmansyah berpendapat, DPD semestinya sudah mulai melakukan inventarisasi UU yang disahkan DPR setelah putusan MK. Cara tersebut, kata Firmansyah, dapat digunakan untuk mempublikasi jumlah UU yang pembahasannya tanpa melibatkan DPD. Dengan begitu, dapat diketahui berapa banyak pelanggaran yang dilakukan DPR setelah putusan MK atas uji materi yang diajukan DPD.

“Kalau parlemennya berulang kali melanggar konstitusi bisa dibubarkan, itu bisa dicreate dalam rangka memperbaiki sistem ketatanegaraan,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait