Majelis Kasasi Cabut Hak Politik eks Presiden PKS
Berita

Majelis Kasasi Cabut Hak Politik eks Presiden PKS

KPK menilai putusan MA progresif.

Oleh:
ANT
Bacaan 2 Menit
Eks Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq. Foto: RES
Eks Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq. Foto: RES

Setelah kandas di pengadilan tingkat pertama dan banding, tuntutan jaksa KPK terhadap eks Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq akhirnya dikabulkan di tingkat kasasi. Majelis kasasi yang diketuai Hakim Agung Artidjo Alkostar, Senin (15/9), menjatuhkan putusan terhadap Luthfi dengan hukuman yang lebih berat.

April 2014 lalu, majelis banding pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menghukum Luthfi dengan pidana penjara selama 16 tahun dengan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Pada tingkat pertama, vonis terhadap Luthfi adalah 16 tahun penjara, denda Rp1 miliar subsider 1 tahun kurungan.

Majelis kasasi menghukum Luthfi dengan hukuman penjara 18 tahun, dengan rincian 10 tahun penjara atas tindak pidana korupsi dan delapan tahun penjara atas tindak pidana pencucian uang. Majelis kasasi juga mencabut hak politik Luthfi.  

Dalam pertimbangan kasasinya, hakim menilai selaku anggota DPR, Luthfi terbukti melakukan hubungan transaksional dengan mempergunakan kekuasaan elektoral demi imbalan atau fee dari pengusaha daging sapi.

Ia juga terbukti menerima janji pemberian uang senilai Rp40 miliar dari PT Indoguna Utama dan senilai Rp1,3 miliar, telah diterima melalui orang dekat Luthfi, Ahmad Fathanah.

"Adanya unsur mentransaksikan kekuasaan untuk memburu rente suap Rp1,3 miliar dari Rp40 miliar yang diperjanjikan adalah bukti terdapatnya pelanggaran HAM ekonomi sosial budaya kaum peternak. Pelakunya anggota DPR dan Presiden PKS yang melakukan 'trading in influence' jabatan publiknya," tambah Busyro.

Hakim Agung Artidjo Alkostar, mengatakan perbuatan Luthfi sebagai anggota DPR dengan melakukan hubungan transaksional telah mencederai kepercayaan rakyat yang telah memilihnya sebagai anggota DPR RI.

Artidjo mengungkapkan, dalam pertimbangannya, majelis kasasi menilai judex facti (pengadilan tipikor dan PT DKI Jakarta) kurang mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan seperti disyaratkan Pada 197 KUHAP di dalam pertimbangan hukumnya (onvoldoende gemotiveerd).

Hal yang memberatkan itu adalah, Luthfi sebagai anggota DPR melakukan hubungan transaksional dengan mempergunakan kekuasaan elektoral demi fee sehingga menjadi ironi demokrasi karena sebagai wakil rakyat, Luthfi tidak melindungi dan memperjuangkan nasib petani peternak sapi nasional.

Dalam perkara ini, Luthfi terbukti memang melakukan tindak pidana korupsi dari Pasal 12 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sedangkan untuk TPPU, putusan tersebut berdasarkan Pasal 3 ayat (1) huruf a, b, dan c serta Pasal 6 ayat (1) huruf b dan c UU Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No 25 Tahun 2003 tentang perubahan atas UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian uang jo pasal 65 ayat (1) KUHP.

Terkait dengan perkara ini, PT DKI Jakarta juga memperberat hukuman orang dekat Luthfi, Ahmad Fathanah alias Olong menjadi menjadi 16 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan pada 26 Maret 2014 lalu.

KPK mengapresiasi putusan majelis kasasi terhadap Luthfi. Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas menilai putusan itu progresif dan protektif terhadap peternak sebagai segmen kaum lemah yang ditindas.

"Kasus ini bagi KPK merupakan korupsi sistemik berupa sejumlah kebijakan-kebijakan pemerintah untuk mengimpor sapi dengan menelantarkan peternak sapi sebagai rakyat kelas bawah yang seharusnya diproteksi oleh pemerintah agar mampu memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri," ujar Busyro melalui pesan singkat kepada Antara, Selasa (16/9).

Tags:

Berita Terkait